Prasi dengan Daun Lontar Sangat Otentik Mesti Dipertahankan. Teknik, Pewarnaan dan Visualnya Perlu Dikembangkan
Lomba Ngripta Prasi serangkaian Bulan Bahasa Bali VI/Foto: ist.
Ini yang unik, namun sedikit peminatnya. Ya.. Ngripta Prasi, kegiatan membuat cerita dongeng, pewayangan atau cerita tentang alam di atas daun lontar memang tak banyak melakukannya. Hanya orang tua masih aktif, namun jumlahnya pun tidak banyak. Apalagi yang muda.
Hal itu tampak pada Wimbakara (Lomba) Ngripta Prasi serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI, Sabtu 17 Pebruaru 2024. Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali, tempat pelaksanaan lomba itu hanya diikuti 7 peserta. Mereka masyarakat umum dengan batasan umur 15 – 30 tahun.
“Jumlah peminat lomba prasi tahun ini menurun dibandingkan dengan sebelumnya. Padahal, ajang lomba BBB ini sebagai ruang untuk menumbuhkan sekaligus mendorong pelestarian dan pengembangan tradisi yang sangat unik yang kita miliki,” ucap dewan juri Susanta Dwitanaya.
Pegiat senirupa ini mengatakan, seni prasi ini kedepan susah dikembangkan, apabila tidak ada upaya atau campur tangan dari pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Prasi merupakan warisan budaya yang sangat unik, tetapi pengerjaan sangat susah.
Perlu keterampilan khusus, sehingga kedepannya komunitas-komunitas berbasis prasi terus dibangkitkan dan dikembangkan. “Selain lomba, perlu juga ada workshop prasi, sarasehan prasi kemudian digelar dalam bentuk-bentuk pameran prasi,” usulnya.

Prasi menjadi wahana karya yang memiliki pengetahuan dan catatan bagi Kebudayaan Bali. Maka, karya-karya yang meraih juara selama pelaksanaan BBB dari pertama hingga BBB sekarang penting dikumpulkan, lalu ditampilkan dalam sebuah pameran.
Itu akan menjadi ajang yang sangat menarik dan penting sebagai bentuk arsip. Sebab, hasil karya dalam lomba tersebut cukup bagus, baik dari segi gambar dan tulisan. Itu bisa dilihat dari proses pasang aksara, penempatan gambar besar dan kecil dalam bidang media lontar yang hampir sama dan bagus.
“Seperti kita lihat dari sisi ikonografi gambar mereka mampu menginterpretasikan teks, menginterpretasikan cerita. Hal itu, memang membutuhkan pengetahuan yang baik. Para peserta kini, berani menampilkan karya dengan percaya diri,” ungkap pria kalem ini.
Prasi itu memiliki kekhasan wahana, dalam seni rupa khas dengan medium sangat krusial. Prasi dengan daun lontar sangat otentik dan signifikan, medium itu membawa pesan, material itu membawa pesan. “Ini perlu dipertahankan,” ajaknya.
Namun, yang dikembangkan teknik, pewarnaan, dan visualisasinya kedepan bisa menghadirkan seni prasi kontemporer modern. Namun, yang terpenting prasi bisa dikombinasikan, namun tidak kehilangan dari essential lontarnya dan aspek narasinya.

Sementara Juri, Ida Bagus Rai mengakui dari segi penampilan, lomba Ngripta Prasi ini memang sedikit pesertanya, karena mungkin kurang sosialisasi. Para peserta juga tidak mengajak sporter, sehingga penonton menjadi sedikit yang menyaksikan bentuk pelestarian budaya Bali ini.
Dasar utama dalam membuat prasi itu adalah cinta terhadap seni. Ada bakat dari dalam jiwa. Orang yang tidak memiliki bakat, namun dipaksakan tentu tidak akan bagus dan mulus. Selain itu, factor ekonomi juga penting. Artinya, kegiatan membuat prasi ini bisa menghasilkan uang.
“Kalau dulu, orang membuat prasi bisa menghasilkan uang, sehingga motipasinya juga ada di sana. Sekarang ini mesti diciptakan peluang baru agar membuat prasi itu bisa menghasilkan ekonomi. Prasi itu bisa dijadikan souvenir bagi wisatawan,” sebutnya.
Namun, lomba Ngripta Prasi dalam ajang Bulan Bahasa Bali (BBB) VI patut diapresiasi karena kembali memberi ruang untuk mewadahi sekaligus melestarikan seni tradisi Prasi atau Komik tradisi Bali bagi kalangan generasi muda.
“Sedikit orang yang memiliki keahlian ngripta prasi karena seni menarasikan gambar dalam medium daun lontar tersebut perlu keterampilan khusus dan umumnya dibuat oleh seniman dewasa, pria dari Desa Sidemen Karangasem ini.
Dosen Undhiksa ini kemudian mengungkapkan, proses membuat prasi tidak mudah. Bagaimana menggunakan pangrupak digunakan untuk menyurat, menulis, tekniknya dengan menekan, mengarsir perlu ketekunan, ketelitian dan pemahaman akan cerita yang akan dibuat.
Belum lagi kemampuan dalam menulis aksara, menarasikan cerita antara komposisi gambar dan tulisan harus diperhatikan betul. “Saya sendiri bisa hidup karena prasi, karya itu harus ada pasarnya, kalau adik- adik mau menekuni prasi, saya bantu jualannya,” ucap Gus Rai berseloroh.
Lomba, Ngripta Prasi yang bertemakan Janha Kerthi ini menetapkan Nyoman Bagus Dharma Sidhi (Denpasar) sebagai juara I, dan I Putu Windu Juliana (Tabanan) dan Kadek Rifkyandi Septyan (Singaraja) masing-masing sebagai Juara II dan Juara III. [B/*/puspa]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali