Lontar ‘Bhuwana Purana’ Menarasikan Cara Menghadapi Masalah Lingkungan Alam

 Lontar ‘Bhuwana Purana’ Menarasikan Cara Menghadapi Masalah Lingkungan Alam

I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa dan Made Ari Dwijayanti dalam Bedah Lontar Bhuwana Purana di Bulan Bahasa Bali (BBB) VII/Foto: ist

Masyarakat Bali seakan mendapatkan pengetahuan baru terkait menghadapi masalah lingkungan alam pada acara bedah lontar bertajuk Widyatula (Seminar) Bulan Bahasa Bali (BBB) VII bertempat di Gedung Kesirarwana, Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 23 Pebruari 2025.

Pada saat itu. I Nyoman Wahyu Angga Budi Santosa, seorang praktisi Bahasa, Aksara dan Sastra membedah Lontar Bhuwana Purana bersama Made Ari Dwijayanti, dosen STHAN Mpu Kuturan Singaraja selaku moderator yang berlangsung lebih dari 3 jam.

Bedah lontar ini diikuti oleh para siswa dan guru SMA dan SMK, mahasiswa dan penyuluh Bahasa Bali. Acara ini mendapat respon positif dari para peserta yang tetap bertahan di tempat duduknya sampai acara tersebut selesai.

Wahyu mengatakan, inti dari lontar Bhuwana Purana itu memberikan timbang pandang kepada masyarakat dan pemangku kepentingan, tentang bagaimana mengelola alam. Sebuah etika lingkungan dalam menjaga hubungannya dengan lingkungan.

Baca Juga:  Konservasi Lontar Ida Pedanda Putra Pemaron Sidemen

“Sebagai tata bahasa Bali, kita di Bali sesungguhnya sudah memiliki cara menghadapi masalah alam lingkungan itu, tetapi tidak ada yang “ngeh” (sadar). Karena itu, Lontar Bhuwana Purana dikupas untuk mendapatkan sebuah pengetahuan,” paparnya.

Narasi yang ada dalam lontar itulah yang disampaikan kepada mereka yang berkepentingan yang dalam hal ini para peserta bedah widyatula, serta bisa sampai kepada pemangku kepentingan.

“Ini bukan intervensi terhadap kebijakan, tetapi sebagai timbang pandang dalam setiap keputusan yang akan dibuat oleh pemangku kebijakan itu. Kita sebagai orang awam, harus mempertimbangkan bagaimana alam itu akan meresponnya,” ungkapnya.

Manusia itu tidak terlepas dari, antara manusia sebagai manusia dan manusia sebagai alam. Maka, rusaknya alam itu karena rusaknya manusia, dan rusaknya alam itu dimulai dari rusaknya manusia.

Baca Juga:  Sekaa Gong Desa Menyali Sejarah Panjang Perjalanan Gong Kebyar di Bali

“Nah, pemikiran untuk mengupas Lontar Bhuwana Purana ini sebagai “pengendag manah” (pencerahan) membangunakan orang yang sedang tertidur untuk bersama-sama ikut menghadapi keberadan dunia saat ini,” lanjutnya.

Wahyu menegaskan, environmental ethics (etika lingkungan) itu adalah suatu gaya bahasa baru, tetapi orang terkadang gagap dan gugup ketika menghadapi masalah lingkungan itu. Seolah-olah orang Bali tidak mempunyai narasi atau tidak mempunyai cara untuk menghadapi masalah lingkungan dan masalah manusia, seperti itu.

“Kalau saja kita menelusuti lebih dalam teks seperti itu, kita bisa melihat dalam Lontar Bhuwana Purana itu sendiri,” imbuhnya.

Di dalam lontar itu ada timbang pandang dan timbang pemikiran, bahwa lontar itu tidak hanya sekedar berisi ritual. Artinya, begitu menghadapi musibah ujung-ujung menjadi ritual. Padahal, dalam lontar khususnya Bhuwana Purana itu ada cara untuk menghadapi masalah lingkungan, masalah bumi, juga masalah manusia selain dari sekedar ritual.

Baca Juga:  Sekaa Gong Gunung Sari Peliatan Tampil Sebagai Legendaris PKB XLIV

“Saya pikir, Lontar Bhuwana Purana ini sebagai cara untuk menghadapi alam Bali yang tidak baik-baik saja,” tegasnya.

Jika diterjemahkan Lontar Bhuana Purana itu adalah bhuana berarti alam dunia dan purana itu adalah kisah, sehingga Bhuwana Purana itu bisa dikatakan kisah tentang dunia. Lalu, kapan lontar ini dikarang dan siapa pengarangnya, itu tidak bisa dikatakan secara spesifik.

“Hanya saja bisa merefleksikan dari tipikal tulisannya dari kutipan-kutipan yang disematkan dalam lontar itu sendiri, sehingga Lontar Bhuwana Purana itu ada kaitannya dengan Upanisad, Wasista Tatwa, Upanisad Wajra dan Sucitra Upanisad,” jelasnya.

Artinya, lanjut Wahyu pemikiran ini sudah cukup tua, ditandakan dengan teks ini yang bukan hanya menggunakaan Bahasa Jawa Kuno, tetapi bercampur bahasa Sansekerta. Hanya saja, Lontar Bhuwana Purana ini memiliki ciri lahir di Nusantara.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali VII: Membangun Ekosistem Baru Menarik Partisipasi Anak Muda

Salah satu ciri paling mencolok adalah penggunaan bahasa Sansekerta Nusantara yang berbeda dengan Sansekerta standar. Saat ini, Lontar Bhuwana Purana ada di Gedung Kertya Singaraja dan ada di Pusat Dukomentasi Kebudayaan Bali, serta ada pula yang sudah dialih aksarakan.

Ini komentar anak-anak muda

Selama libih dari 3 jam, acara bedah lontar yang berlangsung hampir 4 jam itu mendapat respon dari mahasiswa dari jurusan Bahasa Bali, para guru serta para penyuluh Bahasa Bali. Hal itu dibuktikan dengan berbagai pertanyaan yang diajukan.

Para peserta ingin mengetahui lebih dalam baik isi, fungsi, manfaat lontar secara lebih mendalam. Namun, berbeda halnya dengan para siswa setingkat SMA dan SMK yang jumlahnya lebih banyak dari para penyuluh dan mahasiwa itu.

Putu Yunita Suryawati, siswi dari SMA Negeri 3 Kuta Selatan itu mengaku, acara bedah lontar ini menjadi wawasan dan pengetahuan baru bagi dirinya dan siswa-siswi lainnya khususnya ditingkat SMA dan SMK. Namun, ia senditi merasa sedikit sulit memahami isinya.

Baca Juga:  ST Kumara Çanti Gotraja Lestarikan Legong dan Tabuh Palegongan Gaya Peliatan Ubud

“Narasumber memaptkan dengan mengunakan bahasa Bali secara penuh. Saya dan beberapa teman-teman kurang mengerti bahasa Bali halus. Kalau boleh materi itu bisa disampaikan dengan bahasa yang dicampur dengan bahasa Indonesai atau diterjemahkan, sehingga kami mudah memahami,” akunya polos.

Dari semua itu, memang ada beberapa yang dipahaminya, tetapi lebih banyak yang tidak dimengerti karena menggunakan Bahasa Bali sor singgih itu. Mungkin saja informasi yang disampaikan itu sudah lengkap dan bermanfaat bagi siswa-siswi sebagai upaya melestarikan budaya Bali.

“Saya terkadang mengerti dan terkadang juga tidak. Tetapi, kami sangat yakin, kegiatan ini sangat bermanfaat bagi kami sebagai generasi penerus. Sayangnya kami memahami sedikit-sedikit,” ucapnya sambil tersipu malu.

Menurut Yunita, acara bedah lontar itu dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang sangat penting bagi anak muda di jaman sekarang. Kegiatan ini akan menumbuhkan rasa keingintahuan terhadap isi lontar yang lain.

Baca Juga:  “Basur: Tresnasih Kembang Sokasti” Sanggar Mahasaba Ungkap Kebenaran Diri

Dengan membaca lontar, warisan budaya leluhur tidak akan hilang alias punah. “Kalau bisa, diisi selingan bedrmaian atau apaan gitu, sehingga kami tidak ngantuk. Apalagi, waktunya lebih dari 3 jam, jangan diisi ngomong terus deh,” pintanya.

Hal sedana juga dikatakan I Wayan Septian Adisuwarna siswa dari SMA Negeri 5 Denpasar, yang mengatakan kegiatan ini sangat baik dan bagus untuk mendidik anak-anak muda tentang budaya dan warisan leluhur yang sangat unik.

Terlebih, saat ini perkembangan globalisasi begitu cepat, maka anak-anak muda Bali penting memahami dan mengerti budaya sendiri. “Dengan seminar ini, mungkin bisa menarik minat siswa-siswa dengan lontar. Sayangnya, tidak semua mengerti yang disampaikan narasumber, karena seluruhnya menggunakan bahasa Bali,” akunya polos.

Septian mengaku hanya mengerti sedikit-sedikit saja, karena semuanya menggunakan Bahasa Bali sesuai sor singgih basa. “Tetapi, ada teman kami yang bukan orang Bali, lalu bagaimana mereka bisa mengerti maksud dari lontar itu,” imbuhnya.

Kalau boleh usul, materinya bisa disampaikan pula dengan bahasa Indonesia atau diartikan dalam bahasa Indonesia, lalu disampaikan dengan komunikatif. “Dengan begitu, kami bisa lebih mengerti dan ini menjadi ajang pembelajaran Bahasa Bali juga,” tutupnya. [B/darma]

Related post