Genggong Khas Sesetan Masih Bersemi

 Genggong Khas Sesetan Masih Bersemi

Genggong, music tradisional ini ternyata pernah subur di Banjar Pegok, Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Kesenian klasik itu, seakan menjadi bagian dari kehidupan di desa itu. Mungkin karena pengaruh jaman, alat musik berbahan bambu itu perlahan ditinggalkan. “Saya selalu bersemangat dan merasa bertanggung jawab terhadap lestarinya kesenian Genggong khas Desa Sesetan. Saya selalu membuat genggong, lalu menurunkannya kepada generasi muda. Saya memang ditugaskan oleh Alm. Ketut Regen (ayahnya) semasih hidup,” kata I Ketut Ragia seniman alam yang memiliki keahlian dalam memainkan genggong.

Pria yang akrab disapa Jero Mangku Ragia itu merupakan seniman alam yang masih memiliki semangat untuk menyelamatkan seni gamelan Bali kuno yang terbuat dari pugpug (pelepah enao) itu. Bermodal itu yang meluangkan waktunya untuk melatih anak-anak muda memainkan genggong. Ia sudah biasa memainkan genggong sejak umur 8 tahun. Maklum, ayahnya Alm I Ketut Regen pemain Genggong yang ahli di jamannya. Ayahnya memiliki Sekaa Genggong yang biasa pentas ngayah ketika masyarakat mengelar upacara adat dan agama. “Saat itu, sekaa genggong didukung oleh Ketut Regen, Pan Rukit, Dadong Kenjir, Dadong Mudi dan Wa Kalot,” kenangnya.

Penabuh senior itu, tak hanya memberinya inspirasi untuk belajar Genggong, tetapi memang menugaskan untuk melestarikan kesenian ini. “Jemet melajah ngenggong pang sing ilang genggonge nyanan. Saget sida baan ngae genggong, pang liunan anak bisa (Kamu harus serius belajar memainkan genggong, sehingga tidak seni ini ilang ditelan jaman. Kalau ada waktu, belajar juga membuat genggong),” ceritanya.

Suami Alm. Ketut Nedri itu kemudian belajar bersama ayahnya. Sayangnya, ia tetap juga tidak bisa. Karena ayahnya sabar, ia akhirnya bisa memainkan genggong, walau itu baru hanya menghasilkan bunyi saja, belum berisi nada. Ia kemudian belajar teknik memainkan Genggong denga serius dan sangat lama. Setelah dianggap bisa, lalu diberikan gending (lagu) Dongkang Menek Biu. “Saya senang dan merasa ketagihan belajar gending-gending Genggong unik yang lainnya,” paparnya.

Baca Juga:  “Rejang Danu Kerthi” dan “Baris Bala Samar” Dua Karya Tari Komunitas Manubada Merespon dan Mengeksplorasi Alam

Pria yang kini berusia 67 tahun itu lalu belajar mecandetan dan Gending Cakra Waka (Bangun Ngedas Lemahe). Selanjutnya dilibatkan ikut sebagai pemain Gengong bersama penabuh tua, tetapi hanya di warung-warung. Ia diajak ke Warung Dadong Rebo memainkan Genggong, setelah memainkan satu gending baru dikasi kopi. Kegiatan itu menjadi keseharian, sehingga berimbas pada bakat memainkan Genggong. “Saya biasa memainkan Genggong ketika mengembala kebo (kerbau). Saat itu, juga belajar membuat Genggong dari bambu,” ucapnya.



Saat itu, Mangku Ragia mampu menyelesaikan satu Genggong, tetapi setelah diserahkan kepada ayahnya, namun dipatahkan. Ia tak menyerah, kemudian membuat lagi dan kembali dipatahkan. Walau berkali-kali membuatnya, namun hasilnya tetap mengecewakan. “Saya kemudian mengintip ayah yang sedang membuat Genggong. Saya memperhatikan dengan detail. Saya kemudian pratekan ketika nganggon kebo di sawah. Saya membuat lagi, kemudian menyerahkan hasilnya. Padahal sudah bisa menghasilkan bunyi, namun tetap dipatahkan juga. Beliau lalu memberitahunya sesuai dengan pakem (aturan),” ujarnya.

Ayah Ni Wayan Korni, I Made Rejana, dan Ketut Kariana lalu membuat dengan menggunakan pakem jari, yaitu a nyari duang nyari, a nyari petang nyari dan a nyari. Untuk tali sebagai penariknya menggunakan benang kotot manas atau benang selaput pacing. “Konon, bahan Genggong yang bagus adalah pugpug (pelepah enao) yang saling kosod (saling menindih), lalu dijemur. Saya membuat bentuknya harus belajar sendiri. Artinya belajar dari proses itu sendiri,” terangnya.

Sampai saat ini, Mangku Ragia masih memiliki semangat untuk melestarikan kesenian itu. Namun, karena usianya sudah semakin tua dan memiliki tugas sebagai pemangku, sehingga ia menyerahkan pada ponakan Made Agus Wardana (Ciaaattt) untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian Genggung yang merupakan warisan leluhurnya. “Saya tegaskan pada ponakan, harus ada yang bisa memainkan Genggong Sesetan ini. Maka itu, ia dan teman-temannya kemudian belajar secara giat, sehingga bisa membentuk sekaa Genggong. Bahkan sudah dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019. Mereka berlatih kanti bubul bibihne (bibirnya terasa tebal), karena mereka sepakat Genggong ini bisa lestari,” ungkapnya.

Baca Juga:  Tan Lioe Ie, Penyair yang Menggubah Puisi-Musik

Menurut pria yang tinggal di Jalan Kresek No 10, Banjar Pegok, Desa Sesetan, Denpasar Selatan itu, cara memainkan Genggong itu memerlukan semangat tinggi. Adapaun caranya, tangan kiri memegang kepala Genggong dan talinya masuk ke jari kelingking, lalu jepit dengan ibu jari. Ujung talinya (penariknya) ditarik dengan tangan kanan, lalu kenyatang (kencangkan) untuk bisa menghasilkan suara. Untuk memberikan nada, harus mampu mengatur kerongkongan yang berfungsi sebagai resonansinya. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *