Ketut Sudarsana ; “Nyurat Aksara” Itu Belajar Budi Pekerti, Tumbuhkan Mental Spiritual dan Selamatkan Naskah Kuno
Jangan memandang sebelah mata terjhadap kegiatan “nyurat aksara Bali”. Kegiatan ini bukan hanya berlatih menulis aksara Bali, tetapi sebagai sebuah pelajaran budi pekerti. Sebab, penulisan aksara Bali itu mengajarkan sikap yang baik. “Anak-anak yang belajar aksara ini akan memunculkan aura positif dari dalam dirinya, sehingga bisa dibiaskan dalam bentuk keluarga lalu ke masyarakat,” kata Praktisi Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali, Drs. Ketut Sudarsana di sela-sela Wimbakara (Lomba) Nyurat Aksara Bali dalam ajang Bulan Bahasa Bali IV, Rabu 16 Pebruari 2022.
Dampak positif dari penulisan aksara Bali ini, generasi muda akan bisa membaca naskah-naskah kuno yang masih banyak tercecer di masyarakat. Pada tahun 80-an itu, banyak warisan leluhur yang tulisannya kuno, sehingga tidak bisa terbaca. “Nah, dengan adanya penyuluh bahasa Bali yang membimbing masyarakat dalam membaca dan merawat lontar, akan melahirkan generasi pembaca aksara, sehingga ajang Bulan Bahasa Bali setiap tahun mampu meningkatkan perkembangan yang sangat signifikan sekali,” papar pendiri Pasraman Citra Leka Nini Saraswati ini.
Anak-anak yang suka belajar Bahasa Bali, dan menulis aksara Bali akan memiliki mental spiritual yang bagus. Tumbuhnya mental spiritual yang bagus, setidak-tidaknya akan terhindar dari hal-hal negatif. “Kami juga membina menulis aksara di rumah. Anak-anak yang ikut di pasraman kami semua mentalnya baik dan tumbuh menjadi anak yang tidak liar,” akunya polos.
Nyurat Aksara Bali sangat terkait dengan seni. Seungguhnya penekun Bahasa Bali baik yang menulis melalui kertas atau lontar tergolong sebagai seniman aksara. Bukan orang melukis saja bisa disebut seniman. Penulis aksara atau nyurat lontar juga disebut seniman. Hal itu bisa dilihat dari munculnya keindahan tulisan secara fisikis akan berpengaruh terhadap mentalnya. “Kalau tulisannya indah, pikirannya pasti indah. Inilah yang membentuk mental mereka,” pria yang tinggal di Banjar Basang Tamiang, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung ini.
Kalau menulis aksara ini disebarkan ke masyarakat akan sangat bermanfaat. Karena itu, pasraman yang dikelolanya itu melakukan pelatihan setiap hari Minggu. Pasraman yang didirkan sejak 1990-an itu telah memiliki sekitar ratusan anak didik. Selain anak-anak belajar di sekolah mereka juga mempertegas dan mempertajam pengetahuan terlait akasara Bali di pasraman. “Saya memberikan pelatihan tambahan secara gratis. Saya melatih anak-anak SD menulis di kertas, setelah bagus baru menulis lontar,” ungkap pria kelahiran 8 Agustus 1956 itu.
Suami Ni Wayan Miasa biasa membuat lontar, karena memang ada program penulisan lontar di Kabupaten Badung. Anak-anak yang pratek di pasraman miliknya juga diberikan kesempatan nyurat dalam lontar. Maka jangan heran, anak-anak yang sempat berlatih dengannya sudah banyak menjadi penyuluih bahasa Bali, dan banyak juga yang menjadi dosen. “Saya menekankan jangan berpaku pada apa yang saya ajarkan, jangan pula mengandalkan ilmu di bangku sekolah saja, perlu juga mencari ilmu di tempat lain, karena ilmu itu berkembang terus, maka pelajari itu,” tutupnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali