“Tumpek Wariga” Cara Umat Hindu Bali Menciptakan Keseimbangan untuk Hidup Harmonis
Umat Hindu di Bali merayakan hari raya “Tumpek Wariga” bertepatan dengan Saniscara Kliwon Wuku Wariga, Sabtu 14 Mei 2022 atau 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Saat itu, Umat Hindu menghaturkan banten bubuh pada batang pohon kelapa, dengan harapan pohon-pohon itu semua berbuah yang nantinya dapat dijadikan sarana persembahan pada hari raya Galungan. Disamping itu, masyarakt Hindu juga melakukan persembahyangan di Pura Penghayatan (dekat Bale banjar). Tumpek Wariga juga disebut dengan Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag dan Tumpek Pengarah, memiliki banyak sebutan memang, tetapi memiliki tujuan yang sama.
Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par. mengatakan, Tumpek Bubuh, merupakan cara unik bagi masyarakat Hindu di Bali dalam mengungkapkan kasih sayangnya terhadap tumbuhan. Pada saat itu, warga Hindu mulai diingatkan bahwa hari raya Galungan sudah datang yang ditandai dengan menghaturkan bantern bubuh sebagai harapan pohon-pohon itu semua berbuah. “Pada saat menghaturkan sesajen itu dibarengi dengan sebuah doa berbentuk pantun penuh symbol, yaitu “dadong-dadong, i kaki dija, i kaki jumah, i kaki gelem, nged…, nged…, nged…” paparnya.
Menurut Prof. Sumadi, I Kaki itu sebagai simbul Sang Hyang Widhi dan I Dadong itu simbol diri manusia. I Kaki juga simbol Purusa (laki-laki) dan Dadong simbol Predana (perempuan). I Kaki juga simbol Sang Hyang Widhi dan I Dadong simbol sakti atau manifestasi-Nya. “Karena itu, masyarakat Hindu mempersembahkan sesuatu agar Tuhan dalam manivestasi sebagai Sang Hyang Sangkara memberikan kemakmuran lewat pohon-pohon yang nantinya diperlukan sebagai sarana upacara,” jelasnya.
Pohon sebagai I Kaki merupakan ciptaan Tuhan, sehingga yang dipuja bukan pohonya, melainkan Tuhan, Sanghyang Widi dalam kontek memberikan kemakmuran melalui tumbuh-tumbuhan. I Kaki sebagai symbol Tuhan dan I Dadong simbol manusianya, dan dalam filosofinya I Kaki adalah niskala (alam tak nyata) dan I Dadong itu sekala (alam nyata), sebagai lambang langit dan bumi, sehingga dapat menciptakan keseimbangan yang dapat membuat kehidupan menjadi harmonis.
Mulai dari Tumpek Wariga itu merupakan inti dari Galungan itu, yakni sebuah perjuangan dalam menegakan kebenaran, dharma (kebaikan) melawan adharma (kebatilan). Perlawanan itu, bukan seperti peperangan asli, yang sesungguhnya, seperti yang dilihat. Melainkan, bagamana manusia bisa membangun semangat hidup yang baru, menyeimbangkan antara kebutuhan niskala (alam tidak nyata) dengan kebutuhan sekala (alam nyata, bhuana agung (dunia) dan bhuana alit (tubuh).
Lalu, dalam kontek kecerdasan intelektual, manusia menjadi lebih mengerti secara rohani dan juga menjaga secara fisik. Karena itu, fisik harus sehat dan rohani juga tetap terjaga, sehingga kuat dalam menghidupi “hidup baru”. Sebab, Galungan itu kemenangan yang merupakan bagian dari hidup baru, memenangkan apa yang menjadi harapakan pada saat itu. Kenapa ada jarak antara Tumpek Bubuh dan Galungan? “Itu, karena mengandung makna kita harus mau belajar berproses. Kemenangan itu tidak akan mau datang sendiri, kalau tidak diperjuangkan. Di sanalah ada proses. Leluhur masyarakat di Bali tidak mempunyai faham yang pragmatis. Artinya, hasilnya selalu bagian dari sebuah proses,” paparnya.
Lalu, kenapa memakai bubuh tidak yang lain, karena bubuh dalam kontek hidup sebagai sekala sebagai manusia ukurannya, I Kaki yang sudah tua perlu dikasi makanan yang lembek. “Dalam konntek niskala. Kalau ingin menjadikan tumbuh-tumbuhan itu bagus, jangan memberikan hal-hal yang tidak bisa dicerna oleh bumi, missal sampah,” imbuhnya.
Nah, memakai sarana bubur, artinya agar mudah dicerna dan sebagai simbol pupuk yang baik. Pupuk yang baik dalam kontek intelektualitas adalah kecerdasan, spiritual adalah pengetahuan yang bagus, dan baik tentang kehidupan manusia. “Di sana ada pendidikan tentang lingkungan hidup, dan hidup yang ramah lingkungan. Selama ini, manusia hanya suka membangun beton, sehingga semua menjadi keras. Hal itu sesungguhnya keliru, karena dapat menyebabkan tumbuhan tidak mendapat makanan yang bagus,” sindirnya.
Prof. Sumadi menegaskan semua tumbuh-tumbuhan itu bermanfaat. Setiap tumbuhan yang ditanam memberikan manfaat dalam kehidupan. Daun daunnya, bunganya untuk upacara, kulitnya ada untuk obat dan paling tidak memberikan O2 (oksigen) untuk kehidupan di dunia. Upacara Tumpek Bubuh sebaiknya dilakukan pada pagi hari, saat matahari bersinar. “Sebagai pantangannya, jangan menebang pohon pada saat tumpek, jangan menyakiti karena kalau dalam kearipan local Bali, hal itu kita maknai sebagai hari otonan “hari kasih sayang” terhadap lingkungan. Persoalannya, tidak hanya pada saat Tumpek Bubuh saja itu dilakukan, melainkan seterusnya, sehingga alam menjadi damai,” pesannya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali