“Paksi Ireng” Ogoh-ogoh Karya Marmar Memikat Wisatawan di Jimbaran Puti A Belmond Hotel

 “Paksi Ireng” Ogoh-ogoh Karya Marmar Memikat Wisatawan di Jimbaran Puti A Belmond Hotel

Putu Marmar Herayukti seniman Ogoh-ogoh asal Kota Denpasar.

Ogoh-ogoh kini banyak ada di hotel. Karya seni berwujud patung yang biasa diarak pada Hari Raya Pengrupukan, sehari menjelang Nyepi menjadi semarak di hotel-hotel. Sebut saja, di Jimbaran Puti A Belmond Hotel yang memajang ogoh-ogoh karya Putu Marmar Herayukti, untuk merayakan Nyepi tahun 2023.

Kehadiran ogoh-ogoh di hotel tersebut membuat perayaan Nyepi, Tahun Baru Saka 1945 ini semakin semarak. “Saya sangat senang diajak kerjasama Jimbaran Puti A Belmond Hotel. Ini sangat bagus, karena saya bisa memamerkan karya ogoh-ogoh, diluar dari ruang lingkup festival hari Pengurupukan itu,” kata Marmar beberapa waktu lalu.

Hari Pengrupukan itu hanya ada sekali dalam setahun. Maka, ketika ada kesempatan untuk memamerkan karya, seperti ini setidaknya orang-orang tahu bahwa ada ogoh-ogoh yang sebagai akar budaya yang membuat budaya Bali lebih kuat.

Ogoh-ogoh berupa patung dengan bahan ramah lingkungan khususnya untuk ogoh-ogoh di Belmont merupakan sebuah karakter yang dibuat Marmar sendiri. Ogoh-ogoh yang dipajang merupakan karya pada tahun 2018. “Setelah dalam waktu yang panjang untuk membuat ogoh-ogoh terkait dengan lomba, saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti lomba ogoh-ogoh,” ucapnya.

Baca Juga:  Pura Luhur Tamba Waras, Tempat Memohon Kesembuhan

Dalam kompetsisi itu, Marmar sudah merasa cukup untuk merasakan panasnya kompetisi, merasa cukup untuk menilai dan menakar diri dalam kompetisi itu. “Saya akhirnya keluar dari kompetisi, lalu membuat karakter-karakter yang ingin dibicarakan,” sebutnya.

Ogoh-ogoh yang dipajang di Jimbaran Puri A Belmond berjudul Paksi Ireng, sebuah karakter yang dibuat sendiri pada 2018. Paksi Ireng menceritakan tentang alam. Bagaimana alam itu bersikap dengan manusia, dan bagaimana manusia bersikap dengan alam.

Alam sesungguhnya sangat adil, ada yang dipersembahkan kepada alam, maka alam memberikan hal yang sama. “Itu yang disebut koneksi. Dalam ogoh-ogoh Paksi Ireng ini, kalau dilihat wajahnya seram ditangnnya ada satu pisau yang disebut pisau pengentas, pisau pemutus antara kehidupan dan kematian,” terang Marmar.

Ogoh-ogoh Paksi Ireng di Belmond ini, dibuat kembali pada 2021 di tengah-tengah Covid-19. Saat itu, orang-orang tidak membuat ogoh-ogoh. Ia dan teman-teman membuat ogoh-ogoh. Kali ini, Paksi Ireng dibuat lebih kecil. “Ini versi kedua lebih kecil, dan ada penyempurnaan bentuknya. Pengerjaannya lebih kurang 1 bulan dan menggunakan bahan dasar bambu, kertas, dan tanah liat,” paparnya.

Baca Juga:  Pawai Ogoh-ogoh Jelang Nyepi, Sebuah Festival Besar Masyarakat Hindu di Bali

Dibalik wajah serem dan pisau pengentas itu, dibelakangnya ada tangan-tangan mudra sebagai symbol sebuah energy yang baik. Itu artinya, ketika memberikan sesuatu positif kepada alam, maka alampun merespon dengan positif.

Walaupun, tangan-tangan mudra itu terlihat di belakang, namun alam akan memberikan yang terbaik kepada manusia yang memperlakukan alam secara baik. “Jujur, tidak semua orang itu memandang alam itu dari manfaatnya,” imbuhnya.

Menurut Marmar, cerita Paksi Ireng ini dilahirkan saat ia melihat kesadaran orang bahwa dirinya bagian dari alam itu mulai luntur. Banyak orang menganggap dirinya berkuasa atas alam, sehingga semena-mena terhadap alam. Padahal, dirinya (manusia) adalah penumpang.

Marmar kemudian mencontohkan, ketika sebuah gunung yang aktif terus dijadikan tempat pemukiman, karena tergolong sebagai tempat yang subur. Lalu, ketika siklus terjadi bergejolak gunung merapi meletus, maka orang-orang menyebutnya sebagai bencana. “Padahal itu sebuah siklus alam,” ucapnya.

Baca Juga:  Singaraja Literary Festival Dibuka dengan Pertunjukan Seni Bernafas Sastra

Lalu, manusia sebagai penumpangnya harusnya mempelajari alam. “Padahal dalam alam itu sudah membertikan klu-klunya sebelum alam itu meletus sensiri, sehingga kita harus berpindah dulu, setelah itu kita boleh berbalik mengais rejeki dari alam yang memberikan kesuburan itu,” jelasnya.

Selain menyajikan ogoh-ogoh, Marmar yang seorang kelian adat itu juga menampilkan beberapa history. Besiknya adalah cerita-cerita dari sastra, tatwa, kakawin dan lainnya. Cerita local yang benar-benar kuat untuk bisa mengenal diri sesungguhynya. “Saya tampilkan seperti itu, menulis dan membentuk karakter yang baru, sehingga prinsip-prinsip ini bisa mengalir dengan keadaan jaman sekarang,” ungkapnya.

Menurunya, hal ini penting dihadirkan, agar apa yang menjadi prinsip hidup yang digunakan, terutana di Bali bisa diterima oleh anak-anak muda. Sebab, fenomena yang ada, anak-anak muda Bali jarang yang mau mempelajari tentang sastra, kebudayaan-kebudayan local yang lebih mendalam.

Baca Juga:  Festival The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya. Membaca Ulang dan Membangun Arsip Maestro I Mario

Anak-anak muda hanya melihat bungkus luarnya saja. “Tugas saya sebagai seniman harus membuat ini menjadi simple untuk diceritakan. Setelah mereka siap menggali lebih dalam, nanti ada waktunya mereka untuk membaca kembali lontar sastra dan lainnya,” pungkasnya.

Head & Seal Jimbaran Puri A Belmond Hotel, Yudi Hidayah mengatakan, pameran ogoh-ogoh ini merupakan ajang saling menguntungkan. Itu, karena Jimbaran Puri A Belmond selalu berkomitmen untuk tidak hanya mengundang turis untuk tinggal di hotel, tetapi juga pelaku budaya.

“Kami sangat sadar, yang membuat Bali menarik, kan bukan pantai, karena di tempat banyak yang bagus. Hotel juga sederhana, tetapi Bali menarik karena seni budayanya juga orang- orangnya,” ucapnya senang.

Semua tamu yang datang ke hotel ini, mereka rata rata melihat pantai, sunset dan lainnya, tetapi mereka yang membuat mereka terpesona adalah pelayanan dari para karyawan. “Wisatawan itu, dengan polos bertanya, kok bisa karyawan anda membuat kita betah.

“Itu karena orang Bali menghormati turis yang menyebutnya kata tamu. Ini sebutan cara mereka menghomatui para turis yang menikmati Bali dan tinggal di daerahnya sendiri. Nah, inilah kesempatan Belmond memeperkenalkan Bali melalui ogoh-ogoh.

Seni ogoh-ogoh memang menjadi pilihannya, karena terkait dengan hari raya Nyepi. Kalau dunia mempunyai satu jam untuk bumi, maka Bali sudah mulai dari beberapa tahun lalu. Waktunya juga cukup lama, yakni seharian penuh.

Pada saat Nyepi, masyarakat Bali, tak hanya menutup pulau, tetapi melakukan meditasi, merepleksi diri, menjaga alam dan memberikan alam untuk bernafas. “Marmar adalah sosok yang pas, terutama dari cara pemilihan bahan sustainable yang sesuai dengan salah satu filosofi hotel kita,” tutup Yudi Hidayah. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post