Pembawa Tedung, Bandrang dan Cane dalam Lomba Baleganjur, Dulu Pasif Kini Berperran Aktif
Jangan kaget kalau menyaksikan lomba baleganjur saat ini, pembawa tedung, bandrang dan cane itu berperan aktif dalam sajian seni gamelan itu. Mereka menari lincah dan penuh ekspresi. Terkadang berperan sebagai tokoh dalam kisah yang diangkat. Mereka tak hanya enerjik, tetapi juga kreatif dan memiliki dasar tradisi yang kuat.
Padahal dulu sekitar tahun 80-an, ketika awal-awal dimulainya lomba baleganjur, pembawa tedung bandrang dan cane (gebogan dalam ukuran kecil) hanya sebagai pelengkap saja. Pada saat lomba dimulai, pembawa tedung, bandrang dan cane itu berjalan di depan para penabuh dengan penuh semangat.
Setelah itu, lalu parkir (berdiri) disisi kanan dan kiri pada saat para penabuh beraksi (melakukan display) didepan panggung kehormatan atau depan dewan juri. Syarat pembawa tedung, bandrang dan cane pun tak telalu rumit, yang penting ganteng (untuk pembawa tedung dan bandrang) dan cantik (untuk pembawa cane).
Busana yang dipakai juga sangat sederhana, memakai udeng, baju kemeja, kain dan saput untuk pembawa bandrang dan tedung. Sementara pembawa cane, memakai baju kebaya, kain slempot dan hiasan kepala dengan bunga hidup yang sederhana.
Selain itu, sering pula memilih pemuda dan pemudi yang memiliki rasa percaya diri, dan piawai melangkah seperti peragawan dan peragawati diatas calwalk. Tentu saja, karena mereka berada pada barisan depan yang akan memberi image yang baik pada peserta lomba yang didukungnya.
Namun kali ini berbeda, pembawa tedung, bandrang dan cane itu tak cukup hanya ganteng dan cantik, tetapi juga piawai menari dan berekspresi. Sebab, mereka bukan sebagai pelengkap dari sajian seni baleganjur saja, tetapi sudah menjadi bagian dari sajian lomba baleganjur itu.
Bahkan, sering menjadi pemeran utama, karena terkadang berperan sebagai tokoh dari tema yang diangkat. Paling tidak, pembawa tedung dan bandrang itu seorang yang kreatif dan terampil memainkan alat yang dibawanya, sehingga memberi efek gerak yang indah.
Seniman I Ketut Lanus, S.Sn.M.Si mengatakan, dalam garapan baleganjur itu, pembawa tedung, bandrang dan cane itu lebih kreatif dengan lainnya. Sebab, kalau berbicara kreativitas seni itulah yang bagus dan menarik.
Dulu, permbawa bandrang, tedung dan cane hanya sebatas pelengkap yang hanya berjalan saja, sehingga menjadi sajian seni yang kurang menarik. “Kalau hanya sebagai pelengkap, untuk apa pembawa tedung, bandrang dan cane itu ada dalam lomba balegenjur,” ucapnya.
Sekarang, karena berkaitan dengan kreativitas anak-anak muda, maka pembawa bandrang, tedung dan cane itu bagus ikut menari sehingga memperkuat tema yang diangkat. Hal itu sebagai gambaran kalau penggarap-penggarap muda serasa kurang puas kalau pembawa tedung, bandrang dan cane itu hanya sebagai piguran saja.
“Sekarang ini baleganjur tak hanya bisa dilihat dari karya audio saja. Karena memiliki kreativitas tinggi, maka baleganjur sudah menjadi audio visual,” lanjut Dosen Seni Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI Bali) ini.
Itu karena kreativitas anak-anak muda yang cukup tinggi. Para komposer muda sekarang ini ikut menggarap bagian-bagian penting untuk menghasilkan sajian seni yang menarik. Visualnya, digarap bagus, apalagi menjadi tuntutan audio. Maka tak salah, kreativitas generasi muda sekarang cukup tinggi.
Semua yang terlibat di dalam darapan beleganjur itu, baik sebagai pemain pokok ataupun piguran berperan penting untuk menyampaikan tema yang diangkat. “Kalau tidak dimaksimalkan, maka estetiknya akan terkesan kurang,” ungkap pemilik Sanggar Cahya Art ini
Maka itu, kreativitas anak-anak muda dintutut untuk menjadikan baleganjur sebuah kreativitas seni yang tak pernah monoton apalagi mandeg. Hal ini, tentu menjadi sebuah lompatan bagus bagi generasi muda saat ini. Namun, yang penting tidak menghilangkan tematik dan mesti sesuai dengan sinopsis yang menjadi bingkai garapan itu.
Adanya tema, lengkap dengan cerita dan kisah, maka mereka mewujudkan semua itu dengan gerak, komposisi bahkan penokohan. “Nah, karena mengkaitkan dengan cerita itu, maka pembawa tedung, bandrang dan cane yang sebelumnya berfungsi sebagai piguran, sewaktu-waktu dilibatkan untuk berperan mewujudkan isi cerita,” terang pria asli Badung ini.
Maka itu dalam lomba baleganjur sekarang ini, pembawa tedung, bandrang dan cane sudah menjadi peran piguran yang aktif, bukan pasip seperti sebelumnya. Bahkan, kejelian para penggarap muda saat ini selalu melihat celah yang mesti digarap. Mereka selalu kenyang ide, sehingga dalam penyajian seni seakan tak ada batasnya.
Sebut saja, ketika pemabawa tedung dan bandrang berperan, alat itu diserahkan kepada tukang tegen gamelan. Demikian pula, ketika perlu pemain yang mengusung salah satu penabuh yang memerankan salah satu tokoh, maka alat itu diberikan kepada penabuh lainnya.
Itulah kejelian dari para penggarap dalam melihat celah. Namun, terpenting porsinya harus disesuaikan. Kalau pembawa tedung, bandrang dan cane itu sebagai piguran, namun disatu sisi mereka digarap aktif, maka jangan sampai lebih dari 80 persen menari.
Kalau mereka menari, bahkan total menari, memerankan tokoh, maka mereka menjadi penari jadinya, bukan sebagai piguran. “Intinya porsi disesuaikan. Biasanya, mereka diberikan menari sedikit untuk memperkuat kisah yang diangkat. Tergantung sekarang kreteria lomba itu,” sebutnya. [B/puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali