“Ngelandepin Idep” di Tengah Hadirnya Artificial Intellegence

 “Ngelandepin Idep” di Tengah Hadirnya Artificial Intellegence

Tumpek Landep, sesungguhnya terdiri dari dua suku kata, yakni kata Tumpek dan Landep. Kata Tumpek berasal dari dua kata yaitu suku kata “tu (metu)” yang berarti lahir dan“pek” yang  berarti  putus  atau  berakhir.  Pengertian ini didasari karena hari Tumpek bertetapan dengan pertemuan dari berakhirnya dua buah wewaran yaitu antara Saptawara dengan Pancawara. Hari sabtu/saniscara merupakan hari terakhir dari Saptawara dan Kliwon merupakan hari kelima atau terakhir dalam Pancawara dan Wuku yang mengikutinya juga berakhir pada hari Sabtu”.

Sementara itu, kata Landep memiliki arti: tajam, runcing serta merupakan nama wuku yang kedua. Pada Tumpek Landep masyarakat Hindu akan melakukan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati sebagai penguasa senjata atau peralatan besi.

Dalam Lontar Sundarigama dinyatakan sebagai beriku: kunang ring wara Landep Saniscara Kliwon, puja walin Bhatara Sambada mwang payoganira Sang Hyang Pasupati, pujawalinira Bhatara Siwa. Yang artinya adapun pada hari Sabtu Kliwon wuku Landep, merupakan pujawali Bhatara Siwa Sambada dan juga sebagai payogan Beliau Sang Hyang Pasupati serta pujawali Bhatara Siwa. Pasu artinya hewan dan Pati artinya Raja. Maksudnya pada hari ini manusia   diingatkan agar menguasai sifat-sifat kebinatangannya. Apabila sifat-sifat tersebut dapat dikuasai maka manusia tidak akan sembarangan menggunakan senjata.

Dalam Lontar Sundarigama juga menjelaskan bahwa, Tumpek Landep pinaka landepin idep”. Artinya Tumpek Landep adalah sebagai media untuk mempertajam pikiran.  Melalui Hari Suci Tumpek Landep itulah kita diingatkan untuk mempertajam pikiran kita agar berbagai persoalan hidup dapat diatasi dengan tepat, baik dan benar.

Pelaksanaan upacara Tumpek Landep ada kaitannya juga dengan proses perjalanan Rsi Markandeya dari Jawa ke Bali. Sekitar abad IX, Rsi Markandeya yang sebelumnya bertapa di kaki Gunung Rawung Jawa Timur, pergi ke Bali bersama delapan ribu pengikutnya merabas hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian.  Rombongan tersebut tiba di Desa Sarwada (yang sekarang disebut Desa Taro Gianyar) dan mereka memulai pekerjaan merambah hutan. Usaha mereka gagal karena banyak pengikutnya meninggal diserang wabah penyakit dan binatang buas sehingga dari kegagalan tersebut Rsi Markandeya bertolak kembali ke Jawa Timur untuk melakukan pertapaan di kaki Gunung Rawung guna meminta petunjuk.

Baca Juga:  Akademi Komunitas Negeri Seni dan Budaya Yogyakarta Meriahkan PKB XLVI dengan “Satria Jati”

Beliau mendapatkan petunjuk supaya sebelum melakukan pekerjaan merabas hutan hendaknya didahului dengan melakukan upacara Bhuta Yadnya, menanam lima jenis logam yang disebut dengan Panca Datu. Petunjuk itupun dilakukan dan beliau melakukan penanaman Panca Datu di kaki Gunung Agung yang merupakan cikal bakal terwujudnya Pura Besakih sekarang ini. Dengan upacara tersebut maka perabasan hutanpun menjadi lancar. Karena desa tempat merabas hutan penuh dengan kayu-kayuan besar maka desa tersebut diberi nama Desa Taro”.

Tumpek Landep sesungguhnya bukan hanya sekadar “otonan besi” atau mengupacarai benda-benda seperti keris, pedang, ataupun di zaman globalisasi ini benda-benda seperti mobil, motor, kulkas, televisi dan semua benda elektronik lainnya. Namun esensi dari Tumpek Landep itu adalah untuk mengasah dan mempertajam pikiran, karena pikiran yang tajam akan mampu memerangi sifat awidya atau kebodohan dalam diri manusia. Karena pada dasarnya, pikiran yang tajam, cerdas dan kritis akan mampu memproduksi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Pada konteks yang sekarang, Hari Suci Tumpek Landep tidak hanya sekadar ritual semata, namun juga sebagai ajang untuk refleksi di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, bahkan hadirnya Artificial Intellegence mampu mengubah cara hidup manusia. Oleh karenanya pengembangan ilmu yang berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan adalah fondasi yang penting dalam memastikan kemajuan ilmiah dan teknologi yang tidak hanya berfungsi untuk kepentingan ilmiah semata, tetapi juga untuk kebaikan umat manusia.

Etika memainkan peran sentral dalam panduan pengembangan teknologi, memastikan bahwa inovasi tersebut tidak mengorbankan nilai-nilai moral dan keselamatan manusia. Prinsip keadilan dan kesetaraan akses menjadi landasan untuk memastikan bahwa manfaat dari kemajuan ilmu dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu, pertimbangan terhadap dampak sosial, lingkungan, dan budaya menjadi penting dalam setiap tahap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sementara tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia.

Baca Juga:  Di Bulan Bahasa Bali, Sanggar Seni Kebo Iwa Sajikan “Kawisesan Mahosadhilata”

Dengan demikian, makna secara filosofis dari Tumpek Landep adalah upaya untuk ngelandepin idep atau mempertajam pikiran. Manusia memiliki peran penting dalam memproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun fungsi dari pikiran yang tajam tersebut tidak hanya dalam konteks memproduksi ilmu pengetahuan dan juga teknologi yang justru membahayakan kemaslahatan umat manusia, namun lebih kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan, sehingga hal ini akan membawa kebermanfaatan dan kemaslahatan bagi umat manusia.

Dan itulah yang menjadi makna penting dari Tumpek Landep sebagai momentum untuk refleksi dan juga sebagai wujud syukur atas kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah berdampak positif untuk keberlangsungan hidup dari umat manusia. [B]

Gede Agus Siswadi

Dosen Filsafat Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dan di Sekolah Tinggi Hindu Dharma Klaten, Jawa Tengah. Mahasiswa S3 di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada

Related post