Sanggar Seni Cudamani Ubud dengan Pelegongan Klasik Lintas Generasi

 Sanggar Seni Cudamani Ubud dengan Pelegongan Klasik Lintas Generasi

Sanggar Seni Cudamani Ubud sajikan pelegongan klasik lintas generasi di ajang PKB ke-46/Foto: ist

Generasi muda di jaman ini, sering kali dianggap tak peduli terhadap kesenian klasik. Terlebih kesenian Bali yang memiliki tingkat kesulitan tinggi, maka anak-anak yang lahir di jaman milenial ini dianggap tak menyukai kesenian yang lahir tempo dulu.

Ternyata pendapat itu tak benar. Lihat saja pada penampilan Sanggar Seni Cudamani, Banjar Pengosekan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar yang tampil di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke -46, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Kamis 20 Juni 2024.

Para penonton tampak antusias memadati panggung dengan kapasitas tempat duduk 400 orang itu. Anak-anbak muda, para tokoh, budayawan hingga wisatawan asing hadir menyaksikan peregelaran seni pelegongan lintas generassi itu.

Bahkan, tak sedikit dari mereka yang mengabadikan momen pergelaran baik dalam bentuk rekaman video maupun fotografi. Pelegongan klasik dan karya baru dibawakan seniman cekatan lintas generasi itu.

Baca Juga:  Musik Tradisional Sumatera Selatan ‘Irama Batanghari Sembilan’ yang Mempesona

Persembahan Sanggar Seni Cudamani ini, seakan mengingatkan kembali kesungguhan karya-karya maestro di zaman dulu untuk dapat dinikmati saat ini. Sejalan dengan tema “Jana Kerthi Paramaguna Wikrama, sanggar ini tampil apik dan memukau pengunjung PKB.

Sanggar Cudamani dibawah asuhan komposer I Dewa Putu Berata menampilkan 7 karya tabuh dan tari. Tiga karya yang dibawakan dari kalangan dewasa dan 4 karya disajikan oleh kalangan remaja. Satu diantaranya ada gending cukup tua diperkirakan diciptakan sekitar tahun 1970-an.

Gending yang cukup tua itu, kembali dibangkitkan karena hampir punah. Gending ini direkonstruksi ulang Sanggar Cudamani bersama Dewa Putu Berata. Gending pelegongan gegenderan itu tidak ditemukan dalam rekaman maupun Chanel YouTube. Karya tabuh ini berjudul Pelegongan Crucuk Punyah, karya alm. I Wayan Gerinem, asal Banjar Teges Kanginan.

Pelegongan Crucuk Punyah Gegenderan yang bernuansa tersendat-sendat dan bersahutan yang bernuansa ceria ini menggambarkan kehidupan satwa burung yang lagi bercengkrama saling bersahutan dan saling mengungguli satu sama lainnya bagaikan sedang mabuk (punyah).

Baca Juga:  Tari Bali Dihargai dan Dicintai Warga London, Inggris (Cerita Seorang Guru Tari)

Ide gending ini diambil dari gending Gender Wayang. Tabuh ini diajarkan oleh Wayan Lantir dari Banjar Teges Kanginan, Peliatan, Ubud, spesial disajikan dalam pentas PKB 2024. Tabuh gending ini sudah puluhan tahun tak terdengar, namun rekaman digital, seperti di Youtube dan layanan streaming lainnya, tidak ada.

“Kami di Sanggar Seni Çudamani sangat menginginkan gending ini tetap hidup, sehingga kami mengundang Bapak Lantir anak dari pencipta Alm. I Wayan Gerinem sebagai guru untuk mengajarkan langsung kepada kami,” tutur Ketua Sanggar Cudamani I Dewa Putu Berata.

Perkembangan anak muda dalam pelestarian seni pelegongan saat ini cukup baik, bangkit kembali, hal ini menjadi kebanggaan baginya, dimana upaya-upaya generasi muda mulai menekuni dan melakukan gerakan pelestarian, seperti membangkitan legong lama yang sudah tak terdengar lagi.

Gending-gending lama memang digarap para pencipta yang cukup lama dan berulang-ulang sehingga karya-karya itu sangat matang dan metaksu. Seperti karya tabuh kreasi Barong Landung yang juga ditampilkan di panggung PKB tahun ini, merupakan hasil dari kebangkitan tabuh-tabuh klasik yang jarang didengar.

Baca Juga:  “Kaki Kaki, I Dadong Kija” Sanggar Kelanguan Garap Sesolahan Seni Sastra Ingatkan “Tumpek Wariga”

“Terinspirasi dari nyanyian-nyanyian Jero Gede dan Jero Luh dalam Barong Landung, lewat ayah saya bernama I Dewa Nyoman Sura, saya mendapat segaris melody sebagai sumber garapan ini,” ungkapnya.

Sanggar Seni Cudamani Ubud sajikan pelegongan klasik lintas generasi di ajang PKB ke-46/Foto: ist

Ceritanya, lanjut Dewa Putu Berata, dirinya pernah menonton Barong Landung Sesuhunan Pura Dalem Peliatan dimana Penata melihat persembahan terakhir ayah saya, (almarhum) dengan Gurunya Pekak I Made Lebah (almarhum) sebagai pasangan kendang terakhir kalinya, setelah hampir 20 tahun mereka tak berpasangan lagi.

“Beliau berdua sangat piawai dan terkenal dalam berpasangan kendang arja geguntangan yang sudah biasa mengiringi Sekaa Arja yang ada di desanya pada tahun 60-an. Untuk mengenang kejadian yang unik dan tak dijumpai lagi, saya menggarap Tabuh Barong Landung ini,” lanjut Dewa Putu Berata.

Kedepan pelegongan diyakini akan terus berkembang, dengan catatan dalam menekuni seni pelegongan baik tabuh dan tari, benar-benar serius jangan abai ( ampah). “Saya banyak melihat para penabuh saat ini kurang menghayati, kurang percaya diri, bukan saja di pelegongan saja namun di seni tabuh yang lain,” ungkapnya.

Baca Juga:  Awal Berkembangnya Legong di Peliatan

Ia sendiri di sanggar berusaha menerapkan belajar tabuh bagaimana mencari enaknya. “Kami main dengan senang hati, sehingga mampu gending yang dibawakan itu hidup, tiang dekatkan pola itu kepada anak-anak di sanggar,” lanjutnya.

Setiap lagu memberikan pesan, hari ini belajar lagu atau gending bisa dibawakan dalam sehari tapi untuk mendapat rasa perlu berulang kali. Lantas, bagaimana caranya main tidak membosankan. “Cudamani punya cara tersendiri, mampu menghidupkan,” imbuhnya.

Dewa Putu Berata kemudian menyampaikan jangan menyepelekan atau menggampangkan setiap kali belajar tabuh, harus disiplin, karena tabuh menggambarkan waktu, ruang dan suasana saat itu. “Di zaman dulu belajar satu gending sangat lama, begitu jadi gending itu sangat matang dan terkenang sepanjang masa,” paparnya.

Sanggar Cudamani, juga menyajikan karya-karya kreasi lainya diantaranya, Tari Legong Gering. Gering, sebuah istilah untuk pandemic. Suatu daerah ada dalam situasi kesehatan yang buruk, mengalami grubug di mana para warga kena penyakit, seperti serangan COVID beberapa tahun yang lalu. Kegong ini ditata I Nyoman Cerita (almarhum) dan penata tabuh I Dewa Putu Berata dan I Dewa Ketut Alit.

Baca Juga:  “Tari Kreasi Baris Nadewa” Angkat Kisah Nakula dan Sahadewa Bangkitkan Patriotisme Generasi Muda

Karya tabuh klasik Pelegongan Genggong Gonteng Jawa Tabuh ini merupakan dua karya dari buah pikir sang maestro karawitan Bali yang tersohor bernama Alm. I Wayan Lotring. Karya ini tercipta pada tahun 1926, di tempat kelahiran nya di Kuta, Kabupaten Badung bersama Sekaa Palegongan Kuta. Secara musikal, karya ini mengadopsi unsur-unsur kesenian Genggong dan lagu-lagu Solo, yang ditafsirkan ulang ke dalam bentuk gending pelegongan.

Kemudian Tari Legong Somya, dengan penata tari Emiko Saraswati Susilo dan persembahan terakhir Tari Legong Kebyar Kumbang Atarung. Dalam legong kebyar ini, kekebyaran dengan aksen-aksen yang keras serta dinamis, ornamentasi, hiasan-hiasan serta ritme-ritme ditata baru, yang berdasarkan tatanan pengawak legong klasik penata tari Emiko Saraswati Susilo dan penata tabuh I Dewa Putu Rai.

Hingga pamungkas persembahan, tampak antusias penonton dengan setia memberikan dukungan kepada sanggar yang menjadi ikon pelegongan asal daerah seni itu.Çudamani berhasil menggali dan merekonstruksi seni tari dan tabuh yang hampir punah.

Beberapa kesenian yang direkonstruksi dan bertahan sampai saat ini, bahkan berkembang di desa kelahirannya, sebut saja Legong Candrakanta, Legong Sudarsana, Kebyar Duduk gaya Sampih, Kebyar Truna Gandrung, Kebyar Pengeleb Buleleng, Pudak Sinunggal Buleleng, Tabuh Sekatian gaya Paketan Buleleng, Tabuh Sekatian gaya Payangan dan Gending Crukcuk Punyah.

Baca Juga:  Tiga Seniman Asal Bali dan Yogyakarta Sambungkan Parasaan dan Isi Pikiran di Artspace ARTOTEL Sanur – Bali

Sanggar Seni Çudamani didirikan oleh I Dewa Putu Berata pada tanggal 28 Oktober 1997, bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, di Banjar Pengosekan, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Çudamani memiliki visi dan misi untuk menggali, melestarikan, dan mempersembahkan seni tari dan tabuh Bali yang berkualitas.

Di setiap perhelatan PKB, sanggar yang terkenal di seantero jagat inipun senantiasa hadir dan memberikan sajian mumpuni bagi kesenian klasik khususnya kesenian pelegongan. Pelaksaanaa PKB tahun ini berlangsung satu bulan penuh mulai 15 Juni – 13 Juli 2024 yang dipusatkan di Taman Budaya Provinsi Bali.

PKB kali ini mengangkat tema “Jana Kerthi Paramaguna Wikrama, Harkat Martabat Manusia Unggul sebagai pemantik tim para duta kabupaten dan kota guna menghasilkan karya-karya kreasi baru ataupun monumental.

PKB tetap menampilkan 8 (delapan) materi pokok meliputi Peed Aya (Pawai), Rekasadana (Pergelaran), Utsawa (Parade), Wimbakara (Lomba), Kandarupa (Pameran), Kriyaloka (Lokakarya), Widyatula (Sarasehan), dan Adi Sewaka Nugraha (Penghargaan Pengabdi Seni). [B/*/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi seni budaya di Bali

Related post