9 Seniman Pentaskan ‘Proses Membuat Musik’ di Singaraja Literary Festival

 9 Seniman Pentaskan ‘Proses Membuat Musik’ di Singaraja Literary Festival

9 Seniman pentaskan ‘Proses Membuat Musik’ di Singaraja Literary Festival/Foto: amrita dharma

Pentas seni, biasanya diawali dengan latihan untuk menyatukan ide, konsep ataupun hal-hal lain yang mendukung sebuah pementasan. Latihan itu penting agar mengerti tugas dan peran tugas yang dilakukan di atas pentas. Hal itu, juga dapat meminimalisir kesalahan dalam pentas.

Lantas, bagaimana kalau pertunjukan seni tanpa diawali latihan? Nah, itu justru menjadi konsep pertunjukan kolaborasi 9 seniman dalam ajang Singaraja Literary Festival di Sasana Budaya Buleleng, Sabtu 24 Agustus 2024 malam.

Proses latihan yang biasanya dilakukan di studio ataupun tempat latihan itulah yang disajikan 9 seniman ini di atas panggung. Pentas band dengan durasi waktu sekitar 20 menit itu, memang menyajikan sebuah proses musik.

“Kami memang menampilkan konsep petunjukan musik jam session. Jadi, sebuah proses membuat musik. Semua musisi memainkan elemennya masing-masing tanpa harus berlebihan,” kata koordinator 9 seniman, Aristiana atau yang yang akrab disapa Jack usai pentas.

Baca Juga:  Anggis Devaki “Tutup Hati”

Saat itu, 9 seniman yang tampil bukan merupakan satu grup musik yang sudah jadi atau dalam satu grup band yang jadi. Melainkan gabungan pemain musik yang diambil tiba-tiba, dan secara acak. Disinilah tantangannya, karena mereka akan menyesusikan satu sama lainnya.

“Kami yang tampil ini bukan berasal dari satu grup, tetapi dicomot-comot untuk mendukung sebuah pertunjukan musik. Masing-masing dari kami, semuanya memiliki difinisi yang sama didepan panggung,” ucapnya.

Walau ini menjadi sebuah tantangan, namun ketika ditawari oleh panitia Jack langsung mengiyakan. “Saya ingin sesuatu yang beda. Konsep jam seasons saya mau, karena perlu menunjukan sesuai yang beda,” ujarnya.

9 Seniman pentaskan ‘Proses Membuat Musik’ di Singaraja Literary Festival/Foto: amrita dharma

Dalam pentas ini, masing-masing pemain menunjukan sebuah proses ketimbang membawakan sesuatu yang sudah fit, sudah jadi atau selesai. “Tetapi ada satu line atau garis yang mesti kami ikuti bersama,” sebutnya polos.

Baca Juga:  Museum Bali Miliki Koleksi Kain Langka Berumur Ratusan Tahun

Lagu-lagu yang ditulis atau pun lagu yang dibawakan mesti mencerminkan dari tema Singaraja Literary Festival itu, yaitu “Dharma Pemaculan”. Sebuah tema terkait dengan tuntunan para petani dalam mengelola pertanian di Bali. Hal itu tercermin dalam lagu Sawah.

Ketika 9 seniman ini tampil, mampu memberikan sajian seni musik yang menghibur, bahkan tampil sangat atraktif. Walau mereka menyajikan proses dalam membuat musik, tetapi penampilan mereka seperti grup band yang sudah lama terbentuk.

Sebab, penampilan mereka begitu memikat. Bahkan, mereka memainkan alat musik yang bukan hanya musik modern, seperti keyboard, drum, gitar, dan lainnya, tetapi juga memadukan dengan alat gamelan tradisional berupa gangsa. Aksi mereka membakar apresiasi para pengunjung.

Demikian pula halnya dengan sajian tari konteporer yang ditarikan dua orang penari di awal pementasan. Sajian seni kontemporer itu menampilkan konsep jam session. “Kami dari musisi hanya memberikan euang untuk suasana. Penari yang kemudian merespon,” imbuhnya.

Baca Juga:  Buku Prosa Gerilya: Sejarah Sosok I Gusti Ngurah Rai dalam Balutan Sastra

Ruang itu diciptakan melalui musik keyboard, suling dan elemen vocal berupa kidung yang direspon penari. Terkadang, para pemusik yang merespon penari, sehingga menjadi sebuah pementasan yang saling mengisi.

Malam itu, 9 seniman membawakan sebanyak tiga lagu yang masing-masing menawarkan spirit dalam kehidupan. Sebut saja lagu “Sawah”. Lagu ini, teoat dan pas sekali dengan tag line “darma pemaculan”, sehingga disajikan dalam ajang litarasi sastra tahunan ini.

Jack lalu menjelaskan, Lagu Sawah ini lahir karena sebuah rasa kekhawatiran dirinya terhadap lestarinya sawah. Kenyataan yang dirasakan saat ini, sawah-sawah semakin hilang. Bukannya lestari.

Belakangan, orang mengeluh tentang beras yang mahal, bahkan identik dengan kata kelaparan. “Kami berharap, makna dalam lagu ini bisa sampai kepada penonton,” tambahnya.

Baca Juga:  Colourful Souls: Pameran Seni Kolaborasi Artotel Sanur dan Sanggar Bares Lodtunduh

Lalu, satu lagu yang mengisahkan tentang dua kutub yang tidak pernah terpisahkan. Cinta dan benci tak pernah terpisah yang selalu ada dalam kehidupan. Itu, merupakan konsep masyarakat Hindu di Bali yang mengenal warisan budaya berupa “rwa bineda”.

Dua hal berbeda yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Walau sudah biasa dipentaskan, namun lagu ini tak dirilis secara spisial. Lagu itu hanya diunggah dalam channel YouTube. Dalam festival ini, lagu itu dimainkan secara live.

Lagu berikutnya, menyajikan Lagu Frekwensi Cinta. Lagu ini, mengisahkan kekhawatirannya terhadap maraknya media soaisl. Bahkan, media sosial itu masuk ke banyak lini masyarakat. Termasuk saat ini pun.

Sayangnya, kapisitas masyarakat belum terlalu pasih untuk menerima perbedaan, sehingga sering membuat dilema baru.

Baca Juga:  “Singaraja Literary Festival” Mencatat dan Menghidupkan Kembali Legacy Masa Lalu

Melihat komentar-komentar masyarakat yang beragan, sepertinya belum bisa menerima pikiran semua itu karena apa yang dia pikirkan terkadang nyeleneh dan terkadang tak masuk akal. “Hal itu, seperti khuruksetra dialektika beremuruh dengan frekwensi cinta,” paparnya.

Ketika mengganggap dialektika itu sebuah peperangan menuju cinta, itu akan biasa saja. Tetapi, dari situ mungkin juga bisa menjadi perang benaran. “Itu pesan yang ada dalam lagu merdeka yang ada pidato Bung Karno yang memperkenalkan Pancasila dimuka dunia,” tutup Jack bersemangat. [B/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post