THE VOICES AFTER CAK!: Menelusuri Identitas di Tengah Kerumunan

 THE VOICES AFTER CAK!: Menelusuri Identitas di Tengah Kerumunan

Foto oleh: Niskala Studio & Ubud Food Festival

PERTUNJUKAN The Voices After Cak! produksi Mulawali Institute berhasil menggugah emosi saya. Disutradarai oleh Wayan Sumahardika dengan kolaborasi Jacko Kaneko (koreografer), Jesika Kaila (siswi SMP Pasuruan-Denpasar), Karina Sokowati (penari dan DJ Bandung-Bali), Puspita Sari (mahasiswa Denpasar, pegiat lingkungan Bali), serta Agus Wiratama (produser Bali), pertunjukan ini diselenggarakan pada 1 Juni 2025 di Taman Kuliner, Jalan Raya Sanggingan, Ubud, Bali.

Mengambil inspirasi dari pengalaman berlatih getaran tubuh pada tari kecak dan koreografi lain, pertunjukan ini mempercakapkan perubahan sosial dan ikatan kerumunan lintas generasi serta wilayah. Tujuannya adalah membuka personalitas performer di tengah kerumunan dan mendorong percakapan tentang kenyataan, getaran harapan, biografi tubuh, dan kosmopolitanisme kota yang saling silang di dalamnya.

Pertunjukan dimulai dengan presentasi karya dan pengenalan tim produksi, diikuti penyampaian aturan menonton yang dikemas seperti permainan agar penonton lebih antusias. Para aktor kemudian menampilkan gerakan tubuh yang bergetar, terinspirasi dari tari kecak, sebelum berebut podium untuk menyuarakan sesuatu, menciptakan dinamika konflik dan perjuangan agar suara mereka terdengar.

Bagi saya, pertunjukan ini bukan sekadar tontonan, melainkan ruang refleksi yang mendalam. Seusai menonton, saya teringat akan pengalaman pribadi yang masih membekas: saat seorang teman memanggil saya “Jawa”—padahal saya lahir dan besar di Bali. Saat itu, saya merasa heran sekaligus terluka, seolah-olah identitas saya bisa begitu saja disederhanakan hanya berdasarkan asal-usul.

Ternyata, pengalaman ini juga dirasakan banyak orang di sekitar saya, di mana kata “Jawa” kerap digunakan sebagai label yang merendahkan, bukan hanya untuk orang yang berasal dari Pulau Jawa, melainkan untuk semua pendatang dari luar Bali.

THE VOICES AFTER CAK!: Menelusuri Identitas di Tengah Kerumunan
Foto oleh: Niskala Studio & Ubud Food Festival

Pertunjukan ini mengajak saya merenungkan pentingnya melihat manusia lebih dari sekadar label atau asal-usul, sebab di balik setiap panggilan atau ejekan, ada hati yang mungkin terluka dan ada identitas yang seharusnya dihargai. Salah satu adegan paling berkesan bagi saya adalah saat para aktor duduk dengan wajah lelah, namun tetap berusaha menggetarkan badannya.

Baca Juga:  “Humanity” : Berkesenian di Masa Pandemi Untuk Kemanusiaan(Pengantar Apresiasi Pameran Virtual Oka Astawa)

Adegan ini menggambarkan perjuangan manusia yang meski dihadang kelelahan, tetap berusaha bangkit dengan sisa tenaga. Saya melihat ekspresi mereka yang letih, tetapi juga penuh tekad untuk tidak menyerah.

Selain itu, adegan ketika para aktor duduk saling membelakangi, lalu saling mendorong satu sama lain,begitu menyentuh saya. Gerakan itu adalah simbol dinamika hubungan manusia: kita sering kali saling bertolak belakang, tetapi justru dari dorongan dan gesekan itulah kita tumbuh lebih kuat.

Pertunjukan ini mengingatkan saya bahwa perjuangan manusia bukan hanya soal menghadapi diri sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita saling berhubungan, saling menekan, saling mendorong, dan saling memberi kekuatan untuk bertahan. Gerakan saling mendorong itu pun menghadirkan ketegangan kolektif yang sangat relevan dengan konflik, solidaritas, dan dinamika masyarakat modern.

Saya membayangkan adegan ini masih bisa dikembangkan menjadi pusat pertunjukan yang lebih interaktif, misalnya dengan menambahkan ritme, lapisan suara, atau improvisasi gerak sehingga konflik, solidaritas, dan perjuangan itu bisa lebih terasa, bahkan bisa dirasakan langsung oleh penonton.

THE VOICES AFTER CAK!: Menelusuri Identitas di Tengah Kerumunan
Foto oleh: Niskala Studio & Ubud Food Festival

Secara keseluruhan, The Voices After Cak! adalah sebuah refleksi tentang perjuangan identitas di tengah kerumunan. Pertunjukan ini tidak hanya memantik emosi, tetapi juga membuka ruang diskusi yang relevan dengan isu-isu toleransi dan penerimaan perbedaan di masyarakat modern. Melalui pertunjukan ini, saya diingatkan bahwa manusia sering terjebak dalam label, namun kita selalu punya kesempatan untuk bangkit, bergerak, dan terus berjuang demi pengakuan identitas dan kemanusiaan yang lebih utuh. [B]

Related post