Ketut Putrayasa, Pajang 14 Karya di Mandai Rainforest Resort By Banyan Tree, Singapura
Ketut Putrayasa pajang 14 karya di Mandai Rainforest Resort By Banyan Tree, Singapura/Foto: ist
SENIMAN asal Badung – Bali, I Ketut Putrayasa dipercaya menghiasi Mandai Rainforest Resort by Banyan Tree, Singapura dengan karya-karya patungnya. Sejak dua bulan terakhir, tak kurang dari 14 patung logam karyanya berdiri anggun di resort mewah tersebut.
Karya patung yang dibuatnya berupa hewan-hewan yang hampir punah dan dilindungi, seperti Sunda Pangolin dan Colugo. Figur-figur itu bukan sekadar karya seni, melainkan pesan moral tentang konservasi.
“Saya sangat bersyukur bisa dipercaya membuat karya yang bukan hanya dipajang, tetapi juga diapresiasi di tempat berkelas dunia,” kata Putrayasa yang berasal dari desa kecil di Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung ini.
Karya patung Putrayasa, telah menembus panggung internasional. “Menciptakan patung hewan bukan perkara mudah. Setiap satwa punya karakter berbeda, detail tubuh yang khas, hingga ekspresi yang harus ditangkap dengan tepat. Disituklah, kerumitannya,” akunya polos.
Karya seni patung Putrayasa itu menyimpan pesan konservasi. Sebab, patung-patung itu bukan hanya benda hias. Ia ingin masyarakat yang melihat karyanya lebih mencintai hewan sekitar agar tidak punah.
“Hewan adalah sahabat manusia yang paling purbawi. Banyak naskah kuno menuliskan sumbangsih hewan terhadap ilmu pengetahuan. Jadi setiap patung saya adalah spirit untuk memahami keberadaan mereka di bumi,” ujar pria yang selalu berpenampilan nyentrik.
Karya Putrayasa bukan kali pertama dipamerkan di Singapura. Sebelumnya, ia dipercaya menampilkan karya monumental di kawasan konservasi ternama, Mandai Wildlife Singapore. Salah satunya patung berjudul “Mother & Child”, setinggi 3 meter dengan diameter 5 meter.
Patung ini menggambarkan Trenggiling Sunda (Manis javanica) yang melindungi anaknya—sebuah metafora tentang kasih sayang dan perlindungan.
Pengamat seni sekaligus perupa Tatang B. Sp memberi apresiasi. Ia menilai karya Putrayasa melampaui batas artistik. “Patungnya bukan sekadar representasi visual, melainkan edukasi. Ia mengajak publik lebih peduli terhadap satwa langka, khususnya trenggiling Sunda yang kini terancam punah,” katanya.
Menurut Tatang, seni publik seperti yang digarap Putrayasa punya peran besar membentuk kesadaran kolektif. “Melalui patung, publik tidak hanya menikmati estetika, tetapi juga memahami peran ekologis satwa dalam menjaga keseimbangan alam. Patung ini adalah ingatan yang diawetkan,” ujarnya.
Trenggiling Sunda sendiri kini masuk daftar spesies terancam menurut IUCN sejak 2016, akibat deforestasi dan perdagangan ilegal. Lewat patung berbahan kuningan dengan rangka stainless, Putrayasa menghadirkan detail sisik trenggiling yang tampak hidup, seolah menyampaikan pesan: melindungi hewan adalah melindungi keseimbangan alam.
Bagi Putrayasa, kepercayaan yang diberikan kepadanya di Singapura adalah bentuk tanggung jawab. “Saya berharap karya-karya ini bisa menjadi pengingat, bahwa manusia dan hewan adalah bagian dari satu ekosistem. Seni hanyalah jembatan untuk menyampaikan pesan itu,” pungkasnya.
Karya-karya itu menjadi sebuah konservasi dan bentuk spirit Bali. Sebab, dari Bali untuk dunia, karya Putrayasa berdiri sebagai monumen seni sekaligus suara konservasi—mengingatkan setiap orang yang melihatnya bahwa setiap spesies berhak lestari di bumi ini. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali