Sakde Oka Pemerkan ‘Voyage of Becoming’, Sebuah Rangkuman Perjalanan Artistik dan Merefleksikan Diri

 Sakde Oka Pemerkan ‘Voyage of Becoming’, Sebuah Rangkuman Perjalanan Artistik dan Merefleksikan Diri

Sakde Oka dan karya seni berjudul The Inner Pruner/Foto: puspa

JIKA menyaksikan pameran “Voyage of Becoming” di Art space ARTOTEL Sanur pasti terpesona dengan belasan karya seni yang ada. Bukan karena keindahannya saja, tetapi tentang ide, warna, media, objek serta makna yang terselit dalam setiap karya itu begitu menyentuh.

Sakde Oka, perupa asal Ubud ini menanam benih ide melalui benang, lalu merangkum emosinya dalam jalinan sulaman, dan menceritakan perasaannya di setiap tusukan benang yang sangat detail dan bermakna. Ide itu dituangkan pada berbagai media, seperti kanvas, katun dan lainnya.

“Meski karya seni ini dilakukan dengan teknik menyulam, tetapi dalam proses pembuatannya tetap diawali dengan menggores atau membuat sket, lalu disulam,” kata Sakde disela-sela pembukaan pameran tunggalnya itu, Jumat 12 September 2025.

Pemeran dibuka oleh General Manager ARTOTEL Sanur – Bali, Agus Ade Surya Wirawan. Ada belasan jumlah karya yang dipajang di areal lobby hotel tersebut. Pameran akan berlangsung hingga 15 November 2025.

Baca Juga:  Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

Dalam karya kali ini, Sakde Oka yang lahir tahun 1994 ini, seakan merangkum perjalanan personal dan artistiknya mendalami serta merefleksikan diri, baik secara internal maupun eksternal. Melalui eksplorasi transformatif ini, ia mengeksplorasi hubungan antara dirinya dengan lingkungan sekitar.

Termasuk hubungan alam dan semesta secara menyeluruh. Semua itu diwujudkan dalam karya seni rupa dengan teknik sulam. “Ketekunan dan kesabaran dalam menyulam benang itu, menjadi ruang untuk berefleksi, menenun intuisi, dan menggali kembali gagasan-gagasan yang lebih jujur,” ungjapnya.

Menyulam benang menjadi sebuah praktik yang menyatukan otak dan pikiran, jiwa dan perasaan. Proses menyulam, keterikatan kain dan benang layaknya jiwa yang tidak dapat terlepas dari raga, dan juga sebaliknya. Maka, karya-karya itu bersifat personal, intuitif, dan penuh makna.

Dalam pameran tunggal ini memang dispersiapkan secara serius. Karya-karya itu merupakan hasil proses sejak tahun 2024 hingga 2025. Ia menggunakan unsur-unsur alam sebagai medium ekspresi, menggunakan landscape dan ornamen alam yang merefleksikan sifat-sifat semesta yang memengaruhi sifat dan laku manusia.

Baca Juga:  ARTOTEL Sanur Bali Meriahkan Momen Natal dan Tahun Baru dengan Promo Kamar dan F&B

Keterhubungan antara manusia dan alam ini berakar kuat dalam ajaran Hindu, khususnya konsep Bhuana Agung (makrokosmos) dan Bhuana Alit (mikrokosmos). Keterhubungan antara manusia dan alam bukan hanya simbolis, tapi esensial dan spiritual.

Sakde Oka pemerkan “Voyage of Becoming” di Art space ARTOTEL Sanur/Foto: puspa

Karya-karyanya kaya akan bahasa visual yang metaforis nan reflektif yang mengajak semua orang menyadari, bahwa menjadi manusia tidak luput dari keterhubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan semesta yang lebih besar dari manusia.

Tiga karya dalam ukuran kecil tepat berada di depan lobby hotel, yaitu karya Here I Sit Beneath the Tree, karya Feeding Myself with Memories dan karya Until I Swim Into Infinity of Mysteries dengan media Cat akrilik,benang di atas kain kanvas merupakan tiga rangakain visualisasi puisi.

Setiap baris dari puisi itu menjadi karya lukisan. “Dalam setiap barisnya itu, sebenarnya tentang introspeksi diri, dan momen untuk repleksi. Artinya, semua karya itu tentang memori. Saya buat pusisi sendiri, lalu diterjemahin ke dalam karya seni,” akunya polos.

Baca Juga:  Lomba Gender Wayang Anak-anak di PKB Ke-47: Permainan Membentuk Kepekaan Tubuh, Pikiran dan Moral

Seri Symphony of Rain menjadi titik awal menuju proses eksperimentasi ini. Ia mulai melepaskan konstruksi konseptual dari karya sebelumnya, seperti dalam The Unbinding, sebuah karya yang merepresentasikan symbol pelepasan, sebagai jalan menuju pembaruan dan keterbukaan personal dalam proses berkarya.

Pilihan latar abu dalam karya-karyanya bukanlah kebetulan, melainkan keputusan artistik yang secara sadar dipilih oleh Sakde. Warna abu menjadi simbol kesederhanaan yang mereduksi lanskap visual, memungkinkan elemen-elemen utama dalam karya tampil lebih jujur dan intim.

Dalam karya The Inner Pruner, benang di atas kain katun sebagai gambaran kedekatan Sakde dengan identitas kulturalnya membawa pemikiran di bawah sadarnya kedalam nilai-nilai Hindu Bali dalam karyanya.

Dalam The Inner Pruner, ia menmggunkan ojek 6 wajah yang tidak sama, seperti ada menangis, senih, senang, gembira dan lainnya. Keenam wajah itu sebagai simbolisasi dari Sad Ripu, 6 (enam) musuh dalam diri manusia. Di setiap ranting itu, ada tindakan pemotongan yang menjadi indikator untuk mengendalikan sifat-sifat negatif tersebut agar dapat memberikan ruang untuk pertumbuhan baru, menjadi tunas baru.

Baca Juga:  Aprililia Gelar Pameran Tunggal ‘Resonansi Keberadaan’ di Sika Gallery Ubud

Di sebelahnya dalam ukuran yang sama, dipajang karya berjudul The Drift of Nectar sebagai pengantar pada fase terbaru. Ia menggambarkan pendekatan alam dalam Drift of Nectar dengan menggunakan metafora penyebaran serbuk sari sebagai symbol penyebaran kebijaksaan yang semesta berikan dalam proses kreatif.

Eksplorasi berlanjut pada karya Where Water Burns in Color, dimana figure tubuh tidak hanya hadir sebagai representasi fisik, melainkan menjadi simbol dari kehidupan yang terus berubah dan berevolusi.

Sedangkan dalam karya Vessel Beneath the Tree, tubuh membawa wadah sebagai simbol ilmu dan kebijaksanaan, hal-hal yang ditampung dan diserap sebagai bekal perjalanan hidup.

“Melalui kedua karya ini, tubuh berperan sebagai wadah untuk berlangsungnya proses penting, yaitu menjadi medium yang merekam proses pembiasan, pantulan, dan perubahan itu sendiri, suatu proses yang terus berlangsung dalam arus waktu yang konstan,” ungkapnya.

Baca Juga:  Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ Beber Kisah Legenda Daerah Banyuwangi di Bali Utara

Sementara itu dalam Perjamuan Sunyi, Sakde mengangkat kepercayaan Hindu Bali Kanda Pat–4 saudara kelahiran yang lahir bersama manusia ke bumi, 4 kursi kosong menjadi simbolis kehadiran mereka, tak terlihat namun saling berhadapan, dari luar terlihat hampa dalam sunyi namun saling menjaga dan bercakap dari dalam.

Three Graces adalah karya penutup dari serangkaian karya, hadir tiga figur perempuan dalam kebersamaan, saling bergandengan tangan, sebuah gestur sederhana yang tidak hanya hadir sebagai representasi individu, tetapi sebagai entitas kolektif yang saling terhubung dan menopang satu sama lain.

Karya ini menyadarkan bahwa proses menjadi bukan semata-mata perjalanan internal, melainkan juga melibatkan pengaruh eksternal, kehadiran orang lain, hubungan antarmanusia, dan dinamika yang terjadi di luar batas tubuh.

Dengan menghadirkan Three Graces sebagai penutup, Sakde menegaskan bahwa perjalanan transformasi bukanlah garis lurus yang tertutup, melainkan lingkaran yang terus terbuka yang senantiasa mengundang hubungan baru, pemahaman baru, dan kebersamaan baru. [B/puspa]

Related post