Dari Temuwirasa Jantra Tradisi Bali: Membuat Gamelan Bali Tak Harus ‘Soroh’ Pande
I Ketut Warsa dan I Gede Satria Budhi Utama narasumber sarasehan dalam Jantra Tradisi Bali/Foto: darma
ORANG yang bukan soroh atau marga pande, dalam struktur sosial masyarakat Bali, juga bisa membuat gamelan tradisional Bali. Asalkan memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis gamelan, bahan-bahan yang digunakan.
Termasuk teknik pembuatan, juga keahlian dalam membentuk dan menyetem setiap instrument. Namun, yang paling penting mereka juga membuat prapen serta melaksana kan piodalan setiap tumpek landep untuk memuja Dewa Brahma yang beristana di prapen tersebut.
Hal itu dikatakan Drs. I Ketut Warsa, pande gong yang didapuk menjadi narasumber dalam Temuwirasa (Sarasehan) yang mengangkat tema Pengetahuan Tradisional Membuat Gamelan dalam Jantra Tradisi Bali serangkain Pesta Kasenian Bali (PKB) ke-47, Rabu 9 Juli 2025.
Serasehan yang berlangsung di Ruang Rapat Padma Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Rabu 9 Juli 2025 juga menghadirkan narasumber I Gede Satria Budhi Utama, S.Sn.,M.Sn., dan dimoderatori oleh I Gde Made Ibdra Sadguna, S.Sn.,M.S., Phd.
Kegiatan ini diikuti oleh masyarakat pecinta seni, utamanya kesenian gamelan tradisional Bali. Selain menghadirkan peserta secara langsung, juga memberikan kesempatan kepada masyarakat melalui on line. Antusias peserta menarik, terbukti banyaknya bertanyaan dijawab narasumber.
Jero mangku Ketut Warsa menegaskan, dulu orang yang membuat gamelan itu namanya pande. Namun, sekarang orang yang bukan soroh pande juga bisa membuat gamelan, tetapi mereka disebut dengan perajin.
Walau demikian, orang yang membuat gamelan secara umum juga disebut pande. “Saya bukan keberatan kalau mereka juga disebut pande. Itu hanya soal nama saja, yang penting mereka melaksanakan geginan (pekerjaan) seorang pembuat gong,” ucapnya.
Kalau bukan orang pande yang membuat gong mestinya memiliki pengetahuan, terutama dalam konteks tradisi di Bali. Misalnya membuat prapen, dan memuja Tuhan yang diistanakan di prapen tersebut.
Melakukan odalan agar jangan hanya menggukan alat Beliau, namun tidak menghormatinya. “Seorang pembuat gamelan itu, mesti tetap mengikuti gegaman (profesi) sebagai seorang pande itu,” harapnya Jero Mangku Warsa.
Hal itu, berbeda dengan orang sebagai pembuat gamelan berbahan bambu, tidak masalah kalau kalau tidak membuat prapen. “ereka itu sering disebut perajin, bukan seorang pande. Dulu, seorang disebut pande itu hanya membuat prabot, berbahan mas, besi dan lainnya.
Itu berdasrakan dari Angaluh dan Angandring. Angaluh itu keahlian membuat perhiasan emas, perak, dan perhiasan berbahan logam dan Angandring itu kegiatan memande berupa besi atau perunggu, misalnya membuat keris, pisau, gamelan, dan lain sebagainya,
Gede Satria Budhi Utama kemudian memaparkan cara membuat gamelan berbahan bambu. Point penting yang harus diperhatikan menggunakan bambu berkualitas bagus, seperti kiring, sehingga kedepan gamelan lebih awet.
“Awet itu bukan berarti tidak perlu diservis lagi, tetapi melakukan servis dalam waktu yang mungkin lebih lama, seperti 1 tahun atau 2 tahun,” sebutnya.
Selain penyervisan dalam jangka waktu yang lama, suara juga tetap ajeg sampai kapan pun. Itu kalau menggunakan bahan dengan kualitas yang bagus.
“Untuk menciptakan kualitas yang bagus, harus memperhatikan kematangan bambu itu sendiri. Di Bali, kematangan bambu itu bisa dilihat dari wajah bambu yang berserat merah,” imbuh owner Gede Satria Art ini.
Proses selanjutnya, bisa menggunakan teknik tradisi yang bisa dilakukan dengan pengasapan, seperti ditempatkan atau di taruh di punapi, cangkem dapur. Selain itu, bisa dilakukan dengan proses pengawetan bambu dengan merendam di sawah atau sungai yang dialiri air yang deras.
“Bisa juga dengan melakukan perendaman di laut untuk mendapatkan saat garam. Itu karena bambu memiliki rasa manis, sehingga disukai oleh rayap. Dengan rasa garam, maka rayap tidak berani,” imbuhnya.
Gede Satria kemudian menjelaskan pengalaman pengiriman gamelan rindik berbahan bambu ke luar negeri. Pemaparan itu, setelah ada peserta yang mengaku memiliki pengalaman setiap mengirim rindik ke luar negeri selalu pecah karena perubahan cuaca ekstrim.
Untuk mengantisipasi cuaca ekstrim dengan membaluti ujung di ruas bambu dengan menggunakan tali yang sudah di lem.
“Plastik dengan lem itu dililitkan di tiga titik, yaitu diatas ruas bambu, di saping copakan bambu dan di bagian tengah untuk antisipasi pecah,” sebutnya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali