Parade Monolog ‘Tutur Bumi Kamulyan’ Kisahkan Harmoni Bumi

 Parade Monolog ‘Tutur Bumi Kamulyan’ Kisahkan Harmoni Bumi

Parade Monolog di Festival Seni Bali Jani 2025/Foto: tim.kreatif

PAGELARAN (Utsawa) Parade Monolog dalam Festival Seni Bali Jani VII menampilkan anak-anak muda berbakat. Parade yang bertajuk “Tutur Bumi Kamulyan” ini oleh Sanggar Teater Jineng Smasta itu berlangsung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat 25 Juli 2025.

Meski para peserta menyajikan drama dengan tema terkait tema “Semesta Cipta Jagat Kerthi” (Harmoni Bumi Bali), namun kisahnya sangat beragam, kreatif dan sarat pesan. Parade Monologini mengedepankan estetika seni dengan konsep yang dijadikan pijakan karya.

Konsep itu, yakni Eksplorasi, Eksperimentasi, Lintas Batas, Kontekstual, dan Kolaborasi kemudian dialpikasikan dalam sebuah parade monolog bertajuk “Tutur Bumi Kamulyan”. bumi adalah rumah untuk semua insan, tempat semuanya bertumbuh dan memutar roda kehidupannya.

Parade monolog ini menampilkan enam pemaian berdarsakan hasil kurasi dari tim curator festival seni bali jani 2025. Keenam penampil ini telah memiliki rekam jejak kekaryaan, pementasan dan prestasi.

Baca Juga:  “Rahim Bahari” dari Aghumi sebuah Pemaknaan Laut, Perempuan, dan Tarot Mayor The Moon

“Keenam pemain ini merupakan lintas generasi, lintas gender, dan lintas daerah. Mereka diberikan waktu 2 jam untuk menyajikan karya monopglnya,” kata pembina Teaetr Jineng, I Gede Arum Gunawan.

Enam peserta terpilih membawakan monolog penuh makna, menyuarakan keresahan, harapan, dan cinta terhadap bumi melalui ragam kisah manusia. Diusung oleh Sanggar Teater Jineng Smasta, parade ini mengusung semangat eksplorasi, eksperimentasi, kolaborasi, dan lintas batas.

Kisah-Kisah monolog selalku menggetarkan. Setiap penampil membawa kisah berbeda namun mengalir dalam satu napas: merawat bumi, menggugat keserakahan, dan menyuarakan nilai kemanusiaan. Berikut potret singkat karya-karya mereka:

Putu Tristan Abi Putra lewat monolog “Subak” mengangkat kisah Bhineka, anak petani yang gigih menjaga warisan budaya pertanian Bali dari gerusan zaman. Naskah dan sutradara oleh I Gede Arum Gunawan.

Baca Juga:  Dialog Dini Hari Rilis Single “Garis Depan” Penghormatan untuk Para Medis dan Dokter Dalam Menghadapi Covid-19

Bintang Shafnat menyuguhkan “Balada Sumarah, Balada Alam”, kisah tragis perempuan miskin yang tertindas stigma dan ketidakadilan sosial, lalu pergi menjadi TKW di Timur Tengah. Ditulis oleh Tentrem Lestari.

April Artison membawakan “Mata Tilaar”, tokoh hakim perempuan Minahasa yang dilema antara hukum dan nurani. Karya Gabrielle Abogado ini menggali ironi sistem hukum tanpa empati.

Ni Putu Suwartini dengan “Aku Bumi, Penjual Daging”, memerankan perempuan yang mengadu pada alam atas luka hidupnya, dari rumah tangga rusak hingga sunyi tak beranak. Naskah ditulis Gus Martin.

Ida Bagus Made Nanda Adipranata menyampaikan “Nyampah—Sampah”, potret getir Buana, anak pemulung yang hidup di tengah masyarakat yang abai pada kerusakan lingkungan. Naskah ditulis sendiri.

Baca Juga:  Pande Komang Indah Triroshanti dan Putu Owen Purusa Arta, Jegeg Bagus Gianyar 2023

Hendra Utay menyudahi parade lewat “Arak”, kisah pengamen paruh baya yang bimbang memilih jalan budaya atau tuntutan zaman. Di depan cermin, ia bertarung dengan dirinya sendiri.

Panggung malam itu, seakan nenyuarakan alam dan hati nurani. Parade Monolog ini bukan sekadar pertunjukan, tapi panggung kontemplasi. Menyentuh isu lingkungan, budaya, dan kemanusiaan, parade ini menjadi bentuk nyata kecintaan seniman Bali pada bumi dan kehidupan.

Lebih dari sekadar ekspresi seni, Tutur Bumi Kamulyan adalah seruan untuk kembali berpijak pada harmoni, memperjuangkan kemuliaan bumi, dan menanamkan rasa tanggung jawab terhadap masa depan peradaban. [B.darma]

Related post