Seniman Indonesia dan Swiss Pamerkan ‘Evocations’ di ARMA Museum Ubud: Bicara Tentang Alam
Seniman Indonesia dan Swiss Pamerkan ‘Evocations’ di ARMA Museum Ubud/Foto: ist
SENIMAN muda Bali (Indonesia) dan Basel (Swiss), Damar Langit Timur dan Laurence Spicher memajang karya seni mereka di ARMA Museum Ubud Bali. Karya seni mereka tak hanya memikat, tetapi juga dapat menggugah kesadaran para penikmatnya.
Ya, pameran lukisan berjudul “Evocations” itu menyajikan karya-karya dari masing-masing seniman didasari oleh pengalaman, pengamatan dan kerdekatan baik secara kasat mata maupun pengalaman batinnya. eduanya memiliki pengalaman masa lalu yang baik dari tempat asalnya.
Damar dan Laurence, keduanya telah bereksplorasi melalui pendekatan kultur yang kuat, melibatkan spirit yang menjadi dasar kepercayaan masing-masing. Pameran “Evocations” dibuka Rabu 24 Desember 2025 dan akan berlangsung selama sebulan, hingga 24 Januari 2026.
Direktur Museum ARMA, Agung Yudi memberikan apresiasi yang tinggi atas terlaksananya pameran Evocations. Pameran evocations ini adalah pameran pertama bagi seniman muda yang berkolaborasi lintas benua dan kultur yang berbeda.
“Pameran ini sangat penting bagi kelanjutan dialog antara barat dan timur yang selama ini telah terjalin begitu lama, khususnya antara Bali dan Basel Swiss,” kata pria yang akrab dipanggil Gung Yudi ini senang.
Pameran Evocations merupakan bagian dari percakapan seni yang sangat menarik, disamping sebagai katalisator percakapan maupun dialog. Pamera ini memberika kesempatan para pecinta seni, khususnya seni lukis untuk mengapreasi.
“Pameran seni ini menyediakan platform bagi seniman Indonesia dan Swiss untuk bertemu, berbagi ide, berdialog, berkolaborasi, terlibat dalam diskusi mengenai isu-isu antara manusia dan alam, khususnya membangkitkan kesadaran bagi kehidupan yang lebih baik di bumi ini,” ujarnya.
Baik Damar dan Laurence, keduanya telah bereksplorasi melalui pendekatan kultur yang kuat, melibatkan spirit yang menjadi dasar kepercayaan masing-masing. Damar dan Laurence telah berupaya menarik dirinya kembali lebih dalam, meresapi atas segala keresahannya, kemudian membicarakannya kembali untuk menyoroti apa yang telah terjadi.
Kurator pameran, Yudha Bantono mengatakan, salah satu kekuatan kedua seniman ini dalam menggarap proyek kolaborasi Evocations adalah kemampuannya membangkitkan emosi dan memancing pemikiran.
Mereka telah memanfaatkan kekuatan-kekuatan dirinya dengan penuh kesadaran, lalu menciptakan karya-karya yang menarik secara visual, dan bermuatan emosional, serta membangkitkan kesadaran untuk dekat kepada alam.
Menurut Yudha, tanpa disadari baik Damar dan Laurence bahwa perjalanan mereka merupakan potret sekaligus merupakan cermin, yang mencerminkan keadaan saat ini maupun mendatang.
Damar Langit Timur memiliki kedekatan masa lalunya sejak ia tumbuh dan berkembang telah mengambil inisiatif bagaimana menempatkan mitos-mitos, simbol-simbol dan filosofi ajaran dan pengetahuan luhur tradisi Bali menjadi sebuah kekuatan untuk menarasikan karyanya, sekaligus menjadi sebuah pesan.
Karya-karya seni Damar adalah percakapan antara dirinya dengan semesta, dari realita dan kebangkitan jiwa. Baginya, ikon-ikon dan simbol-simbol mitologi yang ia yakini memang telah lama bersemayam dalam pikiran dan jiwanya, bahkan melekat menjadi bagian penting dalam membangun apapun di banyak hal, khusunya dalam gagasan berkarya.
Damar dengan mudah mampu meletakkan unsur-unsur itu sebagai manifestasi untuk berbicara tentang unsur dan spirit alam, termasuk flora dan fauna sebagai sebuah pesan kuat.
Damar sesungguhnya memang memiliki semangat besar dalam pembacaan narasi dan pesan-pesan maupun bentuk-bentuk yang dimiliki tradisi luhur, terutama dalam seni rupa tradisi Bali. Semangat ini sejatinya merupakan modal dasar dirinya dalam memahami realita yang telah melampaui kehidupan tradisi ketika ia berada dalam kehidupan modern sekarang ini.
Sedangkan Laurence Spicher menghadirkan seri “Gunung”, bagi Laurence gunung sebagai bagian dari alam bukan hanya bisa dinikmati karena keindahannya, tapi juga memiliki nilai dan spirit.
Laurence telah mengamati dan telah pula menghadirkan pengalamannya, serta pengetahuan hidupnya secara dekat dengan gunung. Meskipun ia bukan lahir di daerah pegunungan, tapi hampir separuh hidupnya ia habiskan di lembah Maggia di kaki pegunungan Alphen.
Laurence memang sangat beruntung tinggal dan berkarya di studionya di Valley Maggia, dimana Ia semakin diperkaya oleh banyak hal yang tidak terduga yang berkaitan dengan alam di sekitarnya. Kesemuanya itu telah memberikan vibrasi sekaligus sumber inspirasi.
Suara air mengalir di atas bebatuan, udara segar di kaki pegunungan, dan pepohonan hutan yang rimbun serta keramahan masyarakat, kesemuanya seperti magnet yang selalu menarik dirinya untuk semakin merindukan dan selalu dekat dengan alam.
Pesona dan energi gunung telah menyentuh jiwanya semakin dalam, kekaguman di setiap perjumpaan dengan gunung-gunung menjadi memori kuat yang susah untuk dilupakan. Cahaya, warna, angin yang berembus, kabut, salju serta awan yang menyelimuti hadir silih berganti seolah ingin berdialog dengannya.
Pengalaman hal ini berlaku bukan hanya di Swiss saja, di Bali pun demikian, di setiap perjumpaannya dengan Gunung Agung dan Gunung Batukaru misalnya, ia merasakan dengan hal yang sama.
Bahkan ia mengungkapkan bahwa di Gunung-gunung di Bali dengan vegetasi tropis menghadirkan warna-warna indah, belum lagi dengan cahaya matahari yang hampir hadir di setiap saat, kecuali musim hujan.
Dalam kunjungan yang sering kali ke Bali, Laurence memperoleh pemahaman terhadap warna-warna tropis dari alam, semakin diperkaya lagi dengan kehadiran tradisi budaya Bali yang menyertai.
Ia sangat menaruh hormat bagimana masyarakat Bali menempatkan alam sebagai bagian dari spiritual penting kehidupan yang terus dijalani dengan tumbuh bersama sebagai bagian kehidupan, baik sebagai bentuk pengingat dirinya, ketulusan menjaga dan menghormatinya. [B/puspa]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali