Makna Enam Jenis “Tumpek” Bagi Masyarakat Hindu di Bali
Ketika masyarakat Hindu di Bali meyarakan hari raya Tumpek, jangan anggap sebagai rutinitas tanpa makna. Dalam perhitungan kalender Bali, merupakan gabungan dari kalender pawukon Bali, yaitu sapta wara dan panca wara, maka masyarakat Hindu di Bali memiliki sebanyak 6 (enam) jenis tumpek.
Keenam tumpek itu, yaitu Tumpek Landep, Tumpek Wariga (Tumpek Bubuh, Tumpek Kuningan, Tumpek Klurut, Tumpek Uye (Tumpek Kandang) dan Tumpek Wayang. Tumpek datang setiap bertemunya akhir wuku tertentu, akhir sapta wara (Saniscara atau Sabtu) dan akhir panca wara (kliwon) tak jarang juga disebut dengan Saniscara kliwon.
Setiap Tumpek dari enam Tumpek yang ada itu, masyarakat Hindu memaknai dengan melaksanakan upacara penyucian untuk berbagai hal yang dianggap memberikan keuntungan, tuntunan bagi kehidupan masyarakat Hindu di Bali, khususnya. “Sebagai salah satu hari suci umat Hindu, Tumpek memiliki keunikannya tersendiri,” kata Dr. I Nyoman Astita, MA
Contohnya Tumpek Landep merupakan hari suci pasupati yang mengupacarai semua benda-benda “sarwa” (serba) runcing. Sebab, runcing dimakani sebagai suatu kecerdasana, ketajaman pikiran, ilmu pengetahuan untuk kehidupan. Ketajaman pikiran dan ilmu pengetahuan itu disimbolkan dengan keris.
Itulah ekspresi-ekspresi yang menjadi pedoman masyarakat. Artinya yang dicintai dimakanai sebagai suatu kecerdasan ketajaman. Namun, perkembangan kemudisan ada yang membuat upacara Tumpek Landep untuk mobilnya.
“Kalau itu dimaknai sebagai sebuah alat yang dapat memberikan nilai plus itu tak salah. Karena sebagai pengetahuan, itu tak hanya keris saja tetapi juga benda-benda yang lain. Tetapi, pada umumnya upacara Tumpek Landep itu simbolnya adalah keris,” tegas Seniman Karawitan ini asal Kota Denpasar ini.
Namun, berbeda kalau mobil itu dikaitkan dengan kekayaan, maka diupacarai saat Buda Cemeng saat odalan Rambut Sedana. “Saya mantenin (mengupacarai) motor pada setiap odalam Rambut Sedanang, karena kami menganggap motor itu sebagai sesuatu yang didapat dari usaha dan anugrah Sang Hyang Widhi Wasa,” sebut Pensisunan Dosen ISI Denpasar ini.
Kalau Tumpak Wariga adalah bentuk penghormat masyarakat Hindu Bali kepada alam dan lingkungan, khususnya terhadap tumbuh-tumbuhan. Tumpek Wariga, juga disebut Tumpek Bubuh, Tumpek Uduh, Tumpek Pengatag yang dirayakan 25 hari sebelum Hari Raya Galungan.
Tumpek Kuningan, pernghormatan dan bentuk mensucikan leluhur pada dunia dewata. karena pada saat Tumpek Kuningan itu, para dewata atau para pitara, leluhur turun ke dunia untuk melimpahkan karunianya. Maka itu, masyarakat Hindu melakukan pemujaan dan persembahayangan.
Tumpek Krulut dimakani sebagai suatu upacara yang memberikan penghormatan kepada serba “lulut” dalam artian kasih sayang. Simbolisasinya dimaknai dengan mengupacarai gamelan, karena gamelan itu mampu mengeluarkan suara indah dengan suasana damai, sejuk dan memberikan hiburan.
Jadi musik yang ditimbulkan dari berbagai alat instrument itu, apakah berbahan bambu kerawang, pencon, besi dan lainnya. Itu adalah benda-benda yang mampu menghasilkan suara indah, sehingga getaran itu ada di udara mengisi ruang udara yang bisa memberikan rasa kasih sayang.
Tumpek Krulut kemudian dimakanai sebagai bentuk kasih sayang yang disimbolisasinya melalui gamelan. Sesungguhnya bukan hanya gamelan tradisional saja, tetapi juga alat musik modern juga diupacarai saat Tumpek Krulut, karena alat itu juga menghasilkan suara yang indah.
“Kalau kita menganggap gitar, drum dan alat musik modern lainnya sama dengan gamelan, maka instrumen yang menghasilkan suara yang indah juga dihormati. Artinya, bukan melihat bentuk dan produknya saja, tetapi sebagai sebuah alat yang bisa menimbulkan suara secara muskial,” ujar Astita yang pernah menjadi Kurator PKB ini.
Di situ kita melihat sebagai unsur-unsur sebagai kasih sayang. “Kalau saya, setiap Tumpek Krulut tetap menggelar upacara kasih sayang termasuk mengupacarai drum, keyboard, seksofun dan alat musik modern lainnya,” imbuh Pembinaan Kesenian Tradisoonal terkait Pesta Kesenian Bali (PKB) ini.
Tumpek Uye sebuah upacara untuk mengormasti binatang. Upacara Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, mengandung ucapan terima kasih, dengan membuat upacara untuk hewan ternak serta hewan-hewan lainnya, sehingga diberikan keselamatan sebagai perlindungan secara niskala sehingga binatang tersebut tetap dapat memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Upacara ini ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa Pasupati atau Sang Hyang Rare Angon yang berfungsi sebagai penjaga semua binatang, memohon kepada beliau agar semua binatang baik binatang ternak, binatang piaraan dan sebagainya.
Sedangkan Tumpek Wayang, dimakanai sebagai tumpek yang menjadi ekspresi dari pada taksu. Masyarakat Hindu percaya, taksu adalah suatu kharisma yang bisa muncul dan tampil pada suatu saat pada diri manusia, sesuai dengan kemampuan dan bidang yang ditekuni oleh seseorang.
Dalam upacara Tumpek Wayang ini, tak hanya termasuk kesenian saja, tetapi ilmu pengetahuan juga menjadi taksu. Taksu itu merupakan sebuah energi yang mampu mengekspresikan seseorang yang disimbolisasi dengan Tumpek Wayang.
Walau demikian, upacara Tumpek Wayang bukan untuk mengupacarai kesenian wayang saja, tetapi juga topeng, terutama yang berwujud kesenian. Karya-karya dari kepandaian juga bisa diupacarai pada saat Tumpek Wayang.
“Sebab, taksu pada umumnya untuk sebagai suatu siklus. Kita pada dasarnya hidup di dunia ini diberikan kemampuan rohani, dimana manusia diangap memiliki angga pramana paling sempurna, yakni pada level Tri Premana,” ungkapnya.
Manusia dikatakan paling sempurna karena dianggap memiliki kecerdasan rohani yang paling lengkap. Yakni dibekali dengan tiga kemampuan, Tri Pramana yaitu Bayu (kemampuan untuk hidup), Sabda (kemampuan untuk bersuara), dan Idep (kemampuan untuk berpikir).
Sementara binatang, dibekali dengan dua kemampuan yang disebut dengan Dwi Pramana yaitu bayu dan sabda. Sedangkan tumbuh-tumbuhan, dibekali dengan satu kemampuan yang disebut dengan Eka Pramana yaitu bayu.
Astita menegaskan, Tumpek itu, merupakan siklus yang mengingatkan kembali, bahwa manusia itu wajib menghormati tentang tumbuhan-tumbuhan, binatang, pengetahuan, keindahan kasih sayang, taksu serta Tumpek Kuningan mensucikan leluhur pada dunia dewata.
Walau demikian, masyarakat Hindu di Pulau Dewata ini melakukan persembahyangan di sanggah, merajan setiap Tumpek. Hal itu dilakukan itu untuk memuliakan maknanya. Walau mereka, tak mempunyai alat gamelan, tak memiliki wayang atau tak memelihara hewan, namun selalu melakukan persembahyangan
“Sesungguhnya ada mantra-mantra khusus setiap upacara Tumpek itu. Artinya, ada tetuek-tetuek sebagai media untuk menyampaikan rasa terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa itu,” pungkas Asrita yang juga Ketua Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibiya) Kota Denpasar. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali