Kesenian Bungbang Ciptaan Maestro I Nyoman Rembang

 Kesenian Bungbang Ciptaan Maestro I Nyoman Rembang

I Nyoman Rembang pencipta Gamelan Bungbang pada 1985

Bungbang merupakan jenis gamelan baru yang diciptakan oleh Alm. I Nyoman Rembang pada 1985. Bumbang yang lahir di Banjar Tengah, Desa Sesetan, Denpasar Selatan itu tak hanya sebagai barungan gamelan unik, tetapi juga memiliki spirit bagi warga desa setempat. Selain sebagai media untuk memupuk rasa kebersamaan dan kekeluargaan, jenis gamelan ini juga mampu menginspirasi anak-anak muda untuk berperilaku positif. Terlebih anak-anak muda yang ikut “nyeka” (terlibat menjadi anggota), pasti tumbuh menjadi lebih kreatif.

Bungbang
I Nyoman Rembang yang sedang mengukur bambu untuk menghasilakn nada Gamelan Bungbang.

Kesenian Bungbang bentuk dan jenisnya, tampak seperti barungan gamelan biasa yang kalau dimainkan akan melahirkan nada suara yang dinamis dan indah. Namun, keberadaan barungan gamelan itu mengandung nilai-nilai pendidikan, desiplin, membangun, saling menghargai dan memupuk rasa toleransi antara anak muda dan orang tua. “Karena sekaa yang berjumlah hingga 60 orang itu, tak hanya didukung para orang tua, tetapi juga anak-anak muda yang peduli terhadap keberadaan kesenian tradisional itu,” kata Kelian Sekaa Bungbang Wayan Suparta (49) ketika ditemui di rumahnya, Selasa 8 Juni 2021.

Suparta menegaskan, keterlibatan anak-anak muda mendorong mereka untuk berperilaku baik, tidak minum-minuman keras, tak ngebut-ngebut di jalanan, suka menolong dan peduli terhadap lingkungannya. Memang, hal tersebut tidak terjadi secara langsung, tetapi gesekan antara anak-anak muda dan orang tua dapat memberikan pendidikan moral dan mandiri. Baik saat memainkan barungan bungbang, gong kebyar dan barungan gamelan lainnya. “Saya melihat anak-anak muda yang terlibat dalam kegiatan berkesenian di banjar ini cendrung berperilaku positif,” tegasnya.

Bumbang
Gede Putra Widyutmala melatih Bungbang kepada generasi muda.

Pengaruh dari aktivitas berkesenian, anak-anak muda yang ada selalu kreatif, disiplin dan memiliki rasa kebersamaan. Bahkan, tidak ada dari mereka yang memiliki budaya minum-minuman keras karena sudah ada wadah berkesenian. Pengaruh adanya kesenian itu memang sangat dirasakan semua warga di sana. “Jangankan ngebut, motor yang mepretel (antik) tidak ada. Anak-anak muda yang memakai sumpel (tindik) terkadang sing juari (malu),” imbuh Suparta meyakinkan.

Baca Juga:  Tampil di PKB, Tiga Gong Kebyar Duta Kota Denpasar Puncaki Mebarung dengan ‘Amertaning Wimala Bhuana’

Sebagai bentuk kesenian tradisi yang belum banyak berkembang, Bungbang tak pernah kesulitan mencari pendukungnya. Sebagai seni pertunjukan selalu eksis dan sering kali dimainkan pada saat piodalan, ulang tahun muda-mudi, Pesta Kesenian Bali (PKB) juga dalam acara pementasan lainnya. Hanya saja, keutuhan sekaa sebagai pendukung itu tak bisa disulap langsung jadi, melainkan melalui proses seperti estafet. “Jika ada generasi tua yang mundur karena sudah tak mampu, seketika itu langsung diisi oleh anak muda,” ceritanya.

Bungbang
Gede Putra Widyutmala putra I Nyoman Rembang yang kini penerus Gamelan Bungbang

Gede Putra Widyutmala (50) selaku pelatih yang juga merupakan putra dari Alm. Nyoman Rembang membenarkan hal tersebut. Sejak dulu memang seperti itu proses penggenerasian gamelan Bungbang ini. Untungnya, terus berlanjut sehingga secara terus menerus ada penerusnya. Setiap generasi tua menghilang maka tumbuh tunas-tunas baru. “Mereka kebanyakan anak-anak yang sudah memiliki dasar megambel. Kalau langsung memainkan Bungbang rasanya tak mungkin, karena menabuh bungbang lebih banyak memainkan melodi bukan ritme seperti memainkan gamelan baleganjur,” paparnya.

Dulu, Gede demikia sapaan akrabnya, sempat membentuk sekaa muda dengan melibatkan anak-anak sekolahan, karena berpikir mereka banyak memiliki waktu. Teranyata, anak-anak sekolahan lebih sibuk, disamping belajar di sekolah mereka juga memiliki jadwal les ataupun ada kegiatan ekstra lainnya. Mereka lebih fokus terhadap pelajaran sekolah. Untuk lebih memasyarakatkan, Bungbang terkadang dimainkan di banjar, sehingga semakin banyak orang yang datang dan mau belajar gamelan terbuat dari bambu itu. “Intinya, kami tetap membuat bibit. Hanya saja hasilnya seperti nasi pecel bukan lawar tulen yang bisa jadi semuanya,” jelas alumnus Sekolah Tinggi Senin Indonesia (STSI) yang kini menjadi Instiut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini.

Barungan gamelan Bungbang memang besar yang bisa dimainkan oleh penabuh berjumlah 40 – 45 orang. Kelahiran jenis gamelan ini motivasi bukan profit, melainkan sebagai media untuk mempersatukan warga, sehingga pendukungnya disiapkan banyak. Sekarang ini merupakan generasi ketiga yang selalu aktif melakukan pementasan ataupun berproses dalam berkesenian. Sebab, gamelan Bungbang tak hanya menjadi sebuah kesenian yang sendiri, melainkan bisa bersanding dengan gamelan lain atau menjadi sebuah kolaborasi seni. “Kesenian Bungbang lebih memberikan generasi muda untuk berkembang dalam berkesenian,” ucapnya.

Baca Juga:  Mr. Gabriel dan Bli Ciaaattt… Garap Dramatari “Panjisemirang” Siap Pentas di PKB XLV

Lahirnya kesenian Bungbang ini, tak hanya menjadi inspirasi seniman-seniman lokal di Denpasar, tetapi juga mahasiswa ISI Denpasar, sanggar-sanggar kreatif dan seniman-seniman Bali yang tinggal di luar negeri biasa menjadikan gamelan ini sebagai sebuah media berkolaborasi. Alat gamelan ini pernah dikembangkan di Amerika sebagai sebuah pendidikan kesenian tradisi Bali. Namun, alat musik itu tidak utuh semuanya, karena cuaca yang berbeda. Alat musik yang tersisa kemudian dijadikan alat untuk berlatih juga sebagai alat musik berkolaborasi. “Kami akan mempatenkan barungan gamelan ini karena hak cipta itu penting,” ujarnya.

Sekarang ini, ada sebanyak 45 orang sekaa dan sekitar 70 persen merupakan anak muda. Lagu-lagu yang dimainkan lebih banyak mengandung melodi yang panjang. Melodi itu mengalir terus, seperti memainkan musik rindik. Barungan gamelannya memiliki empat klasifikasi yang tetap yaitu kantilan, pemade, jublag dan jegog. Untuk menjadikan lebih manis maka ditambah dengan ceng ceng ricik, gong pulu, kendang, dan kajar yang terbuat dari bambu. Tangga nadanya menyajikan sistem pelog dan selendro yang masing maing memiliki lima nada pokok.

Gending yang biasa dimainkan adalah Katibambung, Srinadi, Minapradipta, Ngeraksa Parikuning, Kartika masa, Gegandrangan (seperti gamelan gandrung), gending Palegonngan Ksiar dan lainnya. Semua lagu-lagu itu merupakan karya cipta I Nyoman Rembang Alm. Meski diciptkan oleh putra daerah, namun Bungbang tetap menjadi milik masyarakat Banjar Tengah sehingga kepengurusannya merangkap menjadi satu dengan kelian gong. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post

2 Comments

  • As technology develops faster and faster, and mobile phones are replaced more and more frequently, how can a low – Cost fast Android phone become a remote – Accessible camera?

  • Is there any way to recover deleted call records? Those who have cloud backup can use these backup files to restore mobile phone call records.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *