Kokar Bali Garap “Sandhya Gita Nawa Ruci” Padukan Tradisi, Inovatif dan Teknologi
Sempat menyaksikan Sesolahan (Pergelaran) Sandhya Gita “Nawa Ruci” saat Pembukaan Bulan Bahasa Bali ke-5, Rabu 1 Pebruari 2023 lalu? Sajian seni ini sangat menarik, kreatif dan kolaboratif. Sajian seni oleh Sanggar Seni Kokar Bali, SMK 3 Sukawati ini, seakan menjadi sebuah sajian seni baru. Garapan Sandhya Gita ini, tetap menggunakan unsur dasar, yakni vokal dan ilustrasi istrumen, karawitan Bali, namun bentuknya terkesan beda. Semua unsur seni, mulai dari seni vocal (tembang), musik, tari, drama dan teknologi menyatu. Berbagai unsur seni itu, bukan sekedar tempelan, melainkan diolah menjadi sajian seni yang sangat indah, dan baru.
Diawalnya pementasan, garapan seni ini murni menampilkan tembang yang menjadi uger-uger dari Sandhya Gita, yakni menggunakan Sekar Alit, Sekar Madya dan Sekar Agung. Sambil matembang, para pemain melakukan olah gerak tradisi yang didominasi dengan gerak tangan. Setiap pergantian komposisi dibarengi dengan sajian gerak yang berbeda, namun tetap penuh ekspresip. Pada satu adegan, komposisi garapan seperti paduan suara, dan pada adegan yang lain tampil seperti Dramatari Arja, menari sambil matembang. Itu artinya, para pemain tak hanya bisa matembang, tetapi juga dituntut bisa menari, bahkan berakting.
Di bagian berikutnya, tiba-tiba muncul nuansa lagu-lagu pop Bali, seperti yang disajikan para artis Bali di atas panggung. Pemain membawakan tembang-tembang penuh suka cita diiringi karawitan Bali dengan model musik modern. Liriknya, mengajak generasi muda dan semua orang untuk menyayangi dan menjaga laut. Ketika memasuki babak inti, babak yang membeber kisah, suasana pun berubah menjadi sajian sendratari. Tokoh Bima, Kunti, rakyat (nelayan) dan Dewa Siwa mengekspresikan kisah melalui gerak tari. Adegan mejadi semakin menarik, ketika dpadu dengan unsur teknologi. Disitu ada tampilan video melalui layar di atas stage.
Video tersebut menjadi bagian dari penampilan adegan diatas stage. Ketika para nelayan mengisahkan mencari ikan di laut, penari itu keluar stage lalu mucul di layar dengan suasana laut. Demikian, pula ketika Bima mencari tirta amerti di dasar laut, Bima masuk ke dasar laut yang penuh dengan beraneka ikan. Demikian pula, ketika Dewa Siwa menghidupan Bima kembali dari layar, yang langsung kontak dengan Bima diatas stage. “Kita memadukan suasana kini dan nanti. Artinya, dari tradisi, ke inovatif bahkan modern atau digital karena ada unsur teknologi juga,” kata penggarap tabuh, I Made Subandi.
Subandi menegaskan, walau ada unsur teknologi, tetapi garapan ini tetap mengacu pada seni tradisi seperti, menyajikan Sekar Alit, Madia dan Sekar Agung. Tradisi sebagai acuan, namun dalam penyajiannya beberapa unsur sudah diolah dengan rasa kekinian. Tradisi dan inovatif sebagai gambaran kini dan nanti, sebagai bukti seni tradisi itu tidak alergi dengan dunia sekarang. Artinya, dari segi penyajian garapan ini tetap kuat dengan tradisi, namun bisa diterima di jaman sekarang, dan disaksikan oleh siapa saja,” paparnya.
Garapan Sandhya Gita ini memang dikemas secara menarik, mengedepankan unsur balancing, keharmonisan, keseimbangan terutama dalam penggarapan vocal. Unsur vokal tidak ditutupi oleh musik atau usur seni yang lain. Vocal juga tidak sebagi objek penderita, karena itu musik kelihatan juga. Dalam garapan ini, juga tidak ada yang memonopoli, masing-masing instrument, individdu menunjukan skill dan indentitas dalam garapan itu. Semua instrumen itu padu, dan masing-masing instrumen itu digarap secara apik. “Seperti membuat candi. Bahannya dari batu padas dan bata, tetapi bagaiman cara menyusunnya, sehingga menjadi baik dan indah. Artinya, format lagu itu yang penting,” lanjut Subandi.
Penggarap tari, I Gusti Ngurah Agung Giri Putra menambahkan, garapan Sandhya Gita ini memang padu dengan Sendratari, namun dalam pengkemasannya tetap menonjolkan Sandhya Gita. Garapan berjudul “Nawa Ruci” ini mengangkat kisah perjalanan Bima mencari Tirta Ameta ke tengah laut. Sesunguhnya Bima dibohongi, namun karena setia pada Sang Guru Drona, ia melakukan tugas itu. Padahal, Kunti, ibunya tak mengijinkan, karena merasakan firasat yang tidak baik. “Karena ketulusan Bima, Tirta Amerta yang sesungguhnya tidak ada, akhirnya Dewa Siwa menganugrahkan kepada Bima,” ceritanya.
Dalam garapan Sandhya Gita ini, jelas Agung Giri Putra, porsi gerak tari tetap lebih sedikit karena harus menonjolkan suara, sehingga kekhasan dari Sandhya Gita tidak ilang. “Kami sedikit keluar dari pakem Sandhya Gita sebelumnya, terutama dalam penampilan yang seperti paduan suara itu. Kami mengembangkan sedikit dengan pola gerak, khususnya dalam posisi diam, sehingga tidak membosankan,” imbuhnya.
Gerak pemain, mengacu pada gerak tari dari tradisi yang lebih disederhanakan. Hal itu dilakukan, karena tempo lagu yang dinyanyikan sambil bergerak. Untuk memberikan penekanan suasana, garapan ini menggunakan property kober, tedung, gebogan untuk adegan melasti, naga dan kipas untuk adegan saat Bima mati di dasar laut. “Untuk peserta yang tampil dalam Sandhy Gita, ini kami awali dengan menseleksi para siswa, sehingga bisa mendapatkan pemainj yang bisa matembang dan menari,” katanya polos.
Hal senada dikatakan Pembina vocal, I Wayan Arimbawa dan Ketua Sanggar Seni Kokar Bali, I Ketut Darya. Dalam garapan ini, mengacu pada tema Bulan Bahasa Bali ke-5, yaitu “Segara Kerthi, Campuhan Urip Sarwa Prani”. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali