Made Sumadiyasa Mengeksplor Garis Masa Kecil. Kini, Pamerkan ‘Dancing Lines’ di Komaneka
Perupa Made Sumadiyasa memamerkan sebanyak 30 karya lukisnya di Fine Art Gallery Komaneka, Keramas, Gianyar, Bali. Selain itu, perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu juga memamerkan salah satu karya lukisnya di Gedung Nata Citta Art Space, ISI Denpasar.
Pameran bertajuk “Dancing Lines” yang dipusatkan di Komaneka itu rencananya dibuka pemilik Fine Art Gallery Komaneka, Koman Wahyu Suteja, Sabtu 27 April 2024. Karya-karya menarik itu akan dipajang selama sebulan hingga 27 Mei 2024.
Karya Sumadiyasa yang menghiasi Fine Art Galley Komaneka itu sebagian besar berbahan akrilik di atas kertas dan akrilik di atas kanvas. Sedangkan di Nata Citta Art Space, ISI Denpasar, menyajikan karya tunggal berukuran 4 x 6 meter.
Karyanya yang berukuran besar di ISI Denpasar itu, disatu ruang bersama karya-karya mahasiswa dan siswa, hasil workshop Sumadiyasa di SMK N 1 Sukawati dan ISI Denpasar.
Gelar karya “Dancing Lines” ini diprakarsai putri pertamanya, yakni Luh Putu Dimas Virgantini atau biasa disapa DiVi, mahasiswi angkatan 2020, semester akhir di Universitas Ciputra, Surabaya.
Sumadiyasa yang dilahirkan di Lalang Linggah,Tabanan, memiliki andil besar dalam perjalanan kreativitasnya. Ia dilahirkan di pinggiran sungai dekat Pantai Balian, merasa terberkati dari dua lokasi tersebut. Tepian sungai dan pantai, menjadi titik mula perjalanan kreativitasnya bertumbuh dan berkembang.
Di sana pula, ia menemukan kebebasan dalam setiap gerak keseharian, di antara riak air sungai dan deburan ombak pantai. Di tempat inilah masa kanak diwarnai keriangan bermain-main, mengikuti naluri kreativitas tanpa batas dan mengekspresikan diri dengan benda ataupun kejadian yang ditemukan di sekitarnya.
Mulai dari menggoreskan ranting-ranting di pasir Pantai, bermain-main dengan garis. Setiap momen di tempat-tempat itu memperkaya proses kreatifnya.
Sumadiyasa bertumbuh dalam proses kreatif yang bebas dengan beragam kemungkinan yang digeluti dengan spontan, meliputi berbagai bentuk dan medium — coretan-coretan di pasir pesisir, hingga alunan melodi yang selaras hembusan angin dan gemerisik air sungai.
“Semuanya adalah karunia. Belakangan saya menyadari sebagai bagian penting yang mewarnai perjalanan cipta seni saya. Tidak terbatas dan tidak terikat hanya pada satu medium atau media cipta tertentu saja,” kata Sumadiyasa.
Kini, bila ia merenung ulang semua kejadian, segala pujian sungguh adalah karunia yang patut disyukuri. Karya seninya telah mendapat apresiasi dari banyak orang, setiap pujian adalah menjadi motivasi bagi gelora kreativitasnya.
“Pameran Dancing Lines ini lahir dari rasa syukur saya pada dua tempat awal mula penciptaan karya, yakni tepian sungai dan pantai. Dancing Lines, bukan semata tema, melainkan kesadaran pentingnya kebebasan garis dalam menciptakan karya seni rupa yang berciri mempribadi,” ujar suami Nyoman Henni Kesari ini.
Dancing Lines ini, lanjutnya bukan semata even pameran seni rupa, melainkan juga satu tahapan cipta yang menjadi perenungan serta intensitasnya belakangan ini, yakni pentingnya kolaborasi, sebentuk tautan antara dirinya sebagai praktisi dan sahabat-sahabat muda yang tengah meneguhkan ketetapan hati untuk bergelut mendalami seni.
Luh Putu Dimas Virgantini mengatakan konsep ‘Dancing Lines’ ayahnya memang menarik. Ia percaya bahwa garis atau goresan adalah sesuatu yang paling sederhana untuk mengungkapkan atau mengekspresikan perasaan.
“Ayah saya melakukannya dengan bebas di atas pasir pantai. Seni adalah cara yang kuat dan efektif untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Karya-karya ini memiliki kekuatan untuk menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, menginspirasi mereka, dan mendorong refleksi pribadi yang mendalam,” ujarnya.
Kendati mengalami keterbatasan bahan melukis saat masa kanak-kanak, ayahnya tetap berkarya dengan menggunakan media apapun yang tersedia. Bahkan hanya dengan melukis di pantai menggunakan ranting kayu.
Ia menciptakan tanpa beban, tanpa memikirkan benar atau salah, dan tanpa terikat oleh aturan. Hingga akhirnya, tanpa disadari, itu adalah bagian dari proses Sumadiyasa menjadi seorang seniman sampai saat ini.
“Bagi saya, karya-karya ayah yang kemudian menjadi Dancing Lines, bukan sekadar lukisan. Tetapi juga sebuah cerita hidup yang menginspirasi, merangsang imajinasi, dan menghubungkan kita dengan keindahan dunia. Saya kira ini juga penting dikenalkan kepada generasi muda yang bergerak di bidang seni,” ujarnya bangga.
Sedengkan, kurator pameran Dancing Lines, Prof. Dr. Wayan “Kun” Adnyana menyampaikan, Made Sumadiyasa sejak tahun 1994 telah mencapai tangga puncak sebagai pelukis kontemporer Indonesia yang mengeksplorasi garis sebagai elemen artistik karya.
Kemelekatan pelukis kelahiran Lalang Linggah,Tabanan, 8 Februari 1971 ini dengan garis, justru setaut riwayat masa kanak-kanak. Made Sumadiyasa sejak dini, bermain ke pantai, dan selalu memainkan aneka ranting untuk menggores bebas di pasir; ia menari lincah, lintasan garis tertatah meliak- liuk di pasir pun mengikuti irama ujung ranting.
Kebiasaan menggaris bebas sejak kanak-kanak, bermuara kala Made mengikuti pembelajaran melukis pada Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) di Batubulan, berikut melanjutkan studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1992. Garis-gemaris selalu hadir menyentak dan berirama dinamis pada karya seni lukisnya.
Kun Adnyana yang guru besar Sejarah Seni Rupa pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini menyampaikan, garis pada lukisan Made Sumadiyasa, bukan sebagai batas limit objek visual. Garis tidak hadir repetitif, apalagi naratif.
Tarian garis berirama menyusun dinamika komposisi; beragam intensitas dan ukuran garis menyembur, juga meluap bebas, membangun ruang-ruang imajinatif. Hal itu terlihat dari lukisannya yang berjudul “Hill Over the Lake I” (akrilik pada kertas, 76X56 Cm, 2023).
Begitu juga pada karyanya berjudul “Floating” (akrilik pada kertas, 75X55 Cm, 2023); keruangan imajiner disusun atas tarian garis spontan, bebas, bahkan sangat liar.
Selain kuas, lanjut Rektor ISI Denpasar ini, Made Sumadiyasa juga memainkan ujung pena untuk meluapkan kespontanan; garis hasil torehan, jipratan, atau efek alamiah dari sabetan dan juga luberan warna atau tinta cina. Energi masa kecil, saat bermain-menoreh garis di pasir laut, selalu hidup, mengorbit jadi gairah, dan kekuatan yang merasuki proses berkaryanya hingga kini.
Karya seni lukis Made Sumadiyasa, seluruhnya lahir dan hadir tanpa pretensi untuk menghias, alih-alih mengindah-indahkan objek. Seni lukis Made merupakan representasi energi spontan; imajinasi dan intuisi mengontrol seperlunya, justru keseluruhan menjadi ruang spontan tanpa batas.
Kekuatan dalam berolah garis spontan sejak 1990-an sudah menonjol dan diakui, terbukti tahun 1994, karya Made Sumadiyasa berjudul ‘’Gejolak Bali’’ (100X200 Cm) meraih McDonald’s Award.
Kebebasan Made dalam berolah garis, berbeda dengan kecenderungan umum pelukis Bali yang menempatkan garis sebagai subjek perangkai narasi. Objek visual repetitif disusun atas konfigurasi garis. Garis paling elementer sebagai pembentuk beragam figir-figur objek bernama, sesuai pemeranan wiracerita dan juga cerita rakyat Bali.
Bahkan seni lukis oleh maestro I Gusti Nyoman Lempad, seutuhnya tentang narasi garis. Figurasi dalam lukisan Lempad secara dominan terbentuk dengan garis ‘sakti’ yang mengalir-merangkai, memanifestasikan beragam objek gambar yang outentik.
Berbeda dengan Lempad, tarian garis pada karya seni lukis Made Sumadiyasa hadir berjarak dari kehendak garis sebagai elementer narasi. Kecenderungan karya seni lukis Sumadiyasa justru menempatkan garis hadir independen, tanpa tendensi sebagai pembentuk narasi.
Garis hadir melampaui fungsi naratif, berbeda dengan langgam warisan seni lukis Pita Maha 1930-an yang seutuhnya menempatkan garis sebagai pembentuk tuturan dan pemeranan.
Artistik tarian garis spontan Made Sumadiyasa, menarik didekati dengan perspektif The Logic of Sensation, Gilles Deleuze (2002). Salah satu proposisi yang ditawarkan Deleuze, bahwa sensasi visual non-representatif, non-ilustratif, dan non-naratif, terletak pada hadirnya goresan-goresan tidak sengaja, bebas, dan acak.
Bahkan, garis mencapai tingkatan sebagai goresan-goresan yang tidak menandai (a-signifying traits) (Deleuze, 2002: 82; Deleuze, 2022: 116). Sepenuhnya goresan yang hadir dari energi tangan secara manual, penuh kemerdekaan, dan berjiwa.
Garis spontan Made Sumadiyasa lahir dari peluapan kebebasan, nun jauh sejak masa kanak-kanak. Garis digunakan tidak berkehendak untuk menuturkan presisi realitas, tetapi menghadirkan kekuatan tersembunyi dari realitas dan juga alam yang ia hayati.
Garis spontan, bebas, dan juga acak membangun imaji kekuatan alam, bukan kemolekan. Kekuatan hadir melampaui kekaguman tatapan. Pada terma ini sensasi sepenuhnya menunjuk pada kekuatan kespontanan, dan ini organis pada diri Made Sumadiyasa.
Kekuatan kespontanan juga diakslerasi pengelolaan kesadaran artistik, yang menjadi ciri utama perupa akademis. Kadang kesadaran artistik dapat menggerus ke arah praktik pengomposisian kemolekan visual.
Made Sumadiyasa, rupanya tetap teguh, memberikan kespontanan hadir tanpa kendali mutlak kesadaran artistik akademis, sehingga kespontanan bebas, dan kadang-kadang acak hadir dalam karya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali