Bali Film Forum: Indonesia Menjadi Tujuan Produksi Film Berkelas Dunia
Pembukaan Bali International Film Festival (Balinale) 2024 di Hotel Intercontinental Sanur, Minggu 2 Juni lalu, bukan serimonial biasa. Selain menghadirkan pelaku industri perfilman nasional dan internasional, Balinale 2024 menjadi titik pertemuan east meet west, dan east meet east.
Bahkan, di salah satu programnya Bali Film Forum (BFF), Balinale telah menjadi wadah bagi pelaku industri bekerja sama, berkolaborasi dan saling berbagi dalam memotret serta menjamin keberlangsungan pertumbuhan industri perfilman. Ini yang menarik untuk menuju Baliwood.
Saat itu, Bali Film Forum (BFF) dimoderatori oleh Tantowi Yahya, dan berlangsung dalam tiga sesi. Tak kurang 70 peserta hadir, merupakan pelaku industri perfilman dari Australia, Selandia Baru, Hong Kong, Malaysia, Amerika, Inggris, India, maupun Indonesia.
Dari tiga sesi tersebut, pembahasannya menyangkut industri perfilman jelas tergambarkan keinginan pelaku industry, agar Indonesia tidak melewatkan kesempatan menjadi tujuan produksi film-film berkelas dunia.
Bukan hanya itu, pembahasan dari Bali Film Forum itu untuk menjadikan Indonesia mampu menjadi penggerak ekonomi kreatif di kawasan Asia. Pelung itu terbuka lebar, karena potensi yang ada sangat mendukung.
Saat itu, Tantowi Yahya yang baru melepas statusnya sebagai duta besar RI untuk Selandia Baru, Samoa dan Tonga mengawali ceritanya bagaimana Selandia Baru membangun studio digital visual efek WETA Digital.
Studio yang berkedudukan di Wellington, ibukota Selandia Baru, saat ini dipercaya studio-studio besar untuk pekerjaan digital visual efek film-film Hollywood. Weta Digital adalah contoh menyatukan kemampuan kreatif individu menjadi raksasa industri dengan tenaga kreatif berkelas dunia.
Direktur Musik, Film and Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, M Amin Abdullah menyebutkan, potensi pasar yang terus membesar, film maker dan pekerja kreatif yang semakin terasah craftmanship-nya semakin memperbesar dampak pengganda (multiply effect).
Sementara pelaku usaha ekonomi kreatif yang tergabung di Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Bali, Agus Maha Usadha mengaku yakin dengan merasakan dampak besar produksi film Eat, Pray, Love (2010).
“Empatbelas tahun berlalu, tapi Eat, Pray, Love masih memberikan pengaruh positif bagi destinasi-destinasi wisata di Bali. Sangat disayangkan film Ticket to Paradise (2022) bercerita tentang Bali tapi mengambil lokasi produksi di luar Bali,” jelas Agus.
Karena itu, Industri kreatif Indonesia harus mampu memperbesar skala industri perfilman dengan merebut potensi pasar lokal maupun global. Pendapatan industri perfilman tidak berhenti di angka Rp 90 triliun di tahun 2022 (Price Water House dan LPEM Fakultas Ekonomi & Bisnis UI). Angka ini merupakan multiplier yang mencakup sektor film, musik, animasi, fotografi.
Sedangkan produser dari rumah produksi Starvision, Reza Servia menjelaskan, sebagai pelaku bisnis film, sudah membaca peluang memperluas pasar produksi film-filmnya. “Social connection dan cross culture dalam satu produksi yang menjadikan poduksi film bisa diterima oleh pasar yang lebih luas,” jelasnya.
Over the Top (OTT) atau kanal streaming, sesungguhnya merupakan bentuk ujian penerimaan produk film di pasar global. Melalui film The Architecture of Love (2024) maupun Critical Eleven (2017), Starvision melakukan usaha memperluas pasar filmnya.
Faktor memperluas pasar, memaksimalkan kemampuan sumber daya, mencari bentuk kerja sama produksi, relasi sosial dalam cerita, secara keseluruhan merupakan upaya memperluas pasar dan bisnis industri perfilman.
Sutradara dan Produser kawakan Hong Kong, Stanley Kwan menyebutkan, punya pandangan yang sama. Itu sebabnya, melalui film terbarunya Fly Me to The Moon yang menjadi film pembuka festival Balinale, ia menggandeng sutradara muda perempuan, Sasha Chuk.
Hal itu, menyandingkan produser berpengalaman dengan sutradara muda yang memiliki pemikiran-pemikiran eksploratif merupakan usaha pemerintah SAR Hong Kong mempertahankan kemajuan industri perfilmannya.
Mereka bahkan mengucurkan dana besar untuk memproduksi film-film kolaborasi dengan tema-tema mutakhir, drama-drama humanis, isu-isu sosial yang kuat, hingga merekrut pemain-pemain muda bertalenta.
Melalui Asian Film Academy Awards (AFAA), Hong Kong berkeliling dunia bekerja sama dengan banyak festival-festival dunia menyisipkan slot program film-film Hong Kong. Tidak terkecuali, AFAA hadir dengan enam filmnya di Balinale 2024 melalui tajuk filmnya Hong Kong Film Gala Presentation.
Selain M Amin Abdullah, Reza Servia, Stanley Kwan, Sasha Chuk, Agus Maha Usadha, masih ada pembicara lain seperti Robert Ronny (Paragon Pictures – Indonesia), Sakti Parantean (Fremantle Indonesia), Felix Tsang (Hong Kong), Samuel Hordem (Produser, Distributor, Filantropis – Australia).
Mereka sepakat memperbesar dan memperluas pasar industri film menjadi salah satu strategi menjadikan film memiliki nilai tambah dan dampak multiplier yang luar biasa. Dan Balinale 2024 melalui Bali Film Forum (BFF) telah memberikan kontribusi nyata atas semua kemajuan industri perfilman Indonesia menjadi bagian dari industri perfilman global.
Bali International Film Festival (Balinale) didirikan pada 2007 oleh Bali Film Center (BFC), suatu perusahaan swasta yang menyediakan layanan profesional dan dukungan produksi film dan televisi di Indonesia sejak 2002.
Film Center juga menjadi Founding Member dan BOD Asian Film Commissions Network dari 18 negara. Afiliasi festival lainnya termasuk Asia Pacific Screen Awards, Sundance Film Forward, American Film Showcase, HK International Film Festival, Asian Film Awards Academy, dan Art of the Score dari The Juilliard School, Center for Innovation in the Arts. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali