Guru PAUD dan TK Mencari Pola Mendidik Karekter Anak dari Permainan Tradisional
Ketika diajak ‘maplalianan’ (bermain), puluhan guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK) seakan lupa dengan profesinya sebagai seorang pendidik. Saat bermain, tingkah lakunya seperti anak-anak, riang, gembira, bahkan berteriak kegirangan.
Mereka bermain sambil menyanyi mengtikuti nada tingklik (alat gamelan berbentuk gangsa dengan bilah bambu bernada pelog). Apalagi, mereka dibina langsung oleh Sang Maestro Made Taro, penggiat dan pencipta permainan tradisional Bali itu, mereka tampak senang.
Itulah ekspresi guru PAUD dan TK yang tergabung dalam Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) Kota Denpasar saat mengikuti workshop permainan tradisional di Rumah Budaya Penggak Men Mesri, Senin 3 Juni 2024. Dalam beberapa jam, mereka lupa sebagai guru.
Dalam workshop itu, Made Taro sebagai narasumbet dibantu oleh Gede Tarmada yang juga sebagai narasumber. Workshop permainan tradisional itu digelar serangkaian dengan Rare Bali Festival (RBF) yang akan digelar bersamaan dengan Hari Anak di Kota Denpasar.
Saat itu, Made Taro mengawali kegiatan workshop dengan memainkan tabuh tingklik yang tergolong indah. Alunan nada yang dimainkan sangat sederhana, namun mampu menggugah para peserta untuk larut di dalamnya. Maka tak heran, ketika ditunjuk sebagai pemain mereka langsung senang.
Setelah memainkan satu lagu, Made Taro kemudian bercerita. Dirinya, merasa terkejut, karena sekilas merasa menjadi presiden. Saat itu, ia diundang ke Munduk, Buleleng oleh sebuah yayasan pecinta alam lingkungan. Sepanjang perjalanan ia disambut anak-anak yang bernyanyi.
“Ya, saya merasa sebagai presiden Sanggar Kukuruyuk. Bayangkan, sepanjang perjalan menuju acara tersebut, saya disambut oleh anak-anak yang menyanyikan lagu-lagu hasil ciptaan saya. Saya merasa senang karena lagu-lagu itu dibawakan dengan baik oleh anak-anak di Buleleng,” sebutnya.
Made Taro yang sudah lebih dari 50 tahun berjuang mempertahankan budaya bermain tradisional ini. “Saya apresiasi Perbekel Penggak Men Mersi yang konsen menyelenggarakan workshop permainan tradisional ini. Dulu, saat Covid-19 juga diberikan penghargaan juga. Padahal ini kegiatan yang remeh temeh,” ungkapnya.
Kepada para peserta workshop, Made Taro menjelaskan, selama 30 tahun ia mengurus anak-anak untuk bermain dan mendongeng. Kegiatan anak-anak itu kemudian dibuatkan wadah bernama Rumah Dongeng yang secara khusus mengajak anak-anak bermain dan mendongeng.
Setelah, mengisi acara di TVRI Bali, nama itu kemudian diganti dengan nama Sanggar Kukuruyuk. Bersama Sanggar Kukuruyuk, ia terus mengajak anak-anak bermain. “Saya serahkan pewarisan kepada Gede Tarmada, merupakan anak Sanggar Kukuruyuk pertama bersama Gus Martin, Alit Adiari dan lainnya,” ceritanya.
Dalam workshop yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga yang diwakili oleh Kabid Pembinaan SD Nyoman Suryawan. Hadir pula Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Kota Denpasar diwakili oleh Kabid PHA.
Ketua IGTKI PGRI Kota Denpasar, Ni Nyoman Puspitawati Yasa yang didampingi Jajaran Pengurus IGTKI Se Kota Denpasar itu mengatakan, dalam workshop ini menghadirkan lima permainan tradisional khusus ciptaan narasumber Made Taro.
Ke lima permainan tersebut yang akan dilombakan pada saat RBF yang digelar bersamaan dengan Hari Anak 23 Juni 2024. Dalam kegiatannya dibagi dua, pertama workshop permainan tradisional, besoknya workshop mendongeng dan puisi.
Workshop permainan tradisional ini sengaja melibatkan guru-guru PAUD dan TK dengan harapan bisa mendapatkan pelatihan permainan tradisional yang nantinya diajarkan di sekolah masing-masing.
Permainan tradisional itu merupakan budaya lokal berkembang di ruang sempit karena diserbu dengan gadget dan permainan modern lainnya. “Sebelum mengenal budaya nasional dan internasional, mereka diajak mengenal budaya local. Maka, ikut kegiatan ini sebaik mungkin,” ucapnya.
Perwakilan Kadisdikpora, Nyoman Suryawan menggapresiasi kegiatan yang diinisiai oleh Penggak Men Mersi. Kegiatan ini bermakna positif yang pelaksanaan dalam rangka kegiatan budaya di Bali.
Kegiatan ini nantinya bisa membangkitakan semangat anak-anak didik dalam melatih kreativitas, inovasi dan pengembangan diri. “Anak-anak sekarang cendrung bermain gadget. Lewat seni budaya lokal ini, kita jaga karena sejalan dengan visi misi pemerintah kota kreatif, berbudaya dan maju,” ucapnya.
Klian Penggak Men Mersi Kadek Wahyudita mengatakan, kegiatan workshop ini direspon sangat positif oleh guru-guru PAUD dan TK di Kota Denpasar. Padahal, guru-guru luar kota banyak yang ingin terlibat dalam kegiatan workshop melatih mental dan karakter itu.
Kegiatan workshop ini untuk menuju RBF tahun 2024 yang akan digelar bersamaan dengan Hari Anak di Kota Denpasar. Workshop ini sebagai persiapan untuk lomba permainan tradisional pada RVF nantinya.
“Ini penting untuk mempersiapkan diri, sekaligus menyamakan persepsi yang terjadi di permaian tradisional yang akan dilombakan. Mungkin kedepannya kita akan libatkan guru-guru dari kabupaten lain,” ucap Kadek Wahyu bersemangat.
Festival ini mengangkat tribute Made Taro, yakni meneropong karya-karya beliau selama lebih dari 50 tahun berjuang kemudian mewariskan budaya permanainan tradisional dan mendongeng.
“Saat ini perubahan yang begitu cepat baik itu perubahan teknologi atau perangkat yang berubah setiap detik, maka guru PAUD dan TK menyipakan solusi untuk menangkal pemngaruh negative terhadap perubahan itu,” ujarnya.
Di tengah teknologi yang cepat ini perlu menampilkan bren untuk merevolusi mental yang sangat perlu diguangkan. Diawal festival ini digelar, ada kasus anak yang mencuat, yakni Anjelin.
Lalu sekarang, RBF ada ditengah isu anak-anak yang melompat bunuh diri dan kasus gasa serta banyak persoalan anak-anak lainnya. “Dimana kekeliruan ini, pada si pendidik, rumah atau pemerintah yang tak tanggap regulasi?” tanyanya.
Melalui SBF ini, kemudian Penggak Men Mersi terus menamankan ajaran kearipan lokal di tengah perkembangaan jaman atau di tengah anak-anak berproses banyak yang hilang, seperti hilangnya, anak-anak yang jemet, anak-anak yang urati.
“Begitu pula, ketika karekter anak-anak yang hilang, maka sekarang anak-anak krisis mental dan etika. Lewat permainan tradisional ini, kita akan berupaya menguatkan dunia anak-anak yang hilang ditelan teknologi gadget,” tutupnya bersemangat. [B/*puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali