Mengenang Maestro Guru Tari Legong Peliatan ‘Gusti Biang Sengog’ Melalui Lokakarya di Ajang PKB
Kriyaloka (Lokakarya) bertajuk Seni Tari “Legong Gaya Peliatan Karya Gusti Made Sengog” dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI tergolong sangat special, Jumat 21 Juni 2024. Selaih materinya sangat menarik, peserta loka karya itu pun bukan sembarangan, sehingga masyarakat utamanya generasi muda lebih mengenal legong gaya Peliatan itu.
Masyarakat, tokoh seni dan budayawan memenuhi Kalangan Angsoka Art Center, tempat acara itu digelar. Anak-anak muda, khususnya para siswa dan mahasiswa, mulai dari Institut seni Indonesia (ISI) Denpasar, UNHI, Universitas PGRI Mahadewa, SMKN 3 Sukawati, SMAN 3 Denpasar, SMKN 5 Denpasar dan sekolah seni lainnya.
Seniman serba bisa, Anak Agung Gde Oka Dalem tampil sebagai narasumber tak hanya memaparkan teori, tetapi mempraktekan secara langsung, sehingga peserta yang hadir menjadi lebih mengerti, dan lebih cepat menangkap materi yang disajikan. Acara tersebut juga sangat komunikatif. Peserta tak hanya mendapatkan teori dan contoh, tetapi ikut mempraketkannya.
Itu karena, narasumber yang melibatkan para penari yang menguatkan pemaparannya. Ya, para penari itu yang sempat belajat dengan Gusti Made Sengog dalam jenjang waktu dari tahun1959 hingga tahun 1970-an. Masing-masing dari mereka juga memberi testimony terhadap kesohoran maestro Gusti Made Sengog itu.
Oka Dalem mengatakan, ciri khas tari legong Peliatan ini memang beda dari legong lainnya. Legong Peliatan, selalu terkait antara penari, guru, pembina, dan penabuh yang merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Antara penata tari, tabuh bahkan penata busana sudah menyatu, sehingga manjadi karya seni palegongan sesuai dengan pakem dan karakter daerahnya.
Termasuk pula Ciri khas Legong Peliatan itu yang sesuai dengan daerahnya. Kalau keunikannya, ada gerak ngelayak (kayang), sehingga kalau menyaksikan tari Legong Peliatan akan sangat kentara sekali, karena memiliki kekhasan itu. Selain itu, kapala penari sedikit mendongak ke atas, sehingga pandangan tepat di atas kepala penonton. Cara penyampaian geraknya berbeda pula.
Gusti Made Sengog besar dilingkungan Puri di Peliatan dikenal dengan nama panggilan “Biang Sengog” yang setelah makin lanjut usia menjadi sebutan “Niang Sengog”. Tidak ada yang mengetahui tanggal serta tahun kelahirannya, namun diperkirakan sekitar tahun 1890 dan meninggal tahun 1970.
Niang Sengog tinggal di rumah kecil di Banjar Tengah Peliatan bersama salah satu adik laki-lakinya sekeluarga. Ia merupakan anak kedua dari lima bersaudara dan ayahnya adalah merupakan seorang falsafah keagamaan. Gusti Biang Sengog merupakan penari yang autodidak secara alami.
Pengetahuan menjadi guru tari legong didapat karena ketekunanya mengikuti kakak perempuannya yang bernama Gusti Putu Gianyar yang kawin ke Sukawati dengan seorang empu tari legong bernama I Dewa Ketut Blacing yang juga mengajar penari legong terkenal dari Sukawati yang bernama Anak Agung Rai Perit dan I Wayan Lotring berasal dari Kuta kemudian mereka menjadi guru tari legong tersohor.
Dari pengalaman melihat I Dewa Ketut Blacing mengajar menjadi cikal bakal untuk selanjutnya Gusti Biang Sengog menjadi guru tari legong di Peliatan yang ditunjuk oleh Gungkak Mandera dalam rangka Gong Gunung Sari tour ke Eropa dan Amerika tahun 1952 karena I Wayan Lotring berkeberatan untuk melatih para penari yang sudah disiapakan.
Penghargaan dibiang seni selama hidupnya tidak pernah didapatkan oleh Gusti Biang Sengog, bahkan penghargaan baru didapat setelah beliau meninggal pada tahun 1970 berupa hadiah seni dari Gubernur Bali Ida Bagus Mantra, penghargaan dari Gubernur DKI Jaya Ali Sadikin, penghargaan dari pimpinan STSI yaitu Prof Bandem.
Setelah keperggian Gusti Biang Sengog kepada Sang Pencitpa Anak Agung Gde Ngurah Mandera meneruskan mengajar tari legong, maka legong khas Peliatan yang terwarisi sampai kini merupakan hasil interkasi pengajaran Dwi Tunggal Anak Agung Gde Ngurah Mandera dengan Gusti Biang Sengog.
Dalam lokakarya itu, Oka Dalem menghadirkan Anak Agung Arimas, murid Gusti Made Sengog yang dilatihnya pada pada tahun 1959. Usai menari, Arimas mengaku bangga sekali menjadi bagian dari murid Gusti Made Sengog. Dalam latihan, Gusti Made Sengog fisiknya sangat kuat dan sangat pintar sekali mengingat dalam gerakan setiap tarian sampai muridnya kalah fisik dan cepat lelah. Ketika istirahat, Niang selalu melatih gerakan mata sambil duduk dengan tujuan agar kuat mendelik (melotot).
Desak Putu Widi Kencanawati yang mulai belajar menari legong sejak umur 8 tahun. Untuk belajar ngagem, nyeledet, nyregseg memerlukan waktu yg cukup lama. Kemudian olah tubuh, gerakan kepala, lutut, kaki leher pinggang tangan dengan waktu yang khusus belajar seni peran tari legong. Sebelum itu, disuruh mendengarkan ceritra agar bisa menjiwai lakon yang diperankan.
Ni Luh Kartika yang sering disapa Jero Kartika penari Legong Bapang berpasangan dengan Desak Putu Widi Kencanawati. Menurutnya, Niang Sengog guru sangat galak dan pinter memberikan motifasi semangat supaya rajin belajar menari. Setiap mau pentas harus latihan dulu sudah menjadi kebiasaan beliau.
Anak Agung Ayu Suryawati (Gung Ayu Surya), sejak usia dini sudah belajar menari traditional Bali dengan bimbingan Biyang Sengog dan juga Anak Agung Aji Mandera di Puri Kaleran Desa Peliatan. Gusti Made Sengog seorang guru tari yang betul-betul menguasai bidangnya, beliau tak hanya mengajarkan gerak gerik tarian tapi juga kelenturan tubuh, bahkan tak sungkan memijit kaki, tangan dan kepala anak didiknya supaya lentur.
Anak Agung Raka Astuti mengaku sangat beruntung mendapat arahan dan bimbingan dalam menari Legong oleh Niang Sengog. Niang Sengong mengajar sangat keras dan disiplin agar kami murid-muridnya bisa menari Legong dengan baik. Demikian pula yang dirasakan Ni Wayan Shuithi, Ni Made Puspa Nurini, Luh Mas Sriati, Jero Ni Nyoman Sulasihdan A.A Sri Utari putri dari Gungkak Mandra, juga mengaku bangga semoat belajar pada Niang Sengog.
Pada tahun 1967 Gusti Biang Sengog diminta mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar yang dipimpin oleh Bapak Merta Suteja untuk mengajarkan tari legong lasem lengkap dalam acara Dies Natalis pertama ASTI pada tahun 1968, salah satu muridnya yang berperan menjadi Prabhu Lasem adalah Ni KetutArini Alit. Sedangkan untuk penata tabuh untuk mengiringi legongnya yaitu Bapak Nyoman Kaler .
Oka Dalem mengaku, untuk menumpulkan para murid Gusti Made Sengog itu berawal dari pandemic Covid-19 yang tak bisa berkumpul, Hanya satu atau dua orang per-angkatan bisa bertemu mencoba mengingat-ingat kembali tari legong yang diajarkan Niang Sengog. “Lalu, diundang ke dalam acara lokakarya ini, maka diiyakan saja. Ini sebagai kesempatan untuk reuni mengenang karya Gusti Made Sengog,” paparnya.
Karya ini dipresentasikan dihadapan umum akan bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga orang banyak. “Kita dididik dari kecil mulai dari pemijatan, sekarang kita sudah diwarsi budaya, maka kita harus berkumpul dan mengingat kembali apa yang telah diwarisi Niang Sengog. Walau belum sempurna, tetapi itu menjadi kebanggaan yang harus mewarisi dan mempresentasikan krpada generasi muda,” ucapnya.
Sementara Tim Kurator, Ptof. I Wayan Dibia mengatakan, ini sebuah kegiatan sebagai cara untuk melihat perkembangan kesenian legong itu sendiri. Kegiatan ini sangat efektif untuk memperkenalkan kesenian legong pada jamannya. “Kami Tim Kurator sangat bergembira memilih satu acara yang sangat bermanfaat bagi genarsi muda, terutama di dalam mengedukasi mereka dalam tari-tarian klasik dan pelegongan,” katanya.
Konsep yang ditawarkan pada lokakarya ini memang lebih lengkap. Respon para peserta sangat bagus, namu itu respon yang pasif. Kalau ini bisa disiapkan dengan baik, maka penonton itu bisa diundang untuk ikut mempretakan. Paling tidak mereka bisa ikut merasakan agem, dan gerak lainnya. “Kita ingin ada keterlibaran dari penonton, terustama anak-anak miuda yang sedang belajar tari. Kita ingin para peserta mendapatkan pengalaman aktif,” ucapnya.
Salah satu peserta, Ni Komang Ayu Sawitri Dewi, mahasiswa Universitas PGRI Mahadewa Indonesia yang merupakan gurusan Sendratasik mengaku senang dengan model lokakarya seperti ini. Kriyaloka tari ini sangat bermanfaat bagi dirinya terutama generasi muda di jamam milenial ini. Apalagi, dilengkapi dengan pratek, sehingga lenih mudah memahami materis yang disajikan.
“Kita menjadi banyak mengetahui gaya legong yang ada. Artinya, kita dapat belajar tari legong klasik yang belum terpengaruh modernisasi. Itu karena pembawa materi langsung menampilkan penari legong untuk pratek, sehingga cepat mengerti gaya legong Peliatan,” tutupnya. [B/*darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali