Garap Tari ‘Smara Jantra’: Kadek Ayu Diah Mutiara Dewi Hidupkan Kembali Nilai-nilai Esensial Telek Desa Adat Legian
Kadek Ayu Diah Mutiara Dewi garap Tari Smara Jantra untuk ujian program magister ISI Bali/Foto: darma
KADEK Ayu Diah Mutiara Dewi, mahasiswa program magister Instiut Seni Indonesia (ISI) Bali mementaskan garapan seni bertajuk “Smara Jantra” terinspirasi dari Tari Telek, kesenian sacral yang ada di Desa Adat Legian. Tari ini dipentaskan di tiga lokasi berbeda, di desa para turis itu.
Pentas Tari Smara Jantra itu sebagai syarat mengikuti Ujian Tesis Program Studi Seni Program Magister Instiut Seni Indonesia (ISI) Bali, Senin 28 Juli 2025 malam. Masyarakat Legian tumpah ruah menyaksikan karya seni terbaru itu. Bahkan wisatawan mancanegara ikut berdesak-desakan.
“Penyajian karya Tari Smara Jantra ini menggunakan pendekatan koreografi lingkungan yang menyatu dengan ruang-ruang sakral dan profan di Desa Adat Legian untuk memperjelas, karya ini meliputi tiga titik lokasi pementasan,” kata Tiara sapaan akrabnya.
Ujian untuk meraih gelar Studi Seni (S2) itu menghadirkan dewan penguji Dr. I Ketut Sariada, SST., M.Si., Dr. I Kt. Suteja, SST., M.Sn., dan Dr. I Wayan Budiarsa, S.Sn., M.Si. serta Prof. Dr. Ni Made Ruastiti, SST., M.Si., sebagai pembimbing utama dan Dr. I Gusti Putu Sudarta, SSP., M.Sn., sebagai pembimbing pendamping.
Tari kontemporer ini mulai dipentaskan di area Jaba Tengah Pura Agung Desa Adat Legian, lalu kedua pentas di jalan raya menghadap selatan serta diseberang jalan yang merupakan jaba sisi pura sekaligus wilayah yang dikenal sebagai “genah masolah” (ruang pentas).
Di area Jaba Tengah Pura (bagian pertama), menampilkan ibu-ibu Desa Adat Legian memendet yang sudah ada sejak dulu sebagai simbol penghormatan, pengabdian, dan wujud rasa syukur masyarakat, memperkuat kesan autentik dan memberi bobot sejarah dalam struktur pertunjukan karya.

Di area ini menggambarkan masa sebelum kehadiran Tari Telek di Legian. Ritual mepajar yang berlangsung di wilayah pura, khususnya di area jaba tengah. Satu sosok figur Telek bersama enam penari sesandaran yang menari menggambarkan suasana spiritual penuh ketenangan dan kekhidmatan.
Gerak tarinya sederhana, seperti ngeliput, ngeteb, dan mekecos yang tentutnya dipilih secara selektif dan dihadirkan secara repetitif dengan tempo yang lambat. Gerak itu seakan memperkuat dimensi meditasi dan kekhusyukan, menekankan bagian ini berada pada tingkatan wali (sacral).
Di sini, tari ini diringi gamelan bebarongan yang dimainkan secara tradisional, tanpa tambahan unsur digital. Hal itu seakan mempertegas suasana orisinalitas dan kemurnian nilai budaya.
Bagian kedua, di jalan raya menunjukkan fase transisi dan perkembangan Tari Telek Legian menuju bentuk profan. Bagian ini, mengisahkan Telek mulai berkembang secara fungsi dan penyajian. Perubahan yang paling nyata terjadi pada struktur penyajiannya, komposisi gerak dan perubahan peran gender dari penari laki-laki ke penari perempuan.
Penyajian merepresentasikan keterbukaan terhadap pengaruh luar dan dinamika zaman. Komposisi gerak disusun lebih dinamis dan kompleks, menghadirkan pola-pola seperti rampak, canon, dan alternit, yang menggambarkan kehidupan sosial modern yang lebih beragam.
Iringan musik diperkaya dengan teknologi MIDI, menandai perjumpaan antara bunyi tradisi dan inovasi digital. Formasi tari tidak lagi berpola hirarkis, melainkan lebih fleksibel, memperlihatkan semangat zaman yang lebih setara dan adaptif sebagai fase bebali atau profane.
Bagian terakhir, di seberang jalan, merupakan puncak narasi yang menyampaikan pesan pemuliaan terhadap Telek Desa Adat Legian sebagai identitas budaya yang tetap hidup dan relevan. Eksplorasi gerak dilakukan dengan menggali kedalaman simbol yang terkandung dalam perjalanan Tari Telek.

Gerak tubuh sebagai alat ekspresi non-verbal menyuarakan pentingnya menjaga kesinambungan warisan budaya. Narasi dalam bagian ini tidak linier, justru disusun secara kontemplatif untuk mengajak penonton merenungkan nilai-nilai spiritual dan kultural yang melekat pada tari Telek itu.
Babak ini menandai tahap balih-balihan atau kekinian. Tradisi diolah menjadi refleksi dan kritik terhadap zaman. Meskipun bentuk dan penyajiannya telah mengalami banyak perkembangan, namun Telek ini tetap harus dihormati sebagai warisan budaya yang bernilai tinggi.
“Saya ingin setiap detail gerak yang ada mampu menjadi identitas budaya yang senantiasa diwariskan dan dimaknai ulang oleh generasi kini, sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap akar budaya sendiri,” papar Tiara.
Konsep wali, bebali, dan balih-balihan
Malam itu, tak hanya menyajikan keindahan gerak seni, tetapi menghadirkan suasana sakral dan magis yang selama ini menyelimuti praktik pertunjukan Telek itu. Semuanya ditata apik, sehingga memperkuat pengalaman estetis dan spiritual bagi penonton. Akrab dan seolah tanpa batas.
“Pemilihan ruang ini bukan hanya sebagai latar pertunjukan, tetapi sebagai bagian dari narasi itu sendiri, sehingga dapat merepresentasikan jejak perjalanan sejarah Tari Telek yang hidup dalam ruang fisik desa dan batin masyarakatnya,” tegasnya.
Tiara mengatakan, Desa Adat Legian diwarisi Tari Telek yang menjadi bagian integral dari rangkaian pertunjukan mepajar. Tari ini memiliki keindahan terpancar dari kharisma dan aura spiritual yang terus menyertai perjalanan kelahiran dan perkembangannya.
“Nilai-nilai itulah yang mendorong saya menggali lebih dalam, menafsirkan ulang, dan menghadirkan bentuk baru yang tetap berakar pada tradisi. Karya ini lahir dari penghayatan terhadap getaran batin, dengan menjadikan konsep wali (sakral), bebali (profan), dan balih-balihan (kekinian),” paparnya.
Konsep tersebut, sebagai titik tolak konseptual yang menandai transisi nilai sakral menuju profan dan kekinian, dalam konsep “luwan-teben” (hulu dan hilir). “Smara Jantra menggambarkan perasaan batin saya dalam menghadapi perubahan zaman,” paparnya.
Karya seni ini menunjukkan, warisan budaya, khususnya nilai-nilai sakral yang ada di dalam Tari Telek itu, tetap bisa dijaga dan diteruskan dari generasi ke generasi. Bahkan, di tengah kehidupan modern saat ini, tradisi masih dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan.
Menjaga harmoni
Pesan yang disampaikan keseimbangan, yakni prinsip menjaga harmoni antara dimensi sekala (lahiriah) dan niskala (batiniah), kebersamaan terlihat dari keterlibatan masyarakat lintas usia (anak-anak, remaja, dan orang tua) ikut andil mulai dari latihan, pengolahan ide dan pementasan.
Lalu, kesadaran akan nilai adat dan keyakinan, tergambar dalam Smara Jantra sebagai refleksi terhadap tata laku religius masyarakat Bali. Penggunaan tapel, struktur dramatik, serta momentum pertunjukan yang dipilih bertepatan dengan siklus upacara adat.
Hal itu, menjadikan karya ini sebagai bagian dari ungkapan penghormatan terhadap nilai sakral yang hidup di masyarakat Desa Adat Legian.
Nilai ketulusan dalam pengabdian terhadap leluhur serta pelestarian budaya, hadir dalam sikap pencipta yang menggali sumber tradisi, dan mengolahnya menjadi sajian baru tanpa melepaskan akar nilainya tampak dari narasi, kostum, dan elemen estetik lainnya tetap berpijak pada sumber local.
Termasuk kesadaran ekologis, tampak dari pemilihan lokasi pementasan di ruang terbuka. Ruang pertunjukan yang melibatkan aspek aktivitas keagamaan di Desa Adat Legian, wilayah kawasan pura menjadi bagian hidup dari karya bentuk kepedulian terhadap lingkungan sebagai merawat budaya.
Karya Smara Jantra menjadi medan tafsir budaya, di mana nilai-nilai lokal diolah menjadi bahasa koreografis yang relevan. Pesan utama yang ingin dihadirkan melalui karya Smara Jantra adalah pentingnya menjaga cahaya warisan budaya yang tumbuh dari kehidupan masyarakat Desa Adat Legian.
Cahaya dalam karya ini menggambarkan semangat yang menyala dari nilai-nilai leluhur, keyakinan adat, dan tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Melalui bentuk, ruang, dan narasi geraknya, Smara Jantra menyampaikan ajakan agar generasi masa kini tidak melupakan akar budayanya.
Warisan yang telah dibangun dan diwariskan oleh pendahulu harus terus diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Karya ini juga menyadarkan bahwa perkembangan zaman bukan alasan untuk kehilangan arah.
Oleh karena itu, Smara Jantra menjadi penanda bahwa budaya yang tumbuh dari keyakinan dan praktik hidup bersama dapat terus bertahan dan beradaptasi di tengah dinamika kehidupan masyarakat masa kini.
Prof. Ruastiti mengatakan, pementasan karya seni ini merupakan bagian dari memperlihatkan karya setelah sebelumnya melakukan tahap ujian proposal gagasan, dan ujian seminar hasil. “Semoga hasil karya yang ditampilan ini bermanfaat di Desa Adat Legian,” harapnya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali