Sanghyang Saraswati: Pengetahuan Menjelma Indah Dalam Sabda Dalang

 Sanghyang Saraswati: Pengetahuan Menjelma Indah Dalam Sabda Dalang

I Gusti Darma Putra/Foto: ist

MASYARAKAT Hindu di Bali memperingati Hari Raya Saraswati untuk merayakan turunnya ilmu pengetahuan dan memuja Dewi Saraswati, dewi ilmu pengetahuan, seni, dan kebijaksanaan, sebagai perwujudan rasa syukur atas ilmu dan anugerah kebijaksanaan yang diberikan kepada manusia.

“Hari Raya Saraswati adalah momen suci bagi umat Hindu untuk memuliakan Sanghyang Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan, cahaya kebijaksanaan, dan sumber yang menuntun setiap pencarian intelektual maupun spiritual,” kata Dr. I Gusti Made Darma Putra, Sabtu 6 September 2025.

Dalam Dharma Pawayangan, Dewi Saraswati tidak semata dipahami sebagai personifikasi ilmu, tetapi sebagai daya hidup yang menyusup ke dalam setiap tindakan kreatif seorang dalang. Beliau menyalakan terang pada jalan pikiran, rasa, dan estetik, sehingga pertunjukan wayang mampu hadir sebagai tuntunan yang mendidik sekaligus tontonan yang memikat.

Pria yang akrab disapa Gung Ade Dalang ini menjelaskan, secara teologi Hindu, Dewi Saraswati adalah sakti dari Dewa Brahma yang dipersonifikasikan sebagai Dewa Pencipta (utpeti) dalam Trimurti.

Baca Juga:  I Wayan Gede Arnawa, Beri Bekal Hidup Anak-anak di Jaman Now

Sementara Saraswati adalah daya atau energi yang memungkinkan proses penciptaan itu berlangsung. Tanpa sakti, Dewa Brahma hanya akan menjadi prinsip pasif, dengan Saraswati, daya cipta (kreativitas kosmis) dapat terwujud.

Dengan demikian, Dewi Saraswati dapat dimaknai sebagai stimulasi penciptaan, yakni energi intelektual, bahasa, ilmu pengetahuan, dan keindahan yang menjadi fondasi dari segala proses kreatif.

Brahma mencipta semesta, tetapi kekuatan untuk merumuskan pengetahuan, menata kata, dan membentuk harmoni bersumber dari Dewi Saraswati. Ia adalah inspirasi yang menyalakan pikiran, menuntun imajinasi, serta menggerakkan sabda agar bernuansa luhur.

Dalam konteks pewayangan dan kreativitas dalang, hubungan ini menjadi sangat relevan. Dewa Brahma melambangkan daya cipta universal. Lalu, Dewi Saraswati hadir sebagai penggerak kreatif yang menyalakan proses penciptaan lakon, tutur, dan sabda.

Baca Juga:  “Anglep Sari” dan “Markandya Lango” Persembahan Sanggar Seni Tedung Agung Ubud di Bulan Bahasa Bali 2021

Selanjutnya, dalang menyalurkan keduanya dalam saijan Pawayangan. Ide lahir dari penciptaan (Brahma), sedangkan cara ide itu diungkapkan, diperhalus, dan dihidupkan bersumber dari stimulasi (Saraswati).

“Sehingga, Dewi Saraswati dapat dimengerti sebagai denyut kehidupan penciptaan, penggerak ide agar tidak hanya lahir, tetapi juga berdaya guna, bernilai, dan bernapas keindahan,” papar seorang dalang wayang kulit ini.

Menurutnya, dalam Dharma Pewayangan dijelaskan bahwa Saraswati bersemayam pada canteli ing lidah, menjadi roh tutur yang memberi daya hidup pada sabda dalang. Lidah yang diterangi Saraswati bukan sekadar alat untuk menyuarakan kata, melainkan pancaran cahaya pengetahuan yang menghidupkan makna di balik setiap ucapan.

Dari sinar suci inilah lahir sabda yang menuntun jalan kebenaran, menyejukkan batin, sekaligus membangkitkan kesadaran manusia akan nilai-nilai kehidupan yang luhur.

Baca Juga:  Sanggar Seni Cudamani Ubud dengan Pelegongan Klasik Lintas Generasi

Kekuatan Sanghyang Saraswati berpadu dengan Sanghyang Guru Rekha yang menyinari idep (pikiran) untuk melahirkan daya cipta, serta Sanghyang Kawi Swara yang membangkitkan daya kreatif agar sajian berjiwa.

Ketiganya bersinergi, namun Saraswati adalah pangkal sumber, tanpa ilmu, gagasan kehilangan arah, dan daya kreatif hampa tanpa isi. Dengan memuliakan Sanghyang Saraswati, Dalang sesungguhnya memberi bakti pada inti kreativitas, pengetahuan yang menghidupkan imajinasi, dan menyalakan daya kreatif.

Proses kreatif seorang Dalang berlangsung melalui tahap-tahap yang berpola. Penyinaran Sanghyang Saraswati lebih dahulu menghadirkan pengetahuan, wawasan, serta pemahaman tatwa.

Lalu Sanghyang Guru Rekha mengolahnya, meramu ide yang berkelana menjadi rancangan artistik. Pada akhirnya Sanghyang Kawi Swara memberi nyawa, menjadikan ide dan rancangan tersebut hidup.

Baca Juga:  Press Call Bali Berkisah di ARTOTEL Sanur: Tiga Pemenang Baca Puisi, Empat Penulis Muda Bagi Pengalaman

“Dari sana, sesuatu yang semula abstrak bertransformasi menjadi sajian yang hikmat, menyatukan logika, intuisi, dan estetika dalam satu tarikan napas Dalang,” tegas Gung Ade Dalang.

Sabda yang dibimbing oleh Saraswati menjelma menjadi lebih dari sekadar bunyi atau suara. Ia menjadi doa yang memuliakan, wejangan yang mencerahkan dan membimbing jiwa menuju kebijaksanaan.

Dalam tutur dalang, bahasa tidak hanya menghibur, melainkan juga mendidik, memperhalus budi, serta menumbuhkan rasa keindahan yang dalam. Oleh karena itu, setiap untaian kata yang disampaikan Dalang hadir sebagai kekuatan rohani yang menyentuh nurani penonton maupun pendengar.

“Karena itulah Dewi Saraswati dimuliakan sebagai penggerak bahasa, sumber daya ungkap yang menjiwai sajian pewayangan. Beliau adalah inti dari kelahiran seni tutur yang menjadikan setiap lakon wayang sarat dengan nilai kehidupan,” imbuyhnya.

Baca Juga:  Umat Hindu Merayakan Hari Saraswati untuk Memuliakan Ilmu Pengetahuan

Kehadiran Dewi Saraswati menjamin agar pewayangan tidak sekadar menjadi tontonan yang kosong, melainkan juga tuntunan yang menyalurkan pengetahuan, kebijaksanaan, dan keindahan.

Dengan demikian, bahasa yang lahir dari dalang menjadi jembatan antara dharma dan manusia, antara kesucian ilahi dan realitas kehidupan.

 Dalang Kanda Bhuwana mengajarkan keterhubungan Bhuana Alit (mikrokosmos) dan Bhuana Agung (makrokosmos). Tubuh manusia dipandang sebagai miniatur semesta, sementara semesta adalah bayangan diri manusia.

Ungkapan “kandan awak daging jagat, kandan jagat daging awak, panunggalan bhuwana agung bhuwana alit menjadi fondasi seorang dalang untuk berkarya, sebab setiap tindakannya dianggap berakar dari harmoni kosmos. Dengan kesadaran itu, dalang tidak hanya bercerita, melainkan menjaga keseimbangan jagat dalam simbol-simbol pewayangan.

Baca Juga:  Sayang Kepada Orang Tua, Putu Diky Wahyu Arjaya Garap “Tresna Sih Rupaka”. Ujian Sarjana ISI Denpasar

Seorang dalang disebut angamong atau pemikul tugas suci karena ia selalu berhubungan dengan tiga aspek Hyang Suksma. Guru Rekha menyalakan imajinasi, Saraswati menyinari tutur, dan Kawi Swara menghidupkan sabda.

Ketiga kekuatan ini adalah manifestasi kemuliaan Tuhan yang meresap ke dalam tubuh dan jiwa dalang (surup ring sarira). Saat kekuatan itu menyatu, dalang tidak lagi sekadar pengisah lakon, melainkan penyalur cahaya ilahi yang menebarkan kebijaksanaan.

Kreativitas dalang dengan demikian bukan hanya lahir dari logika dan kecerdasan (budhi), tetapi juga intuisi, kepekaan rasa, serta spiritualitas yang menuntun. Sanghyang Saraswati adalah inti dari seluruh proses, penghubung antara pengetahuan, imajinasi, dan sabda.

“Setiap karya pewayangan adalah persembahan yang disinari Saraswati, menjelma menjadi lakon penuh makna. Karena itu, dalang bukan hanya seniman, tetapi juga pengemban dharma, penyampai nilai kehidupan, dan penjaga keselarasan jagat,” sebutnya.

Baca Juga:  Tari Legong Buwuk Terinspirasi Dari Kisah Nyata

Hari Suci Saraswati akhirnya menjadi pengingat bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh membeku sebagai teori, tetapi harus bergerak, hidup, dan melahirkan daya cipta. Dalam diri dalang, ilmu Saraswati berdenyut menjadi lakon, tembang, sabda, dan gerak yang menyentuh kesadaran.

Melalui seorang Dalang, Sanghyang Saraswati terus memancarkan sinarnya, menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan, serta menuntun umat menuju keseimbangan hidup. “Memuliakan Sanghyang Saraswati berarti menjaga agar ilmu senantiasa menjadi sumber inspirasi, ruang penciptaan, dan cahaya keindahan yang menghidupkan dunia,” pungkasnya. [B/darma].

Related post