Tari Sanghyang: Keindahan dalam Gerak Asing yang Sederhana

 Tari Sanghyang: Keindahan dalam Gerak Asing yang Sederhana

Jika kita berharap menonton pertunjukan Sanghyang seperti menonton tarian umumnya, mungkin kita akan kecewa sebab, pertunjukan ini bisa jadi batal, sebagaimana Sanghyang Jaran yang rencananya digelar di Pura Penataran Sasih, Pejeng-Gianyar Bali, pada tahun 2019. Ketika itu, batok kelapa ditumpuk di tengah halaman utama Pura. Nyanyian mulai terdengar. Orang-orang yang kebetulan sembahyang, sengaja datang untuk menonton, dan turis sudah memenuhi halaman pura; melingkar dengan tumpukan batok kelapa sebagai titik pusat. Namun, hingga beberapa kali nyanyian diulang, tak ada tanda-tanda pertunjukan akan dimulai selain batok kelapa yang mulai habis terbakar, asap mulai menipis.

Penonton yang melingkari pusat api pun mulai bertanya-tanya hingga akhirnya sebuah pengumuman melalui pengeras suara terdengar. Pertunjukan dibatalkan. Hal ini bukanlah kesalahan teknis sebagaimana lampu yang tiba-tiba padam karena panitia lupa membeli pulsa listrik atau penari yang kurang latihan atau penyanyi—yang dalam konteks ini menjadi pengiring pertunjukan—kurang khatam. Bukan sama sekali. Pertunjukan Sang Hyang Jaran batal, “Karena beliau tak berkehendak untuk turun,” bunyi pengumuman itu dalam Bahasa Bali alus.

Peristiwa yang sama terjadi pada pergelaran lima tari Sanghyang di Jangu-Karangasem, yang meliputi tari Sanghyang Bojog, Sanghyang Jaran, Sanghyang Tutup, Sanghyang Memedi, dan Sanghyang Dedari. Menariknya, hanya beberapa daerah yang mengenal tarian Sang Hyang dan biasanya memiliki perbedaan. Di Pura Penataran Sasih, tak ada penari yang dipersiapkan, dalam konteks ini, penonton mungkin saja jadi penampil. Di Jangu-Karangasem penari dipersiapkan, tetapi nanti dulu, tak ada latihan untuk para penari ini. Pertunjukan mengalir tanpa ada skenario khusus.

Pergelaran ini diadakan di lapangan Banjar Adat Sesana Kertha Warsa Jangu, Desa Adat Duda-Karangasem pada 19 Januari 2021 atas kerjasama banjar adat dengan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Direktorat Jenderal Kebudayaan Balai Pelestarian nilai budaya Provinsi Bali, dan Dinas Kebudayaan Kabupaten Karangasem.

Baca Juga:  PKB XLVI Ditarget Pengunjung 1.8 Juta, Sekaa Kesenian Wajib Tandatangai Pakta Integritas Sampah

Dalam satu kesempatan, Bendesa Adat Duda sempat menerangkan bahwa desa itu memiliki delapan belas jenis Tari Sanghyang, meliputi: Sanghyang Bojog, Sanghyang Memedi, Sanghyang Tutup, Celeng, Saab, Dongkang, Jaran Gading, Kerek, Dedari, Lelipi, Sri Putut, Kuluk, Teter, Capah, Sampat, Lesung, Sembe, dan Sele Perau.

Tari Sanghyang

Pertunjukan ini dibuka oleh tari Sanghyang Bojog. Namun, langit masih mendung, dan tanah tidak becek tapi sebagian masih basah karena hujan sempat mengguyur lapangan tempat pertunjukan digelar. Kemudian, beberapa orang mulai masuk memasang instalasi bambu yang mirip gunung; di antara bambu, terikat beberapa buah. Penari masuk. Ia langsung meloncat ke bambu, menggoyang-goyangkan bambu, tapi hanya beberapa saat, lalu ia meloncat ke tanah. Warga yang sekaligus menjadi panitia acara mulai panik, mencoba mengejar penari Sanghyang Bojog.

Tampaknya penari itu tak punya andil penuh untuk menentukan gerak dan arah laju. Orang-orang meyakini bahwa ada satu entitas yang bersama si penari ketika pertunjukan; entah itu energi, roh, atau sebagainya dan tubuh si penari tidak boleh menyentuh air. Maka dari itu, sebelum pertunjukan dimulai, beberapa penonton bisik-bisik cemas melihat langit yang gelap dan tanah yang basah.

Penari Sanghyang Bojog rupanya lari ke tanah yang masih basah. Kakinya menyentuh tanah basah, tangannya juga sama. Tanpa hitungan yang panjang, tubuh Penari Sanghyang tetiba tergeletak di tanah. Gerakan yang sebelumnya mirip gerak monyet seketika hilang. Tubuhnya kemudian bergetar seperti kena sengatan listrik. Di saat yang bersamaan, penonton bergumam, terdengar seperti tanda bahwa pertunjukan usai. Beberapa orang yang telah bersiap di bibir panggung langsung mengangkat tubuh penari yang masih tetap bergetar. Tak berselang lama, seorang Pemangku datang lalu melangsungkan ritual sederhana lalu penari itu sadar. Penari itu berdiri lagi, tapi kini dengan tubuh yang lesu, mata yang kuncup.

Baca Juga:  Ni Wayan Arma Yunika Sari Juara Terbaik I Tari Truna Jaya Online

Pertunjukan ini hanya berlangsung beberapa menit, sama halnya dengan Sanghyang Tutup, dan sanghyang dedari. Tetapi, pertunjukan adalah usaha partisipan untuk mempengaruhi partisipan lainnya. Sehingga, jika berangkat dari premis ini, pertunjukan sesungguhnya telah dimulai sejak beberapa orang bersiap di dalam panggung, mempersiapkan properti, mendoakan penari, dan sebagainya; yang membuat penonton hening untuk turut melihat permulaan pertunjukan. Semua kegiatan itu menyita perhatian penonton. Maka, meskipun penari hanya tampil beberapa menit, sesungguhnya pertunjukan berlangsung lebih dari itu.

Tari Sanghyang tampaknya memiliki trah yang berbeda dengan tari-tari yang kini kita lihat di Art Center dengan tarinya yang selalu hadir dengan kostum megah, hiasan wajah yang tertata. Kebiasaan menonton pertunjukan dengan satu pola seperti itu, kadang mengantar kita pada kesimpulan semu, semisal tari yang bagus adalah tari berpakaian glamor, dengan make up cantik atau ganteng. Untuk urusan satu ini, Gde Aryantha Soetama sempat membahas betapa orang Bali sesungguhnya gemar bersolek, berindah-indah dengan kemegahan. Padahal, kesederhanaan sebagaimana tari sanghyang ini mampu menawarkan satu hal yang tetap menarik untuk ditonton, tetap mampu menarik dengan tawaran estetikanya sendiri dengan kostum yang sederhana dan tubuh dan gerak yang asing. [B]

Wayan Agus Wiratama
Wayan Agus Wiratama

aktor dan penulis yang aktif di Teater Kalangan dan Lingkar Studi Sastra Denpasar. Kumpulan cerpen tunggalnya terhimpun dalam buku berjudul “Kado Kematian untuk Pacarmu” diterbitkan Mahima Institute Indonesia (2020).

Wayan Agus Wiratama

Aktor dan penulis yang aktif di Teater Kalangan dan Lingkar Studi Sastra Denpasar

Related post