Sekaa Gong Desa Menyali Sejarah Panjang Perjalanan Gong Kebyar di Bali
Usianya memang sudah uzur, tetapi ketika memainkan gending-gending klasik jiwaya muda kembali. Meski minim gaya, tetapi teknik memainkan alat gamelan masih tampak jelas, kalau mereka pernah mengalami kejayaan pada jamannya. Itulah Sekaa Gong Menyali ketika tampil pada Utsawa (Parade) Gong Kebyar Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV, Rabu 28 Juni 2023. Para penabuh ini merupakan “sebunan” yang berasal dari satu desa merupakan generasi 3 dan 4. Ada pula generasi ke dua yang umurnya sudah 86-an tahun, sehingga harus dipapah menuju panggung.
Ketika memasuki Panggung Ardha Candra, Taman Budaya itu, para pendukung sudah mendapat sambuatn penonton. Mungkin karena namanya yang sudah terkenal sejak jaman lampau hingga saat ini. Kehadiran penonton juga membludak, hingga memenuhi tempat duduk panggung terbuka itu. Para orang tua ini mula-mula memainkan tabuh yang begitu “alep” (kalem), tetapi berbeda ketika mengiringi Tari Truna Jaya yang serba cepat dan keras. Para penabuh ini begitu cerita, sedikitpun tak tampak lelah di wajahnya. Saat itu, sambutan penonton kembali hangat.
Sekaa Gong menyali yang bernama Saraswati mengawali penampilan dengan Tabuh Lelongoran “Ombak Kaulu”. Tabuh ini sudah ada pada 1915 yang diciptakan oleh Kaki Cening dari Desa Menyali. Tabuh ini mesti dimainkan saat masyarakat menggelar upacara. Ketika kentungan sudah berbunyi, maka Lelongoran itu harus berbunyi. Tabuh ini memiliki ritme dan iramanya mirip dengan gelombang pasang di sasih ke ulu. Deburan onbak dahyast seperti gemuruh, terkadang meredup seperti riak air.
Tabuh Lelongoran dalam pengertian identitas musikal adalah sebuah produk budaya-seni karawitan khas Buleleng yang tidak dimiliki oleh siapapun di daerah lain. Permaianan tabuh ini tergolong unik mempertahankan teknik kekelenyongan, seperti gong lelambatann, tetapi memiliki nilai magis tersendri. Itu karena, tabuh itu hanya dimainkan sebelum upacara pujawali dimulai yang berfungsi sebagai pemungkah. Tabuh Lelongoran wajib dimainkan sebelum memulai kegiatan apapun dibarengi dengan tetangguran kulkul desa. “Itulah nilai magis dari Lelongoran ini,” ucap Kelian Desa Adat Menyali, Gede Carita.
Komposisi ini secara fungsional digunakan dalam multi-konteks kehidupan sosial kultural masyarakat Buleleng. Dalam tabuh ini alunan tabuh menyerupai deburan ombak di sasih kaulu, deburan maha besar, seakan-akan mendengarkan suara gemuruh. Struktur tabuhnya sesuai dengan struktur tabuh kekinian, ada Pemungkah, Pengawak dan Pengecek. “Kami tetap mempertahankan keaslian dari tabuh ini. Begitupun ketika diturunkan kepada generasi berikutnya,” tekad Carita.
Semangat para penabuh ini semakin menjadi ketika mengiringi Tari Truna Jaya sebagai sajian kedua. Tari ini diciptakan pada tahun 1915 oleh Pan Wandres dalam bentuk Kebyar Legong. Kemudian disempurnakan oleh seniman asal Bali yang bernama I Gede Manik. Tari Truna Jaya menggambarkan gerak-gerik pemuda yang telah beranjak dewasa, sangat emosional yang mana tingkah lakunya senantiasa berusaha memikat hati perempuan. Menariknya, tari ini ditarikan oleh tiga penari secara bergantian. Pada bagian pepson ditarikan oleh panari gadis yang begitu lincah, bagian hingga pengawak ditarikan penari manita yang sudah menikah, dam bagian pengecet dan pekaad ditarikan oleh wanita yang sudah berstatus menjadui nenek.
Sekaa Gong Menyali kemdian menyajikan Tabuh Kreasi “Sriwijaya”. Tabuh ini diciptakan tahun 1915 oleh Guru Cening Britem. Komposisinya kekebyaran khas Buleleng, namun itu diawali dengan tabuh gegenderan klasik. Tabuh ini didominasi oleh instrumen Reong dan silih berganti dengan instrumen-instrumen lainnya. Tabuh Sriwijaya melambangkan suatu persembahan kepada Ida Betara Sri sebagai Dewa Padi yang saat itu para petani padi yang ada di desa Pait Hati (Menyali) sedang panen besar atau panen raya.
Komposisi ini pernah digunakan dalam ajang mebarung Gong Kebyar di Klunglung pada Tanggal 10 November 1934 dan memperoleh predikat pemenang. Tanda tangan Kejayan Gong Kebyar Saraswati ini diperkuat dengan diberikannya Penghargaan berupa Panji Bendera Saraswati oleh Raja Klungkung Anak Agung Geg. “Konon tabuh ini diciptakan saat masyarakat menyali berhasil panen besar-besaran. Tidak ada hama, pengairan cukup, lalu untuk menghormati pemberian Tuhan maka dipesembahkan dalam bentuk padi sri. Maka menciptakan Tabuh Sri Wijaya,” ungkap Carita senang.
Pada bagian terakhir, menampikan Tari Kebyar Legong Pengeleb yang dicipatakan pada 1934 oleh penglisingr Pekak Cening. Tari yang ditarikan 6 penari wanita ini salah satu jenis tari kakebyaran yang tercipta di desa Menyali Buleleng. Tari ini, menggambarkan suasana hati kaum perempuan yang penuh kegembiraan diluapkan dengan ekspresi bahagia, suka cita, dan keagresifan. Tari ini lahir dizaman pergerakan nasional dan emansipasi wanita ketika Raden Ajeng Kartini sedang gencar memperjuangkan kesetaraan derajat wanita dengan kaum laki-laki.
Tari ini direkonstruksi oleh salah seorang seniman Buleleng yang dengan sangat intens melakukan kegiatan pelestarian terhadap kesenian tradisi Buleleng yakni I Made Redita (Pan Carik), I Made Keranca, dan I Made Pasca Wirsutha sebagai rekonstruktor karawitannya. Karya tari ini adalah Guru Cening Beritem (Almarhum) dan Gede Negara (Alamarhum). Untuk tampil diajang PKB ini, kami melakukan persiapan yang serius,” ucap Carita yang didampingi Kelian Gong, Gede Edi Suryawan.
Sekaa Gong Menyali
Sekaa Gong Menyali sejak1914 sudah biasa mebarung berempat, bersama Sekaa Bebetin, Menyali, Jagaraga dan Kedis. Keempat sekaa gong ini menjadi pentolah gong kebyar di Buleleng. Sekaa gong ini sesungguhnya tak pernah putus generasi, tetapi kebeeadaannya memang tidak semeriah sekarang ini. Sebelumnya bernama Sekaa Gong Sekar Gadung. Namun, setelah mendapat anugerah berupa panji atau bendera Saraswati pada tanggal 10 November 1934 dari Anak Agung Geg, Raja Klungkung yang bertahta saat itu sebagai jayanti atau juara pada saat Parade Gong Mebarung di Puri Klungkung. Gong legendaris Desa Menyali berkenan menerima predikat Gong Legendaris sesuai dengan keberadaannya saat ini.
Sekaa Gong Menyali memiliki warisan Gong Gantung (Lanang) yang diberi nama Sekar Gadung yang merupakan anugerah, pemberian dari Raja Buleleng Ki Barak Panji Sakti, karena Kedijayaan Penglingsir ring Desa Pait Ati (Menyali) Pasek Menyali yang pada saat itu ikut membantu kapal dagang China Dampu Awang yang kandas di Pantai Penimbangan pada tahun 1640 (sesuai babad Buleleng yang tersimpan di gedong Kirtya Buleleng.
Selain itu, juga memiliki kemong yang berada pada alat gamelan Terompong Jegogan pada paling besar (Bongkol) yang diberi nama Sekar Taji yang merupakan warisan dari Penglingsir Jro Pasek Bulian, Jero Pasek Kubutambahan dan Jero Pasek Menyali. Sedangkan, penghargaan berupa Panji Bendera Saraswati dari Raja Klungkung yang bertahta saat itu, Anak Agung Geg, pada tanggal 10 November 1934. Gong gantung itu selalu dibawa setiap sekaa gong ini pentas. [B/puspa]
keberadaan gong ini dikeramatkan oleh masayarakat Menyali karena disitu ada berkah. Pernah ada kajadian, orang Menyali yang merantau kena musibah. Setelah nunas baos (bertanya pada orang spiritual) meraka harus pulang menjadi sekaa gong. Ada pula yang mepamit keluar dari sekaa gong, lalu sakit. Setelah ngaturang canang, lalu ngayah kembali. “Kegepannya, kami sudah menyiapkan generasi. Kemarin tak bisa berkibar, sekarang tumbuh pesat yang siap membawa tonggak estafet,” ujarnya bangga. [B/puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali