I Ketut Wibawa Berkisah “Wayang Cupak” Dukuh Pulu di PKB XLV

 I Ketut Wibawa Berkisah “Wayang Cupak” Dukuh Pulu di PKB XLV

Jero Dalang I Ketut Wibawa berkisah Wayang Cupak dalam Kriyaloka PKB XLV./Foto: dok.balihbalihan

Ketika terlibat sebagai peserta kriyaloka (lokakarya) Wayang Cupak serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV, banyak yang kaget. Selain ada wayang Parwa (mengisahkan Panca Pandawa) ataupun wayang Ramayana mengisahkan Sang Rama Dewa, ternyata ada Wayang Cupak Dukuh Pulu yang mengisahkan dua tokoh kakak beradik bernama Cupak dan Grantang. Wayang yang terkenal di tahun 60-an itu masih lestari hingga saat ini.

Kepastian lestarinya Wayang Cupak dengan iringan gamelan batel itu disampaikan Dalang Cupak sendiri, yakni I Ketut Wibawa, S.Sn. ketika menjadi narasumber pada acara kriyaloka yang berlangsung di Kalangan Angsoka, Kamis 29 Juni 2023. Dengan gaya seorang dalang, pria tamatan STSI Denpasar, (ISI Denpasar kini) berhasil memikat hati peserta. Materi-materi yang disampaikan tak hanya menuntun, tetapi juga lucu, selayaknya memainkan wayang dibalik kelir.

Mesti tanpa diirngi gamelan juga dibantu ketengkong (orang yang mengambil dan mengatur wayang), namun pria kelahiran, Mambang 8 Juli 1974 ini mampu mengajak peserta ke dalam suasana menjadi dalang. Peserta diajarkan ketawa Cupak yang kuat dan besar. “Saya ingin berbagi pengalaman menjadi seorang dalang, bukan menggurui,” kata Jero Dalang Wibawa kepada para peserta.

Sebagai Dalang Cupak Dukuh Pulu, Wibawa merupakan generasi ke 3, setelah I Wayan Wetra (ayahnya) sebagai generasi ke 2 dan I Mafe Jingga (kakeknya) merupakan generasi ke 1. Pada kesempatan itu, mantan HRM Novotel Bali Benoa ini berbagi mengenai kesenian Wayang Cupak khususnya stiil Desa Dukuh Pulu, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan yang diturunkan oleh leluhurnya. “Wayang Cupak Dukuh Pulu itu terkenal di masa kakek saya sekitar tahun 60-an. Kakek kemudian meninggal karena Gestok 1965,” ungkapnya.

Baca Juga:  Kesadaran Mencintai Alam dalam “Mahasegara Pertiwi”

Jero Dalang Wibawa mengawali kariernya menjadi dalang sejak kecil. Namun, saat itu hanya tertarik dengan seni pewayangan. Sempat diajari oleh ayahnya, namun ia merasa tak serius. Ia lalu menggali ilmu pewayangan hingga kuliah di kampus seni STSI Denpasar memilih Jurusan Pedalangan. Setelah tamat tahun 1998, ia minta petunjuk kepada Bhatara Hyang Guru untuk menjadi seorang dalang. Karena tak ada yang mengundang untuk pentas, makanya ia melamar menjadi pegawai hotel, sebagai Entertainment Manager.

Setelah ayahnya meninggal atau sekitar 23 tahun, Jero Daloang Wibawa baru merasa serius menekuni seni pewayangan. Sebelumnya ia tak pernah konsentrasi ketika dilatih ayahnya memainkan wayang warisan leluhurnya itu. Kebetulan juga Covid-19, sehingga dihadapkan kepada dua pilihan tetap di hotel atau meneruskan profesi leluhur menjadi dalang. “Saya merenung lalu mencari lontar walau itu berbentuk copy. Lontar-lontar dulu dibakar bersama kematian kakek di jaman Gestapu itu,” imbuhnya.

Sebelum melakukan semua itu, ia sendiri mencari mempelajari, siapa Cupak, kenapa di rumahnya ada wayang cupak dan di desanya ada Pura Cupak. Setelah ditelusuri, Cupak berasal dari Majelangu, dan terkait puka ada Jambe Langu yang ada di Bolangan. Jambe Langu, sebuah pura memohon kerahayuan kalau akan mementaskan Wayang Cupak.

Kalau melukat Cupak itu, maka menghidupkan sastra dalam diri. Kalau tidak sesuai, maka kemungkinan sifat Cupak yang jelek itu masuk ke orang yang dilukat itu. “Cupak itu sesungguhnya adalah sifat-sifat dalam diri kita sendiri. Sebab manusia itu tak ada yang bersih, tentunya punya salah, seperti Cupak,” ujarnya.

Jero Dalang I Ketut Wibawa berkisah Wayang Cupak dalam Kriyaloka PKB XLV./Foto: dok.balihbalihan

Dalam lokakarya yang diikuti mahasiswa ISI Denpasar, Universitas PGRI Mahadewa Indonesia, Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Universitas Hindu Indonesia, siswa SMKN 5 Denpasar, siswa SMKN 3 Sukawati Gianyar itu, Jero Dalang Wibawa juga memperkenalkan tembang Cupak yakni Ginada Jambe Negara. Peserta juga diajak matembang tersebut, yang sebelumnya membagikan catatannya.

Para peserta juga diperkenalkan meditasi Cupak. Jeni meditasi, para peserta diajak duduk tenang dan rilek, lalu membayangkan orang yang tidak disukai lalu diberikan senyuman, selanjutnya hirup melalui mulut selanjutnya keluarkan dengan memberi senyuman. “Meditasi ini sederhana, tetapi susah melakulan. Karena setelah ketemu orangnya, kita menyapa orang yang tak disukai,” ujarnya.

Sebagai dalang Cupak harus mampu menyeimbangkan tubuh sendiri. Itu penting dilakukan karena akan melukat orang, sehingga sifat buruk tidak yang masuk ke orang itu. Kalau menari cupak harus balance. “Satu lagi kekhasan Wayang Cupak Dukuh Pulu pada penekaman kata di bagian terakhir. Kalau khas banten harus memakai semat bukan streples. Fungsi semat itu menyatukan buana agung dan alit. Cupak itu simbol rwa bineda,” jelasnya.

Baca Juga:  Ni Wayan Latri Legenda Mantri Manis Arja Keramas

Saat memainkan wayang, ia juga biasa mengudang leak, tetapi untuk nadah (makan) caru. Cupak Dukuh Pulu biasa mengundang leak. Kalau tidak ada suguhan, maka tidak akan mengundang leak. Caru itu ada di perempatan dan di tempat pentas. “Saya membuat tirta penglukatan diawal di pancoran wesi, pancoran tembaga, pancoran slaka, pancoran emas, dan pancoran mancawarna,” kata pembuat Wayang Rare yang pentas di hotel-hotel ini.

Apa yang disampaikan Jero Dalang Wibawa mengundang reaksi dari peserta. Seorang ibu tua menanyakan keterkaitan pengruwatan Sapuleger dengan penglukatan Cupak. Loleng dalang dari Pejeng menanyakan kenapa mengangkat wayang cupak, bagaimana meneruskannya agar wayang ini lestari, kenapa namanya wayang Cupak bukan Gerantang.

Selanjutnya dalang asal Denpasar I Gst Agung Surya Wikrama menanyakan siapa saja orang yang boleh dilukat Cupak, apa saat penglukanan itu ada wayang lain selain Cupak. Semantara Jero Dalang Joniartawan asal Taro Tegalalang nama-nama dari tokoh yang ada dalam pewayangan Cupak, serta apakah akan ada parade atau lomba Wayang Cupak pada PKB berikutnya.

Tim Kurator, Prof. Wayan Dibia mengaku senang dengan Jero Dalang Wibawa yang masih melestarikan wayang Cupak dan mau berbagai hari ini. Prof. Dibia apa yang dipertanyakan para peserta lokakarya itu akan menjadi bahan untuk PKB selanjutnya. Apakah nantinya Wayang Cupak perlu diparadekan atau dilombakan. “Kenapa Wayang Cupak, Karena jalan cerita Cupak itu memiliki dua karakter, yakni antagonis dan protagonis. Cupak menjadi peran sentral, belum lagi warna suara yang dilakukan sangat khas, sehingga bukan disebut Wayang Gerantang,” jawabnya.

Untuk parade Wayang Cupak, mungkin ya dan tidak. Namun, ini akan menjadi catatan Tim Kurator kedepan. “Saya senang, ternyata Wayang Cupak masih ada yang meneruskan. Ini harus terus didorong, sehingga jangan sampai Wayang Cupak meredup. Semoga nantinya Wayang Cupak bisa popular, dan Dalang Cupak bisa naik,” harapnya.

Prof Dibia mengatakan, Wayang Cupak ini ditampilkan untuk memberikan ruang bagi anak-anak muda. Dengan menampilkan dalang Cupak dalam materi PKB. Harapannya banyak yang tertarik dengan Wayang Cupak. “Semoga saja ada parade Wayang Cupak, karena pencinta seni sangat perlu mendapat tontonan dalang Cupak, agar tak terhenti sampai disini saja,” harapnya.

Pihaknya sangat senang dengan antosias masyarakat yang mengikuti lokakarya ini. Ini salah satu seni langka, namun dihadiri banyak dalang muda. Setelah lokakarya ini, nantinya akan ada gagasan dari para peserta setelah mereka pulang. “Saya bertetima kasih pada Dinas Kebudayaan yang madih ingat dengan dalang Cupak Dukuh Pulu. Semoga ini bisa memperkaya dalang yang lain,” harap Wibawa. [B/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post