Gamelan Suling Gita Semara Dari Kegelisahan I Wayan Sudiarsa
Sempat menyaksikan Gamelan Suling Gita Semara? Sanggar seni yang beralamat di Jalan Serongga No. 31 Banjar Tengah Kanginan, Desa Peliatan, ini selalu tampak manis di media social. Orang tidak pernah bosan-bosanya menonton. Olah nada, teknik, perpaduan alat musik, hingga pembagian antara nada dan vocal sangat manis. Antara pemain satu dengan lainnya jugat komonikatif, dan terkesan semua pendukung seniman multi talenta. Pelaku atau penghobi seni memang senang. Bahkan, kehadiran dengan kreativirasnya, menginspirasi banyak orang. Buktinya, tidak sedikit gending-gending khas Gamelan Suling Gita Semara dibawakan oleh sekaa gong suling lain. Sebut saja salah satunya, garapa berjudul “Janger Ngapat”.
I Wayan Sudiarsa composer yang juga Ketua Sanggar Gamelan Suling Gita Semara mengatakan, garapan itu lahir dari kegelisannya sebagai seorang seniman muda. Ketika berstatus menjadi mahasiwa Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, ia selalu gelisah dengan keberadaan barungan gamelan yang tergolong unik itu. Ketika mengawali kuliah, tepatnya pada 2004, ia banyak belajar tentang kesenian Bali, termasuk ragam barungan yang dimiliki masyarakat Bali. Salah satunya, gong suling yang memang selalu memikat hatinya. “Sebelum mengenal instrumennya, saya memang pernah mendengar dan menyaksikan gong suling. Kebetulan sekaa jenis gamelan itu juga ada di daerah saya, yaitu Desa Peliatan,” katanya.
Lalu, terkait Gong Suling, seniman kreatif yang akrab disapa Pacet ini selalu bertanya-tanya, setiap ensemble yang lahir pasti disertai dengan fisik dan non fisik. Fisiknya secara ensemble dan non fisik itu musiknya yang lahir dalam ensemble itu sendiri. Misalnya, gamelan gong kebyar pasti ada barungan gamelan dan ada gending gong kebyar yang ikut lahir. Dalam barungan Semarandhana ada gending Semarandhana, gamelan Selonding ada gending Selonding. Tetapi, gamelan gong suling, barungannya ini ada, tetapi gendingnya selalu meminjam gending dari barungan gamelan lain, seperti dalam gamelan Semarapagulingan.
Hal itulah yang membuat pria kelahiran Gianyar, 2 Juli 1985 itu selalu gelisah dan terketuk hatinya untuk melakukan sesuatu. Barungan gamelan ini sangat bagus, namun tidak dibarengi dengan lahirnya gending khusus yang diciptakan dari barungan itu sendiri. “Saya kemudian mencoba membuat musiknya, seperti pada gamelan suling secara umum. Tetapi, saya focus pada musiknya saja. Saya bersama Gamelan Suling Gita Semara kemudian banyak melahirkan musik-musik bernuansa gamelan gong suling. Lalu memutuskan untuk merekam hingga menjadi satu album. Nah, album itulah yang tersebar. Mungkin itu yang menyebabkan lahirnya komunitas-komunitas gamelan suling diberbagai daerah. Mungkin saja karena adanya gending itu, sekaa itu sudah merasa percaya diri untuk menunjukan jati diri,” paparnya.
Suami Pande Putu Hernawati ini mengaku, sudah biasa menggarap gamelan suling itu sejak SMA, namun setelah kuliah tepatnya setelah mendapatkan wawasan, khususnya pengetahuan tentang seni karawitan itu, ia akhirnya memberanikan diri untuk membuat komunitas atau kelompok suling dan langsung menciptakan lagu atau gendingnya. Hal itu dilakukan secara konsisten, sehingga baru berani menamakan karya itu jenis gamelan gong suling. Suling merupakan satu-satunya alat music yang paling gampang bisa dipakai, dan cukup murah serta bisa dipinjam. Alat musik suling juga bisa dipadukan dengan pendukung alat gamelan lain, seperti kendang, cengceng, dan lainnya. “Setelah merilis karya, Gamelan Suling Gita Semara lalu diundang pentas di Museum Topeng dalam acara Festival Chamber Music. Nah, pada saat itu, kami mulai membuat satu album,” jelasnya.
Menurut Dosen Fakultas Pendidikan Agama dan Seni di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar ini, kesenian Bali itu sebagian besar terkoneksi, dan dalam gong suling sangat besar peluang memasukan instrumen lain. Termasuk juga jenis lagu-lagu lainnya yang dimiliki masyarakat Bali, seperti kecak, genjek, janger dan lainnya. “Untuk gamelan suling yang dipadu dengan kecak dan janger itu sempat viral belakangan ini. Itu, memang kami buat di Penggak Men Mersi pada 2013. Sebenarnya itu garapan tari untuk mewakili Bali tampil di Jakarta dalam rangka Festival Seni Pertunjukan. Agar menjadi lebih menarik maka mengangkat tema “sasih kapat”. Sebab, pada saat sasih kapat itu pertanian dan perkebunan di Bali mulai berbunga dan berbuah. Para petani menari deengan senang gembira,” bebernya.
Jangan salah, dulu seniman Bali itu kebanyakan berprofesi sebagai petani. Maka dalam garapan bertema “sasih ngapat” itu membayangkan kegembiraan dari petani yang memiliki intuisi berkesenian saat melihat kebunnya berbunga dan berbuah, maka dari sana muncul lagu-lagu, seperti genjek, kecak, dan janger. “Jadi itulah tiga unsur kesenian yang kami gabungkan dan membuat garapan baru yang diberi judul “Janger Ngapat”. Waktu itu, koreografernya Wawan Gumiart serta konsepter Guru Anom dan Kadek Wahyudita. Saya yang mengeksekusi komposernya,” kenang seniman yang juga anggota di Penggak Men Mersi.
Dalam festival itu, garapan Janger Ngapat mendapat predikat terbaik, sehingga setelah festival itu kembali berangkat ke Jakarta untuk mengadakan pementasan lagi. Selanjutnya Gita Semara mencari potongan-potongan lagu itu untuk menjadikan garapan dan melakukan rekaman. “Sayang, garapan sebagus itu belum banyak yang mengetahui, sehingga dibangkitkan kembali menjadi satu garapan. Tentu ada penambahan music dan gerak tari. Walau tanpa taripun gending itu juga sangat bagus, karena semua pemain music tampil ekspresif,” ujar composer yang jebolan S2 ISI Solo ini serius.
Garapan itu disambut sangat antosias oleh anak-anak muda, entah dari sekolah, sekaa teruna ataupun komunitas seni. Banyak dari mereka yang menelpon, meminta ijin untuk bisa ditampilkan dalam sebuah acara ulang tahun sekaa teruna, acara sekolah ataupun sebuah konser seni dan acara resepsi pernikahan. Bersamaan dengan itu pula, Sanggar Gita Semara banyak mendapatkan pesanan pentas untuk resepsi pernikahan. Dalam penampilannhya Gita Semara sangat fleksibel yang bisa tampil dengan kru 15 orang atau 35 orang. “Kalau untuk kesemarakan, banyak orang maka menjadi lebih bagus,” ujarnya.
Penggagas Festival Rurung ini menegaskan ini mengaku, Gamelan Suling Gita Semara menciptakan sekitar 25 gending. Album pertama, Oyod Oyod yang belum masuk album namaun keburu viral. Ketika pentas dalam resepsi pernikahan, banyak yang mereka lalu memposting dalam media social. “Kami selalu menjaga kebersamaan diantara anggota Gita Semara. Kami bahkan mempunyai tradisi arisan, kalau ada anggota yang menikah, bisa menarik sekaa untuk memainkan genjek. Kami juga biasa pentas dalam acara resmi, baik ditingkat kabupaten/kota kabupaten ataupun tingkat provinsi,” tutup Pacet akrab. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali