Sandya Gita Smaradahana Kokar Bali Berkisah Batara Gana Raja

 Sandya Gita Smaradahana Kokar Bali Berkisah Batara Gana Raja

Sanggar Kokar Bali persembahkan Sandya Gita Smaradahana dalam Bulan Bahasa Bali VI/Foto: ist.

Setelah Sekretaris Daerah (Sekda) Dewa Made Indra yang didampingi Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Gede Arya Sugiartha menancapkan Wayang Kanda Raja, kisah Sandya Gita Smaradahana pun dimulai. Penonton, terdiam menikmati sajian seni itu.

Sesolahan (seni pertunjukan) yang disajikan Sanggar Seni Kokar Bali SMKN 3 Sukawati itu memadukan seni tradisi dan teknologi modern dengan memanfaatkan elidi. Teknologi ini bukan sebagai tempelan, tetapi digarap menjadi satu kesatuan penyajian seni yang indah.

Penataan suara, gerak tari, musik iringan hingga pola lantai sangat artistik, sehingga menawarkan karya seni yang kharismatik. Musik iringannya menjadi satu kesatuan, walau dikembangkan dengan teknik permainan musik yang baru.

Sandya Gita ini resmi mengawali pelaksanaan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI yang pembukaannya berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provnsi Bali, Kamis 1 Pebruari 2024. Hajatan budaya ini berlangsung sebulan penuh, hingga 2 Maret 2024.

Sajian seni ini berawal dari seorang penari, bahkan lebih tepat dikatakan seorang dalang karena kepiawaiannya memaparkan kisah yang diangkat. Ia matembang, berdialog dan terkadang menterjemahka tembangnya sendiri.

Kisah ini mencerminkan dari tema BBB IV, yakni “Jana Kerthi Dharma Sadhu Nuraga” bermakna BBB merupakan altar pemuliaan Bahasa, Aksara dan Sastra Bali sebagai sumber kebenaran, kebijaksanaan dan cinta kasih untuk memperkuat jati diri krama Bali.

Penari pria itu, kemudian mengambil Wayang Kanda Raja yang telah tertancap, lalu membeberkan kisah dan isi dari sesolahan yang berdurasi sekitar 40 menit itu. Garapan yang didukung oleh 100 siswa Jurusan Tari, Karawitan, Pedalangan dan Musik itu tak hanya indah, tetapi sarat pesan.

Sandya Gita Smaradahana garapan Sanggar Kokar Bali didukung 100 seniman/Foto: ist.

Dalam bahasa kawi, yang terkadang disampaikan juga dalam bahasa Bali Alus, serta dengan gerak tubuh yang lugas, penari pria yang hanya mengenakan kain, saput, selendang dan udeng itu mulai berkisah.

Baca Juga:  Galungan-Kuningan, Tradisi Ngelawang di Desa Adat Tegal, Masih Eksis

Seorang, Raksasa bernama Nila Rudraka yang mendapatkan penganugrahan kesaktian dari Batara Siwa ingin menguasai Indraloka, wilayah para Dewa. Hyang Indra lalu mengutus Batara Smara untuk menggoda Ida Batara Siwa yang sedang melakukan tapa.

Ida Hyang Smara melepas beberapa panah ditujukan kepada Dewa Siwa. Akhirnya, Dewa Siwa ingat, dan kasmaran memadu asmara dengan Batari Uma. Dari pertemuan Dewa Siwa dan Dewi Uma lalu melahirkan putra bernama Batara Gana Raja.

Raksasa Nilarudraka kemudian dapat dikalahkan oleh Batara Gana dengan senjata pasupati berwujud kapak, sehingga dunia kembali cerah dan damai.

Kisah itu kemudian diungkapkan melalui seni gerak di atas panggung. Sebanyak 14 penari wanita didominasi busana hitam dan merah dengan hiasan kepala menggunakan bunga iminasi berpadu dengan bunga hidup.

Mereka menari dengan melantunkan tembang-tembang yang sesuai dengan kisah yang diangkat. Kemudian muncul 10 orang penari pria yang juga menari serta matembang dengan penuh makna.

Mereka menari dan matembang, juga memperhatikan pola lantai yang telah menjadi penataan penyajian. Tembang-tembang yang dibawakan penuh penjiwaan, sehingga jika diresapi dan dirasakan dengan hati, terkadang tak disadari mengeluakan air mata saking terharunya.

Apalagi, tembang-tembang itu dibawakan dengan pembagian suara, seperti suara satu, dua, tiga bahkan lebih, sehingga sanat menarik. Ketika vokal, tembang dengan berbagai karakter itu ditimpali suara gamelan, menjadi sajian yang lebih atrakltif.

Para pengunjung BBB VI yang tidak mengerti dengan arti dan maksud dari pada tembang itu, dipertegas dengan tayangan gambar dibelakang stage melalui alat canggih elidi. Dalam gambar itu, tampak Dewa Siwa yang sedang melakukan tapa.

Gana Raja yang akan mengakhiri kesombongan Raksasa Nila Rudraka dalam kisah Sandya Gita Smaradahana/Foto: ist.

Lalu, muncul penari rakyat yang belajar aksara untuk menciptakan manusia yang unggul. Para penari wanita itu menarikan kipas, yang dibalik kipasnya itu terdapat aksara. Masyarakat ramai-ramai belajar aksara untuk menjadi manusia yang unggul.

Baca Juga:  Festival Nyurat Lontar dan Ngetik Aksara Bali. Ini Ikon Baru Bulan Bahasa Bali ke-5

Pada adegan itu, sang dalang mengajak semua warga untuk belajar sastra. Salah satu adegan yang sangat menarik, ketika sedang ramai-ramainya belajar aksara, ada dua penari yang sedang beraktivitas di sawah yang tampak pada layar elidi itu.

Dua penari itu dipanggil oleh sang dalang, lalu bergegas berjalan lalu meghilang di dalam layar, kemudian muncul di dalam panggung. Adega ini, sungguh menarik, sehingga mendapat sambutan pengunjung BBB itu.

Pada bagian terakhir motif tembang, seperi lagu kekinian. Manis, dan tak terasa asing dalam di telingga penonton. Dengan gerak tari yang penuh ekpresif, mereka melantunkan tembang dengan vokal yang berkualitas.

Gana Raja yang sakti kemudian muncul menari di dalam layar elidi, lalu melompat selanjutnya sudah berada di atas panggung. Tentu, dengan sebuah teknik yang canggih, sehingga garapan ini menjadi lebih mempesona.

Kisah pun dilanjutkan dengan pertempuran antara Gana Raja dan Raksasa Nila Rudraka. Pertempuran ini, tak hanya terjadi di atas panggung, tetapi juga tampak di dalam layar, bahkan perang paduan antara seni tradisi dan teknologi ada di sana.

Gana Raja dan Raksasa Nila Rudraka yang diangkat penari pria, saling adu kesaktian. Mereka saling melempar ilmu. Raksasa Nila Rudraka yang mengeluarkan api, lalu Gana Raja mengeluarkan aksara. Api dan aksara itu tampak saling serang di dalam layar elidi.

Raksasa Nila Rudraka kemudian kalah, dan mati, sehingga masyarakat di dunia menjadi tentram dan sejahtera. Hal itu, kemudian disimbolkan dari berbagai property yang ditarikan oleh para penari itu. Ada yang membawa kisa, kulkul, papah nyuh, dan alat upacara lainnya.

“Proses penggarapannya sedikit mendadak, namun kami tetap menyajikan seni mampu memberikan pesan kepada penonton. Awal Januari baru ada keputusan untuk menentukan Sandyagita Smaradahana ini,” kata Pembina Tari, I Gusti Ngurah Agung Giri Putra didampingi Pembina Tari, Putu Suarsa usai pementasan.

Baca Juga:  200 Barongsai, 200 Wushu, Barong dan Rangda serta Reog Ponorogo Meriahkan Festival Imlek di Jalan Gajah Mada Denpasar

Setelah proses penggarapan, kemudian baru memikirkan elemen-elemen yang dapat mendukung garapan tersebut, sehingga bisa masuk dalam sebuah elidi. Hal ini sangat penting, agar menjadi satu-kesatuan dalam garapan, bukan terkesan tempelan belaka.

“Kami tak hanya menyajikan seni tembang, gerak dan iringannya, tetapi juga mengkemas pesan-pesan moral yang disampaikan kepada penonton. Kalau dalam tembang sudah ada, tetapi perlu juga disampaikan dalam bahasa Bali lumbrah, agar bisa diterima berbagai kalangan,” imbuhnya.

Sebagai pendukung garapan ini, lebih banyak melibatkan siswa kelas II, sehingga lebih mudajh dalam proses penggarapan, Mereka umumnya memiliki dasar seni yang kuat untuk mendukung garapan seni tersebut. Sementara untuk pendukung iringaian tabuhnya lebih banyak melibatkan siswa kelas III.

Dalam garapan ini pembina tembang Wayan Bawa semaksimal mungkin memasukan tembang-tembang yang menarik, disamping sarat pesan. Sebut saja, pemecah suara itu yang menjadi hal penting pula. “Khusus untuk Sandyagita dan penari melibatkan sekitar 45 orang, sehingga keseluruhan garapan ini didukung sekitar 100 orang siswa seni,” ucapnya. [B/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi seni budaya di Bali

Related post