I Wayan Sadu Pamerkan “The Journey” di Santrian Gallery Sanur. Pameran Tunggal Kedua Penuh Kejutan

 I Wayan Sadu Pamerkan “The Journey” di Santrian Gallery Sanur. Pameran Tunggal Kedua Penuh Kejutan

Wayan Sadu didampingi curator Seriyoga Parta menunjuk salah satu karyanya/Foto: ist.

Kegiatan sehari-hari menjadi tema dari karya seni rupa I Wayan Sadu. Sebut saja, kebiasaan bersama keluarga, aktivitas dengan binatang dan tentang penguburan. Suasana kontras dalam perbedaan unsur alam. Misal hijau dan merah, daun pucuk dengan bunganya sangat menarik.

Karya-karya unik Wayan Sadu itu dipamerkan di Santrian Gallery Sanur. Kali ini, Sadu memamerkan sebanyak 18 karya seni lukis dengan berbagai ukuran. Karya lukis itu dibuatnya dari 2018 sampai 2024 dengan media cat minyak dan cat akrilik.

Pameran Tunggal bertajuk “The Journey” (Perjalanan) dibuka oleh Prof. I Wayan Dibia, tokoh besar seni pertunjukan di Bali yang juga memberikan berhatian besar terhadap seni rupa, Jumat 22 Maret 2024. Para seniman, tokoh seni dan pecinta seni hadir manyaksikan.

“Sadu merupakan sosok yang unik. Tutur bahasanya sederhana, namun karya-karyanya penuh dengan kejutan. Bahkan cukup banal,” kata curator pameran Wayan Seriyoga Parta, pria kalem yang selalu aktif mengkurasi pameran seni rupa di berbagai daerah di Indonesia.

Sebelumnya, pada 2007 Sadu telah berpameran tunggal di Santrian Gallery Sanur. Saat itu, memamerkan karya-karya yang sangat istimewa. Pada periode kali ini, karya-karya Sadu ditandai dengan pola-pola komposisi warna-warna kontras. Warna hijau dengan merah, jingga, kuning dan putih.

Kontras yang hadir masih memperlihatkan komposisi yang selaras dalam intensitas hue, kontras yang masih dapat dirasakan harmoni. Aspek yang cukup dominan pada setiap karyanya, yakni kehadiran warna hitam.

“Warna hitam itu, hadir sebagai blok-blok warna menjadi noktah yang memainkan peran komposisi atau sebagai kontur garis-garis dinamis yang penuh spontanitas. Posisi garis menjadi vital dalam menghadirkan objek dan figur,” jelasnya.

I Wayan Sadu Pamerkan “The Journey” di Santrian Gallery Sanur/Foto: ist.

Maka itu, terlihat intensitas yang berbeda dibandingkan dengan karya-karyanya sebelumnya yang tidak mengandalkan kontur garis hitam.

Baca Juga:  “Adi Sewaka Nugraha” Untuk Enam Pengabdi Seni di Bali

“Sadu menempatkan overlapping (tumpang tindih) antara komposisi warna dan tekstur dengan karakteristik bentuk keduanya sama-sama memainkan peran sentral sebagai medium untuk mengungkapkan narasi,” lanjut Seriyoga Parta.

Sadu tumbuh dalam lingkungan pedesaan dengan kehidupan agraris. Kesehariannya, bersentuhan langsung dengan gelombang seni lukis young artist. Itulah yang membawa Sadu pada pilihan berkesenian yang khas.

Sekitar tahun 1988 – 1994 masa SMP hingga menjelang memasuki SMSR, ia juga melukis flora dan fauna di Banjar Kutuh kelod Petulu, pada pamannya. Sadu sosok yang sederhana nan disiplin. Tidak banyak bicara dan selalu tersenyum, namun begitu khusyuk dalam mengeksplorasi karakteristik lukisannya.

Sadu mengenyam pendidikan formal mulai dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), sekarang SMKN 1 Sukawati. Di sekolah seni itu, ia mengenal kaidah-kaidah formal seni rupa. Ketika berlanjut ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), sekarang ISI Denpasar.

“Pengalaman mengenyam pendidikan formal seni rupa menjadi dasar dalam mengembangkan karakter ekspresi personalnya. Sejak awal, Sadu memiliki ketertarikan dengan langgam seni lukis abstraksi berkarakter kubistik,” ujar Seriyoga Parta.

I Wayan Sadu Pamerkan “The Journey” di Santrian Gallery Sanur/Foto: ist.

Sadu begitu piawai memainkan kontras antara komposisi goresan-goresan warna yang berada dalam bentuk atau figur dengan warna latar belakang putih merata (flat). Itu dilakukan tanpa mempertegas bentuk dengan kontur garis (outline).

Hal itu menandakan, pendekatan artistic Sadu memang berada dalam radius tradisi seni lukis (painting). Apalagi, pengalamannya melawat ke Eropa dan Jepang memberikan inspirasi visual dan pengayaan penguatan pada capaian estetik dalam karya-karyanya.

Menariknya, dalam karya-karyanya itu selalu tersisip konten muatan tematik. Sadu tidak membiarkan eksplorasinya hanya berhenti pada capaian artistik. “Sampai saat ini karya saya tidak pernah menjadi total abstrak dan formalistis,” tandas Sadu tersenyum ramah.

Baca Juga:  Pameran Tunggal di Santrian Gallery Sanur, Ngurah Paramartha Sajikan 18 Karya Seni

Tema-tema karyanya tidak jauh dari kehidupan dunia kesehariannya, berasal dari kebiasaan sehari-hari, kehidupan berkeluarga, binatang, hubungan masyarakat. Sadu lahir di Desa Sayan sebelah barat Ubud bertetangga dengan Penestanan.

Sadu menyaksikan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Perubahan dari kehidupan masyarakat yang homogen agraris, perlahan menjadi semakin heterogen. Awalnya mereka hanya berinteraksi antar masyarakat di desa dan desa tetangga, tetapi kemudian mulai berinteraksi dengan orang luar negeri.

Sadu percaya karya-karya ini adalah wahana bagi penjelajahan pikiran dan perasaannya, lalu diekspresikan dengan komposisi warna-warna yang kontras. Emosi tercurah dalam goresan rol-rol warna cat minyak yang menyisakan jejak riak-riak tekstur.

“Masih lekat dalam ingatan, kala itu karya Sadu paling menggugah dengan seri tema tentang anjing. Karakteristik anjingnya begitu khas dengan goresan yang ekspresif, berlatar belakang warna putih bersih,” Owner Santrian Art Gallery, Ida Bagus Gede Agung Sidharta Putra.

Pameran itu begitu berkesan dan karya-karya Sadu mendapat apresiasi yang antusias dari publik lokal dan dari luar negeri. “Kini setelah sekian lama berselang hampir 17 tahun berlalu, Sadu kembali tergerak untuk menggelar pameran tunggal.

Pameran kali ini seakan menghadirkan capaian anyarnya selama masa pandemi Covid-19. “Puluhan karya-karya seri terbaru dihadirkannya di ruang ini. Tentu, publik luas kembali diberikan ruang untuk mengapresiasi karya-karyanya yang penuh kejutan itu,” tutup Gusde sapaan akrabnya. [B/parta]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post