Festival ‘Jaman Baheula’ Pentaskan Wayang Kulit Tanpa Bayang-bayang
Dalang cilik I Putu Agasthya Cahya Artana tampil pada Festival ‘Jaman Bahuela’ di Tukad Bindu/Foto: ist
Udara malam itu mulai terasa dingin. Orang-orang yang datang, justru lebih semangat dibakar api blencong, sumber cahaya sang dalang. Sosok bocah laki-laki, duduk bersila mengenakan busana adat Bali yang terkesan sederhana. Lalu, alunan gamelan tradisional berlaras selendro saling tindih dengan riak air tukad (sungai) yang bertuah itu.
“Tak…., tak…., tak, tak, tak. Suara cepala itu kemudian berbunyi. Gamelan pun “nguncab” (bersuara keras secara bersama-sama). Bocah itu, lalu melantunkan tembang seirama dengan nada gender klasik itu. Kedua tangannya memegang wayang, lalu menarikan dengan sangat indah. Sementara, kaki kanannya menghentak cepala, diakhir bicaranya.
Itulah penampilan dalang cilik I Putu Agasthya Cahya Artana pada Festival Kesenian Nusantara 2024 “Jaman Baheula” di area Tukad Bindu pada Rabu, 24 Juli 2024. Bocah yang masih duduk di bangku SD K Santamaria Kelas V itu memainkan kesenian klasik hingga menggetarkan pohon dan tanman hias yang tumbuh subur di bantaran sungai itu.
Bocah asal Banjar Teges Kaja, Kabupaten Gianyar itu memang masih tergolong anak-anak, tetapi ia mampu menampilkan pementasan wayang sesuai pakemnya. Dalam memaparkan kisah, ia menggunakan bahasa Kawi, Bahasa Bali lumrah terkadang juga bahasa Indonesia, sehingga pesan itu sampai kepada penonton. Pakem-pakem seni pewayangan klasik tampak sangat jelas.
Dalam festival itu, Wayang Kulit Bali menjadi materi pertunjukan yang sifatnya sebagai tontonan, sehingga pada event ini menampilkan wayang tanpa kelir (biasanya disebut wayang lemah). “Maksudnya, agar penonton dapat melihat secara langsung permainan wayang oleh ki Dalang, tidak lagi penonton hanya melihat bayang-bayang,” kata penggagas festival, Argopuro.
Sajian ini mengundang decak kagum, karena dalang cilik ini juga mampu membedakan suara dalam setiap tokoh hingga hentakan cepala yang memberi kode pada iringan baik berhenti ataupun berjalan. Ia juga tampil kreatif, sehingga kesan serius dan adegan lucu menjadi satu. Kedua tangannya bergerak cepat dalam menarikan boneka dua dimensi itu.

Teknik tetekes begitu kental. Mulai dari mengeluarkan wayang, melakonkan (memberi jiwa), cara menaruh wayang, dan cara membalikan wayang menjadi perhitungan, sehingga wayang-wayang itu menjadi lebih tajam dan hidup. Tokoh wayang dimainkan sesuai dengan watak dan karakter tokoh wayang itu, sehingga benda seni dari kulit sapi itu menjadi lebih hidup.
Penonton juga terkesima dengan dalang cilik itu yang mampu membedakan karakter dan suara empat tokoh punakawan itu dengan jelas, sehingga pemaparan cerita menjadi lebih jelas. Meski kecil, namun ia memiliki kelebihan dalam menghaval ceritera lengkap dengan ucapannya dalam durasi waktu panjang. Penonton sungguh terkesima, dan mengatakan ‘igel wayangne wayah”.
Pada kesempatan itu pula, Dalang I Made Sidia menampilkan wayang lemah yang disorot atau ditembak dengan lampu follow spot dari depan bawah ki Dalang. Tepatnya, pada bagian background terdapat layar putih berfungsi memberikan efek cahaya bayangan, permainan dalang.
Hal itu dilakukan, karena namanya wayang lemah semesti dilakukan di pagi atau siang hari, namun ini dipertunjukan pada malam hari maka dirasa perlu ada ada efek kain putih agar terkesan lemah (siang). Menariknya, dalang I Made Sidia terkadang menggunkan bahasa Asing, karena terdapat beberapa turis asing yang datang menonton yang sangat komunikatif.
Argopuro yang didamping Widyadipuro juga penggagas festival itu mengatakan, Festival “Jaman Baheula” ini diprakarsai oleh Sanggar Padma Duta Nusantara bekerjasama dengan Yayasan Tukad Bindu. “Festival ini semata-mata untuk membangkitkan dan menghidupkan aktivitas serta rutinitas berkesenian,” ungkap Argopuro.
Ini penting, karena kesenian tanpa diberikan ajang pementasan lama kelamaan akan punah. “Kami berharap festival ini mampu menggairahkan para seniman tradisi atau kerakyatan untuk tetap mengabdikan seninya agar bersatu padu membesarkan Festival ini secara berkelanjutan,” harapnya.
Festival “Jaman Baheula” 2024 ini diselenggarakan di tempat yang alami di tengah kota Denpasar, yaitu di Bantaran Sungai Tukad Bindu yang penuh pepohonan rindang dan beberapa area yang cukup luas serta memadai melaksanakan event ini. “Ajang ini juga untuk menunjang perekonomian, sehingga melibatkan UMKM dan sebagai sponsor utama Polaris Bali _CNC & Laser Cutting,” ucapnya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali