‘Diorama Puputan Badung’: Karya Marmar Herayukti, Sebuah Pelestarian Budaya dan Sejarah Bali

 ‘Diorama Puputan Badung’: Karya Marmar Herayukti, Sebuah Pelestarian Budaya dan Sejarah Bali

Patung Pahlawan di Lapangan Puputan Badung dilengkapi ‘Diorama Puputan Badung’/Foto: ary

JIKA lewat di Jalan Surapati Denpasar jangan kaget kalau menemukan Patung Pahlawan dengan wajah baru. Patung yang terletak di bagian utara Lapangan Puputan Badung itu, kini menghadap ke utara, dan dilengkapi Diorama Puputan Badung yang menjadi sebuah edukasi.

Diorama yang menjadi bagian dari patung pahlawan yang terletak di titik nol kilometer Kota Provinsi Bali itu merupakan hasil karya Marmar Herayukti. Sang seniman muda Bali itu menorehkan jejak signifikan di dunia seni rupa Indonesia mempersembahakn karya monumental.

Karya bertajuk “Diorama Puputan Badung” itu merupakan reinterpretasi artistik terhadap salah satu peristiwa paling bersejarah dalam sejarah Bali yaitu “Puputan Badung 1906. Patung pahlawan itu karya maestro patung Indonesia Edhi Sunarso (2 Juli 1932 – 4 Januari 2016).

Patung itu menggambarkan kepahlawanan rakyat Bali dalam perang heroik melawan pasukan kolonial Belanda. Patung ini merupakan hasil rancangan tiga insinyur muda yaitu, Ir I Made Gede Sudharsana, almarhum Ir Ibnu Sudiro, dan Ir Widnyana Sudibya pada tahun 1978.

Baca Juga:  Komunitas Aghumi Jelajahi Museum Le Mayeur Melalui Seni Pertunjukan

Karya mereka terpilih sebagai pemenang dalam lomba Monumen Puputan Badung, dan proses pembuatan patung kemudian dilaksanakan pada 1979. Hasil rancangan mereka direalisasikan oleh Edhi Sunarso, seorang maestro patung Indonesia yang karyanya tersebar di seluruh negeri.

Salah satu karya Edhi Sunarso yang terkenal adalah Patung Dirgantara, yang lebih dikenal dengan nama Patung Pancoran di Jakarta. “Patung itu, kini hadir dengan penataan baru menghadap ke Utara, menggantikan posisi sebelumnya yang menghadap ke Selatan,” kata Marmar.

Marmar menjelaskan, perubahan orientasi ini bukan sekadar estetika. Sebuah monumen akan hidup ketika berinteraksi dan mudah diakses publik.

“Daya tariknya harus terpancar ke segala arah, bukan hanya bagi yang berada di areal monumen, tetapi juga bagi mereka yang melintasi kota. Sejarah kota ini harus menggema lebih jauh dan menyentuh lebih dalam,” paparnya.

Baca Juga:  Prof. Bandem : Janger Muncul di Bali Utara, Kemudian Berkembang ke Bali Tengah dan Selatan

Karya Seni yang menghidupkan sejarah

Diorama ini dihadirkan untuk melengkapi patung pahlawan yang sudah ada dan sekaligus memperkaya cara masyarakat mengenang dan merasakan kembali semangat heroik peristiwa Puputan Badung.

Patung Pahlawan di Lapangan Puputan Badung dilengkapi ‘Diorama Puputan Badung’/Foto: ary

Melalui panel logam yang dicor dengan detail presisi, Marmar Herayukti mengubah memori sejarah menjadi narasi visual kontemporer yang memadukan riset sejarah, keterampilan tangan, dan emosi.

Diorama Puputan Badung ini menggambarkan aksi perlawanan tragis, namun penuh kehormatan dari keluarga kerajaan dan rakyat Badung terhadap pasukan kolonial Belanda sebagai perwujudan semangat asyarakat Bali, yakni persatuan, kehormatan, loyalitas dan pengorbanan diri.

Tujuan dan visi 

Jauh melampaui pelestarian budaya dan sejarah Bali, Marmar ingin bertutur melalui diorama ini secara jujur berdasarkan fakta tulisan dan artefak yang ada. Marmar ingin memunculkan detail cerita ke dalam detail tiga dimensi untuk melengkapi potongan sejarah yang telah ada.

Baca Juga:  Koleksi Busana Cakrawala Tampil di Bali-Global Innovative Design Map Exhibition

Selain itu, Marmar Herayukti berharap karya ini dapat membangun fondasi generasi muda untuk meneruskan rasa cinta terhadap sejarah dan identitas budaya Bali.

Keindahan, keteguhan, dan keabadian

Setiap panel diorama dibuat dengan teliti dan sepenuhnya dengan tangan, kemudian dicor dalam logam , proses yang melambangkan keteguhan dan keabadian.

Relief yang dihasilkan menampilkan lapisan adegan konfrontasi, upacara, hingga transendensi, mengajak pemirsa menapaki perjalanan visual yang menjembatani masa lalu dan masa kini.

Monumen ramah disabilitas

Salah satu aspek penting dari penataan baru Monumen Puputan Badung adalah upaya mewujudkannya sebagai ruang sejarah yang inklusif dan ramah disabilitas.

Baca Juga:  Kagum Pada Tenganan Pegringsingan

Monumen kini dilengkapi fasilitas ramp dan guiding block bagi penyandang tunanetra dan tunadaksa, hasil rancangan konseptual Marmar Herayukti.

Menurutnya, penyandang disabilitas berperan sama pentingnya dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan.

“Orang yang tak dapat berjalan pun punya hak menentukan ‘langkah’, dan yang tak melihat tetap memiliki ‘pandangan’. Yang melumpuhkan bukanlah kekurangan fisik, melainkan kelumpuhan semangat,” ujar Marmar Herayukti.

Riset dan autentisitas

Proses kreatif Marmar Herayukti melibatkan pendapat para ahli sejarah, budaya, sastra, arsitektur Bali, serta anggota keluarga Puri.

Baca Juga:  Dua Desainer Studio Marcel Poulain Pelajari Kerajinan Tradisional Bali yang Kaya

Keluarga Edhi Sunarso juga memberikan dukungan melalui informasi yang dibagikan oleh tim pengarsipan mereka, termasuk foto-foto dan arsip penting terkait pembuatan patung pahlawan yang terletak di atas diorama ini

Marmar juga melakukan riset mendalam selama berbulan-bulan, menelusuri lokasi bersejarah, mengumpulkan referensi visual dan geografis dari arsip foto berusia seabad, serta meneliti artefak era Puputan beberapa.

Di antaranya baru-baru ini dikembalikan ke Indonesia oleh pemerintah Belanda dan tersimpan di Musemum Nasional Jakarta.

Perjumpaan dengan benda-benda pusaka tersebut memperkaya detail figur dan adegan dalam diorama, menjadikan karya ini bukan hanya representasi sejarah, tetapi juga penghidupan kembali semangatnya.

Baca Juga:  Parade Lagu Daerah Bali Isian PKB Paling Digemari

Jembatan Antargenerasi

Dibuat dari rasa cinta, gairah terhadap sejarah, dan tanggung jawab untuk melestarikannya. “Diorama Puputan Badung” berdiri sebagai jembatan antargenerasi ,pengingat akan ketangguhan budaya Bali sekaligus persembahan bagi masa depannya.

Narasi per Panel , Diorama Puputan Badung menggambarkan: 

Panel 1

Kerajaan Badung di bawah kekuasaan tri tunggal — Pemecutan, Denpasar, dan Kesiman — muncul sebagai salah satu kerajaan terpandang di Bali, dikenal karena kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan kekuatan militernya.

Panel 2

Rakyat menghadap Raja Denpasar, I Gusti Ngurah Made Agung, untuk menyampaikan keberatan atas tuduhan penjarahan kapal Sri Komala yang terdampar pada 27 Mei 1904 di Pantai Sanur. Mereka bersumpah bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

Baca Juga:  Lomba Bleganjur di PKB ke-47: Garapan Seni Penuh Kreativitas dan Sarat Pesan

Panel 3

Meski mendapat tekanan dari Belanda, sang Raja -yang juga seorang pujangga – tidak bergeming. Rakyat bersatu membela kepatutan. Pada 14 September 1906, invasi militer tak terelakkan; Puri Kesiman pun diserang.

Panel 4

Tembakan meriam menghujani Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Di tengah suasana mencekam, Raja menggelar upacara palebon (kremasi) kakandanya, sebagai pemercikan tirtha pangentas bagi mereka yang siap mapuputan hingga titik darah penghabisan.

Panel 5

Tanggal 20 September 1906, Raja Denpasar beserta pasukan, perempuan, dan anak-anaknya turun ke medan laga. Mereka melempar uang dan perhiasan sambil menyerbu Belanda. Dalam pertempuran sengit, Raja gugur dengan keris Singapraga dan Jalak Kadingding di tangan — menandai runtuhnya Puri Denpasar.

Panel 6

Pasukan Badung menyergap pasukan Belanda di Tukad Badung. Pemimpin Belanda tewas ditikam keris di atas kuda saat menyeberangi sungai .

Baca Juga:  “Gamelan Digital” Lestarikan Seni Dengan Teknologi Solusi Kreativitas Dimasa Pandemi

Panel 7

Sore harinya, Belanda menyerbu Puri Pemecutan. Raja Pemecutan ditandu di atas jempana, diiringi keluarga dan rakyat. Pertempuran sengit menelan banyak korban. Raja gugur dengan gagah, menjunjung “darmaning ksatriya ngukuhin kepatutan” — tugas suci kesatria adalah menegakkan kebenaran.

Panel 8

Puputan berakhir, namun semangatnya abadi. Prinsip “Mati tan Tumut Pejah” — mati di medan perang, tetapi perjuangan tidak mati — menjadi simbol keteguhan jiwa ksatria Bali yang terus hidup lintas zaman. [B/darma]

Related post