Pameran Tunggal di Santrian Gallery Sanur, Ngurah Paramartha Sajikan 18 Karya Seni
Perupa Anak Agung Ngurah Paramartha memajang sejumlah karya seninya di Santrian Gallery Sanur. Pameran tunggal bertajuk “Kadaut” ini menampilkan 15 karya lukisan di atas kanvas dan sebanyak 3 karya patung berbahan fiberglass dan plat logam. Dalam pemeran tunggal yang ketiga kalinya ini, Ngurah Paramartha menyajikan karya lukisan wayang bergaya figuratif naratif. Pameran dibuka Popo Danes, Jumat 7 April dan berlangsung hingga 31 Mei 2023.
Pameran ini diharapkan tidak hanya menghadirkan pengalaman empirik dalam melukis yang begitu Kadaut dengan warna, namun setiap karya yang dihadirkan mampu menghadirkan perasaan Kadaut bagi publik yang mengapresiasi karyanya. “Tema pewayangan sudah ada sejak jaman dulu, sekarang kita pelajari dan teruskan dan lestarikan, agar jangan melenceng dari nilai-nilai yang terkandung dalam wayang itu,” kata Ngurah Paramartha.
Tema Kedaut yang merupakan bahasa Bali yang diartikan sebagai keterpikatan ini digunakannya sebagai gambaran seluruh proses karya seni yang dihasilkannya. Ia seolah-olah tergerakkan sendiri di bawah sadar untuk melukis yang memicu proses lebih lanjut untuk mengolahnya lagi ke proses berikutnya yakni mengonstruksi figur-figur maupun objek yang hadir dalam karyanya.
“Kedaut itu perasaan saya yang terikat dalam menuangkan warna dalam memblok-blokkan ke kanvas, seperti lukisan ini ketika diblok blok muncul gambar garuda,” jelasnya.
Pameran Ngurah Paramartha memang tergolong unik. Ia telah menyajikan gaya melukis dekoratif naif dalam karya-karyanya. Hal itu tampak pada pengungkapan keindahan yang berjenis primitif, liar dan kekanak-kanakan. “Dari style termasuk dekoratif naif, (hal tersebut) menjadi spesial karena ini hanya gayanya Ngurah, riil tidak ada yang lain,” ujar Pengelola Griya Santrian Art Gallery, I Made “Dolar” Astawa.
Penulis pameran, I Made Susanta Dwitanaya memaparkan, membaca proses kreatif dan karya yang dihadirkan oleh Ngurah Paramartha dalam pameran tunggalnya di Santrian Gallery ini, dapat memakai dua sandaran yakni estetika subyektif maupun estetika subyektif sekaligus. Sebagai pelukis, ia menyadari sepenuhnya proses dan pengalaman-pengalaman indrawi dan psikis yang dirasakan dalam kegiatan melukisnya.
Artinya melukis adalah aktivitas yang empirik bagi Ngurah. Lalu hasil dari pengalaman-pengalaman tersebut menubuh dalam fenomena artistik yang terhampar pada selembar kanvas atau pada selembar plat fiber glass dan plat logam sebagai medium karyanya. Ia menyadari sepenuhnya sandaran yang diyakini dan dipakai dalam proses melahirkan karya ini adalah pengalaman-pengalaman empirisnya ketika melukis. Ia mengakui keterpikatan atau yang dalam bahasa Bali disebut “Kadaut” sebagai fenomena perasaan atau kejiwaan yang menggerakannya untuk melukis.
Warna-warna yang saling berkomplementer dan saling tumpang tindih yang la torehkan secara ekspresif dan bebas menjadi pengalaman-pengalaman yang membebaskan baginya. Ia mengaku tak memperhatikan kaidah-kaidah rasio ataupun logika ketika la mulai mengoleskan warna melalui torehan-torehan paletnya.
Ketika proses ini selesai la akan menatap hasil torehan bebasnya tersebut. Tahap menatap ini merupakan momentum kunci dalam proses melukisnya lebih lanjut. Hamparan warna yang tersaji seperti memanggil- manggilnya, seperti memberi daya pikat yang luar biasa imajinasinya pun bergerak seturut memori-memori visual yang pernah la lihat.
Komposisi antara figur dan objek yang disusun sedemikian rupa tentu saja mengandung persepsi dan potensi visual naratif bagi si penikmat karyanya begitupun bagi Ngurah sendiri sebagai pelukis. Lukisan-Lukisannya adalah media bagi Ngurah untuk bercerita tentang berbagai hal.
Kisah-kisah pewayangan yang tertuang dalam dua epos paling terkenal di seluruh dunia dari peradaban Weda, Ramayana dan Mahabarata misalnya dihadirkan Ngurah dalam beberapa karyanya, seperti dalam karya yang berjudul “Facing The Goddes Of Furtune” menggambarkan sosok Dewi Sita dan Rahwana.
Atau kisah kepahlawanan dan pengorbanan Bisma dalam epos Mahabarata Ngurah Gambarkan dalam karya yang berjudul “The End Of A Service” pada dua karya ini kita melihat interpretasi Ngurah atas ikonografi wayang yang secara tradisional memiliki struktur ikonografi atau kerap kali kita sebut sebagai pakem dikembangkan dan dipadukan dengan gaya visual naifis dan hamparan warna-warna yang saling bertumpang tindih pada karyanya.
Pengolahan ikonografi atas figur-figur wayang ini masih bisa kenali sebagai tokoh-tokoh tertentu dari tanda-tanda ikonografis yang masih dipertahankan Ngurah seperti bentuk mahkota, raut wajah dan lain sebagainya.
Selain karya bermediakan kanvas, Ngurah juga menghadirkan karya dengan medium fiber glass dan plat logam. Tak seperti karya lukisan diatas kanvasnya yang cenderung naratif karya-karya Ngurah dengan pilihan medium ini lebih banyak menampilkan objek tunggal, serupa wayang dengan potongan-potongan di tiap figurnya.
Karya-karya ini lebih terbaca sebagai representasi tentang aspek ke-diri-an Ngurah Paramartha sebagai personal. Hal ini misalnya tampak dari dua karya bermaterialkan plat logam yang berjudul “It’s Me” dan “I Don’t Care” yang menggambarkan figure lelaki yang secara gestural sedang berdecak pinggang pada karya “It’s Me” dan lelaki dalam gesture sedang menutup telinga pada karya “I Don’t Care”. Karya ini menunjukkan daya jelajah dan eksperimen material dan medium yang coba Ngurah hadirkan selain seni lukis. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali