Tradisi Mabuug-buugan di Desa Adat Kedonganan. Sebagai Ucapan Terimakasih Kepada Alam dan Bentuk Pembersihan Jasmani Rohani

 Tradisi Mabuug-buugan di Desa Adat Kedonganan. Sebagai Ucapan Terimakasih Kepada Alam dan Bentuk Pembersihan Jasmani Rohani

Meski seluruh badannya penuh dengan lumpur, namun mereka selalu tertawa senang, riang dan penuh gembira. Lumpur yang melekat di badannya bukan sebagai sesuatu yang menjijikan, bahkan mereka sengaja melakukan gerakan yang dapat merasakan halus dan lengketnya lumpur, baik melalui kaki, tangan atau anggota badan lainnya. Beberapa orang dari mereka ada yang seluruh badannya penuh dengan lumpur, sehingga tampak seperti manusia lumpur. Itu dilakukan oleh anak-anak, remaja, hingga orang tua. Duh, senangnya!

Itulah tradisi Mabuug-buugan yang dilaksankan oleh warga Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung pada saat Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi), Jumat 4 Maret 2022. Warga tumpah ruwah mengikuti tradisi tersebut. Mereka benar-benar meluapkan kegembiraan itu setelah dua tahun fakum. “Pelaksanaan mabuug-buugan tahun ini, untuk mengakomodir keinginan para Yowana (pemuda) Desa Kedonganan, yang sudah sangat rindu untuk kembali menggelar kegiatan ini,” kata Bendesa Adat Kedonganan, Dr. Wayan Mertha SE, M.Si disela-sela kegiatan itu.

Mabuug-buugan

Apalagi, tradisi mabuug-buugan ini, telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda secara Nasional, yang dibuktikan dengan perolehan dua sertifikat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2019 dan 2021. Karena pelaksanaanya masih dalam masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), maka seluruh peserta tetap memperhatikan penerapan protokol kesehatan, sesuai imbauan pemerintah. Jika dihitung, ada sekitar 500-600 orang laki-laki dan perempuan, dari kalangan anak-anak, remaja hingga orang tua tampak ceria mengikuti tradisi yang mulai pukul 15.00 Wita dan berakhir pukul 18.30 Wita itu.

Dosen Politeknik Pariwisata Bali ini mengtatakan, mabuug-buugan ini mempunyai arti sebuah interaktivitas dengan menggunakan kata buug (tanah atau lumpur) sebagai media. Sesuai kajian dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, tradisi ini adalah bentuk ucapan syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi sebagai tempat manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak. “Ini sebagai bentuk ucapan syukur serta sebagai visualisasi dari belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan manusia dari kekuatan Bhuta itu sendiri,” ungkapnya.

Baca Juga:  Bendesa Adat Adu Pidarta Berbahasa Bali. Duta Kabupaten Badung Jayanti

Mabuug-buugan

Dalam tradisi mabuug-buugan ini, manusia divisualisasikan dengan balutan tanah atau lumpur sebagai perwujudan dari bhuta atau kekotoran yang melekat pada jiwa manusia. Untuk dapat menghilangkan kekuatan bhuta dalam bhuana alit (badan kasar manusia), manusia memohon kepada kekuatan laut (Segara) sebagai penyempurnaan (Pemarisudha). Tradisi Mabuug-buugan ini sudah menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). “Ini adalah modal bagi kami untuk bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata yang mudah-mudahan saja bisa menarik wisatawan,” harapnya.

Makna mabung-buugan ada dua. Pertama sebagai ucapan terimakasih kepada alam atas kesejahteraan hasil alam baik laut maupun hasil di daratan, lalu makna kedua adalah pembersihan jasmani dan rohani. Karena selama setahun ini pasti kita pernah melakukan hal kurang baik. “Lumuran lumpur atau buug ini sebagai simbol kekotoran dalam tubuh yang perlu dibersihkan,” paparnya.

Tradisi ini dilakukan oleh semua masyarakat desa adat Kedonganan baik pria, wanita, baik dewasa maupun anak-anak. “Ini sebetulnya tradisi yang sudah ada sejak lama. Tahun 2015 ini kembali dibangkitkan dengan menggandeng muda-mudi di Kedonganan untuk membangkitkan tradisi yang satu satunya ada di Bali,” ucapnya.

Tradisi ini diawali dengan berkumpul di Balai desa, kemudian berjalan menuju Pantai Timur Kedonganan. Di depan Pura Dalem, kemudian dilakukan prosesi upacara memohon kepada tuhan agar dilindungi. Pemangku setelah menghaturkan pakeling, lalu memercikan tirta dari pura Kahyangan Desa, agar semua kegiatan bisa berjalan baik dan lancar. Setelah itu, peserta turun ke mangrove dan mulai melumuri tubuh dengan lumpur. Selang beberapa lama, tubuh peserta tertutup lumpur, mereka kemudian kembali ke atas (keluar dariu lumpur) dan menuju pantai barat untuk mandi dengan air laut agar kembali bersih. [B/*]

Related post