Umat Hindu di Bali Mengungkapkan Kasih Sayang Terhadap Tumbuh-tumbuhan dengan Upacara Tumpek Bubuh
Sudah menjadi tradisi, umat Hindu di Bali menggelar upacara Tumpek Wariga atau juga disebut Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag dan Tumpek Pengarah sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Hari suci itu memang memiliki banyak sebutan memang, tetapi memiliki tujuan sama.
Upacara Tumpek Bubuh ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Saniscara Kliwon Wuku Wariga, Sabtu 3 Pebruari 2024 atau dua puluh lima sebelum Hari Raya Galungan.
Melalui upacara ini, masyarakat Hindu di Bali mengungkapkan kasih sayang terhadap tumbuhan.
Pada saat upacara tersebut, dalam mantranya umat Hindu juga mengumandangkan pantun penuh symbol. “Dadong-dadong, I Kaki dija, I Kaki jumah, I Kaki gelem, malig selai lemeng Galunganne. Mabuah apang nged…, nged…, nged…”
“Pada saat upacara Tumpek Bubuh itu, warga Hindu mulai diingatkan bahwa hari raya Galungan sudah datang,” papar kata Prof. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par., Sabtu 3 Januari 2024.
Hal tersebut ditandai dengan menghaturkan banten bubuh sebagai harapan pohon-pohon itu semua berbuah yang nantinya dapat dijadikan sarana persembahan. I Kaki itu sebagai simbul Sang Hyang Widhi dan I Dadong itu simbol diri manusia.
I Kaki sebagai simbol Tuhan, dan I Dadong simbol manusia, dan dalam filosofinya I Kaki adalah niskala (alam tak nyata) dan I Dadong itu sekala (alam nyata), sebagai lambang langit dan bumi, sehingga dapat menciptakan keseimbangan yang dapat membuat kehidupan menjadi harmonis.
Dalam upacara Tumpek Bubuh, masyarakat Hindu mempersembahkan sesuatu agar Tuhan dalam manivestasi sebagai Sang Hyang Sangkara, sehingga memberikan kemakmuran lewat pohon-pohon yang nantinya diperlukan sebagai sarana upacara.
“Pohon sebagai I Kaki merupakan ciptaan Tuhan. Saat upacara itu, yang dipuja bukan pohonya, melainkan Tuhan, Sanghyang Widi dalam kontek memberikan kemakmuran melalui tumbuh-tumbuhan itu,” jelas Guru Besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa ini.
Pada saat upacara Tumpek Bubuh biasanya menghaturkan lima jenis bubuh (bubur). Dalam Tutur Lontar Bhagawan Agastyaprana, kelima jenis bubuh tersebut yakni pertama bubuh beras putih dihaturkan kepada tumbuh-tumbuhan penghasil umbi-umbian.
Bubuh beras merah dihaturkan kepada tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan biji-bijan. Ketiga yakni bubuh sumsum hijau (kayu sugih) dihaturkan kepada pepohonan yang berbuah melalui penyerbukan bunga putik.
Bubuh ketan (warna kuning) dihaturkan kepada pepohonan yang berbuah pada batang. Lalu, Bubuh beras injin (beras hitam) dihaturkan kepada tumbuh-tumbuhan dan tanaman hias yang menghasilkan bunga, daun warna-warni, atau minyak harum.
Dalam upacara Tumpek Bubuh itu mesti menghaturkan bubuh, karena bubuh dalam kontek hidup sebagai sekala sebagai manusia ukurannya. I kaki (kakek) yang sudah tua perlu dikasi makanan yang lembek.
Sedangkan dalam kontek niskala, kalau ingin menjadikan tumbuh-tumbuhan itu bagus, jangan memberikan hal hal yang tidak bisa dicerna oleh bumi. Misalnya memberikan sampah. apalagi sampah plastic yang sudah pasti akan menggangu proses pertumbuhannya.
Di samping itu, agar mudah dicerna dan sebagai simbol pupuk yang baik. Pupuk yang baik dalam kontek intelektualitas adalah kecerdasan, spiritual adalah pengetahuan yang bagus, baik tentang kehidupan manusia.
“Di sana ada pendidikan tentang lingkungan hidup, dan hidup yang ramah lingkungan. Selama ini, manusia hanya suka membangun beton, sehingga semua menjadi keras. Itu sesungguhnya keliru, karena dapat menyebabkan tumbuhan tidak mendapat makanan yang bagus,” ujarnya.
Semua tumbuh-tumbuhan itu bermanfaat. Setiap tumbuhan yang ditanam memberikan manfaat dalam kehidupan. Daun daunnya, bunganya untuk upacara, kulitnya ada untuk obat dan paling tidak memberikan O2 untuk kehidupan di dunia.
Pantangan pada hari raya itu, jangan menebang pohon pada saat tumpek, jangan menyakiti. Kalau dalam kearipan local Bali, hal itu dimaknai sebagai hari otonan “hari kasih sayang” terhadap lingkungan. Upacara ini, sebaiknya dilakukan pagi hari di saat matahari bersinar.
Lantas, kenapa ada jarak antara Tumpek Bubuh dan Galungan? “Itu, karena mengandung makna manusia harus mau belajar berproses. Kemenangan itu tidak akan mau datang sendiri, kalau tidak diperjuangkan. Di sanalah ada proses,” jawabnya.
Pada upcara tersebut, masyarakat Hindu juga melakukan sembahyang, di pelinggih. Leluhur masyarakat di Bali, lanjut Prof. Sumadi, tidak mempunyai faham yang pragmatis. Artinya, hasilnya selalu bagian dari sebuah proses. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali