I Wayan Suweca Seniman Karawitan Pencetus Penabuh Wanita dan Penggagas Lomba Gender Wayang
Dalam dunia seni karawitan Bali, nama I Wayan Suweca sudah tidak asing lagi. Sosok seniman asal Banjar Kayumas Denpasar ini memiliki peran penting dalam pelestarian seni budaya, khsusunya dibidang gamelan. Ia sebagai penggagas lomba gender wayang yang kini menjadi materi dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB). Ia juga menawarkan ide membentuk penabuh wanita yang konon terinspirasi setelah ia ikut mendirikan Sekaa Gong Sekar Jaya di California Amerika. Disamping itu, Suweca juga mengawali lomba mekendang tunggal yang kini menjadi treen bagi kalangan seniman muda.
Karena itu, kegigihannya dalam melestarikan dan mengambangkan kesenian Bali khususnya dalam seni karawitan, ia diberikan penghargaan “Kerti Budaya” dari Walikota Denpasar pada tahun 2014, menerima penghargaan “Pengabdi Seni” pada pelaksanaan PKB ke-39 tahun 2017 dan menerima piagam Dharma Kusuma dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali tahun 2019. Penghargaan seni ini diberikan khusus kepada orang yang berhasil melestarikan kesenian Bali, melakukan pembinaan dan mengembangkan dengan berbagai kreativitas mencipta seni baru.
Pria kelahiran, Denpasar, 31 Desember 1948 ini memang sangat dekat dengan gamelan Bali. Umur tujuh tahun, ia sudah belajar memainkan gamelan gender wayang. Maklum, ia lahir dalam keluarga seni, sehingga dalam kesehariannya selalu disibukan dengan berlatih megamel. Bisa dibilang kegiatan memainkan gamelan sebagai bagian dari aktivitas bermain dalam kesehariannya. Walau demikian, ia bersama anak-anak lainnya juga biasa jalan-jalan ke Pantai Sanur, mandi di Dam Oongan, dan menikmati udara segar di sawah.
Setelah tumbuh dan saat itu duduk dibangku sekolah kelas III Sekolah Dasar (SD), pria asal Banjar Kayumas Denpasar ini dipercaya sebagai penabuh “pengengsub” (penabuh cadangan). Kalau ayahnya Alm. I Wayan Konolan alias Pan Weca melatih gender wayang, ia pasti ikut. Kebiasaan itu dilakukan terus menerus, sehingga hal itu mempengaruhi jiwanya dalam mepelajari gending-gending gender. Sebagai anak kreatif, Suweca tidak lagi minta uang jajan dari orang tuanya, karena ia sudah memiliki biaya sekolah dari kegiatan seni megamel.
Kelebihan dari Suami Alm. Ni Ketut Suryani ini, yakni memiliki kepiawaian dalam pelajaran berhitung, sehingga setelah tamat SD melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Saat itu, ia tak ingin menjadi guru ataupun dosen, karena sudah menentukan pilihan menjadi pengusaha, orang yang piawai dalam berjualan. “Jujur, saat itu, belum ada yang menghargai seni, sehingga pilihan untuk menjadi pelaku seni ataupun guru seni sama sekali tidak terpikirkan,” katanya.
Walau demikian, kegiatan pentas mengamel tetap dilakoninya. Ia dipercaya sebagai penabuh gender wayang mengiringi pementasan Dalang Alm. Ida Bagus Ngurah Buduk. Disamping itu, juga bergabung dengan Sekaa Gender Wayang Banjar Kayumas yang anggotanya adalah keluarganya sendiri, ayah, paman dan kakeknya. Mengiringi pertunjukan wayang dilakukan hingga menjadi siswa SMEP. “Jujur, walau sering sibuk megender dan jarang belajar, itu tak membuat pelajaran tertinggal. Justru terbalik, semakin sering melakoni seni, justru pelajaran semakin bagus, daya ingat semakin kuat,” ungkapnya.
Saat itu, ia bercita-cita menjadi pengusaha dan bekerja di Bank, sehingga bisa memkbantu ekonomi keluarga. Maka itu, setelah tamat SMEP, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA). Walau memilih sekolah ekonomi, namun kegiatan berkesenian masih bisa ia lakukan dengan baik. Wayan Suweca kemudian Akademi Pariwisata dan Perhotelan Denpasar (APBD), setelah tamat SMEA. Namun, untuk mengisi ilmu, ia justru melanjutkan ke Akademi Seni Tari Indonesia yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar mulai tahun 1969 angkatan ke 3. “Itu, memang beda jurusan. Saya memilih kampus ini dengan harapan bisa sambil mencari nafkah untuk membantu perekonomian keluarga,” akunya.
Di kampus seni itu, ayah dari Ni Putu Hartini, S.Sn., M.Sn, Ni Made Haryati, S.Sn., M.Sn, dan I Nyoman Gede Haryana, S.Sn, M.Sn ini kurang menguasai seni tari, namun kalau urusan megamel pasti oke, dan selalu bisa. Dasar memainkan gamelan sudah terasah sejak kecil, sehingga ketika menjadi mahasiswa ia sering didapuk sebagai pelatih teman-teman seangkatannya. Tanpa disadarinya, ia akhirnya jatuh cinta dengan gamelan Bali, bahkan menjadikan seni karawitan sebagai dunia hidupnya. Ia sempat belajar dari I Wayan Sinti sesepuh Kokar. Teman-teman seangkatannya, seperti Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST, MA, Dr. Swasti Widjaya Bandem.
Kecintaanya terhadap kesenian Bali, khususnya dibidang karawitan semakin tinggi, sehingga ia sempat belajar dengan sesepuh Wayan Beratha, Nyoman Rembang, A.A Gede Mandera, Wayan konolan, I Gusti Putu Geria, Guru Gede Manik asal Buleleng dan sesepuh lainnya. Mulai saat itu, kepiawaiannya dalam memainkan gamelan semakin gemilang. Ia kemudian dipercaya sebagai duta seni ke luar negeri. Walau masih berstatus menjadi mahasiswa, ia didapuk menjadi guru honorer gender wayang menggantikan Nyoman Sumandi di Kokar 1972.
Pria yang tinggal di Jalan Noja Saraswati No 9 Kesiman Petilan Denpasar itu juga mengajar orang asing di luar negeri khusus memainkan gamelan, seperti gender wayang. Mahasiswa disana sangat antusias mempelajari kesenian Bali. Suatu ketika, ia mendengar mahasiswa memainkan gamelan gender wayang yang manis dan menyejukan, namanya gending “Merak Angelo”. Ia lantas mempelajari gending gender wayang itu bersama mahasiswa di Center for World Music Berkeley California Amerika, sekitar tahun 1975.
Pada tahun itu juga, ia kemudian mendapat udangan mengajar gamelan Bali di Center for World Music Berkeley Calipornia Amerika Serikat dalam rangka program musim panas pimpinan Dr. Robert Brown. Disamping mengajar gamelan Semara Pagulingan, juga belajar gending-gending gender wayang yang diajarkan Nyoman Sumandi pada mahasiswanya, yakni Gending Merak Angelo stail Desa Tunjuk, Kabupaten Tabanan. Saat libur, ia pun pulang ke Bali dan mengajar megamel pada anak-anak desa yang belajar di rumahnya.
Suatau ketika, ia mengajarkan Gending Merak Angelo yang dipelajarinya di Amerika kepada anak-anak yang belajar megamel di rumahnya itu. Lalu, ayahnya, yakni I Wayan Konolan mendengarnya. Ayahnya sangat tertarik dengan gending itu. Saat itu, ayahnya bekerja di Keluarga Kesemian Bali (KKB) Radio Republik Indonesia (RRI) Denpasar sebagi koordinator. Kebetulan, ayahynya ditugasi oleh pimpinan RRI untuk mencari gending gender wayang yang cocok dan pas untuk mengiringi Mantra Tri Sandya yang bakal disiarkan RRI tiga kali dalam sehari. “Ayah kemudian memakai Gending Merak Angelo itu, namun dikombinasikan dengan gending Kayu Mas, sehingga lebih menarik,” sebutnya.
I Wayan Suweca hampir tujuh tahun mengajar di Amerika Serikat. Ia giat mengajar mahasiswa disana memainkan gamelan, baik itu kepada penabuh laki-laki ataupun perempuan, karena disana laki dan perempuan sama saja. Saat itu, ia sempat heran dan tak habis pikir di Amerika laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memainkan gamelan secara baik. Pengalaman unik itu, kemudian menjadi inspirasi untuk mencoba membentuk sekaa gong yang pemainnya merupakan para wanita Bali.
Suweca kemudian mengawali membentuk sekaa gong wanita di Kota Denpasar tepatnya, di Jalan Hayam Wuruk No. 4 Banjar Kayumas, Denpasar. Pada tahun 1981 akhir, ia bersama adiknya Ni Ketut Suryatini yang saat itu sebagai mahasiswa membentuk Sekaa Gong Wanita di Kota Denpasar. Suryatini bertugas mengumpulkan teman-teman, baik itu yang masih berstatus sebagai mahasiswa ASTI Denpasar, guru Kokar, dan siswa Kokar untuk bergabung dalam grup sekaa gong itu. Usaha yang dilakukan itu berbuah manis, sekaa gong wanita akhirnya terbentuk, dan yang menjadi salah satu anggota yaitu Ni Ketut Arini dan Desak Suarti Laksmi. Saat itu, memakai gong milik sendiri yang ada di tumahnya.
Sekaa gong wanita itu bernama Puspa Sari yang akhirnya diberikan kesempatan pentas dalam ajang PKB tahun 1982, dan ditayangkan TVRI Denpasar. Sekaa gong wanita kemudian dilanjutkan oleh Ni Ketut Arini dengan lokasi di Banjar Lebah. Selanjutnya berkembang dan terus bermunculan gamelan yang dimainkan oleh penabuh wanita. Apalagi itu, berkali-kali ditayangkan di TVRI, sehingga tunbuh juga sekaa gong wanita di tempat lain. Kemunculan sekaa gong wanita semakin bersinar, setelah grup Sekarjaya pentas di Bali pada 1985. “Inilah yang menguatkan keberadaan penabuh wanita itu. Melihat orang asing bisa memainkan gong kebyar, kenapa orang Bali tidak?” kenangnya.
Setelah datang dari Amerika, Suweca lalu diangkat menjadi Dosen ASTI Denpasar pada1984. Hal tersebut menambah semangatnya mengembangkan penabuh wanita itu, sehingga semangat membentuk penabuh wanita semakin terbuka. Suweca mengakui, sebelumnya sulit mengajar wanita memainkan gamelan, tetapi Grup Sekar Jaya menginspirasi kaum wanita untuk meningkatkan kebiasan menabuh, maka terbentuklah grup-grup dikabupaten mengadakan festival untuk mengadu kepiawaian memainkan gamelan di tingkat Provinsi Bali melalui ajang PKB.
Sebelum itu, Ibu Bintang Puspayoga menggagas dan membangkitkan penabuh wanita denga menggelar festival, dan setiap tahun berkembang hingga muncul penabuh remaja. Setelah itu diundang sebagai pembina gamelan sekaligus belajar, seperti ke Jepang, Amerikan, India, Kanada, dan Australia.
Pensiunan Dosen ISI Denpasar 2013 ini, sekarang secara aktif memgembangkam meningkatkan kemampuan anak-anak dalam memainkan gender wayang. Mengajar masyarakat Bali atau orang asing. “Dulu, saya sempat berpikir gending-gending gender wayang itu akan pernah, karena dianggap susah dalam memainkan, tekniknya sulit dan susah dipelajari. Tetapi, ternyata gender wayang itu bisa bangkit kembali bukan saja terhadap orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang sangat bergaerah memainkan gender wayang,” ujarnya.
Suweca kemudian menggagas rekaman Gender Wayang volume 1 dan 2 tahun 1985. Ternyata, rekaman gender wayang gaya Kayumas mendapat sambutan dari pengemar gender yang haus akan permainan itu. Banyak yang mempelajari dari kaset, yang dulunya memang tidak ada. Atas inisiatif Dinas Kebudayaan (Disbud) menghubungi Suweca untuk menggagas lomba gender wayang dalam Pekan Seni Remaja Kota Denpasar khusus untuk pelajar pada tahun 2005. Pada saat itu Gending Merak Angelo sering dipentaskan sebagai pokok dengan gineman bebas.
Mula-mula bekembang di Denpasar, lalu ke kabupaten lain, sehingga dijadikan materi lomba di ajang PKB. Itu ide salah satu staff yang memasukan gender wayang sebagai materi pada lomba PBK mulai tahun 2013. Begitu juga lomba makendang tunggal. “Gender wayang itu banyak memiliki nilai positif, seperti mencerdaskan, sebagai terapi kesembuhan, sosial, menumbuhkan rasa percaya diri, belajar sabaar, dan disiplin,” jelasnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali