Pentas Wayang Cenk Blonk; Kupas Kualitas SDM Melalui Kisah Dharma Wangsa Wijaya

 Pentas Wayang Cenk Blonk; Kupas Kualitas SDM Melalui Kisah Dharma Wangsa Wijaya

Sesolahan Wayang Cenk Blonk berjudul Dharma Wangsa Wijaya meriahkan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI/Foto: ist.

Suasana malam itu terasa tenang. Hanya obrolan orang-orang yang terkadang sedikit riuh ditimpali hembusan angin menyejukan hati. Sementara di depannya, kelir putih bersih panjang terdiam dengan memantulkan sinar lampu putih kekuning-kuningan.

Gamelan itu “ngebyar”, orang-orang yang tadinya asyik ngobrol tiba-tiba terkejut. Mereka kemudian saling mentertawakan dirinya sendiri. Padahal, belum ada kisah dalam kelir putih itu, namun penonton sudah tertawa. Itu memang biasa terjadi di awal seni pertunjukan Cenk Blonk.

Termasuk dalam pertunjukan Wayang Cenk Blonk yang bertajuk “Sesolahan” (Panggung Apresiasi Seni Sastra) serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI ini. Wayang itu tampil di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu 10 Pebruari 2024.

Kali itu, Jero Dalang I Wayan Nardayana mengangkat judul Dharma Wangsa Wijaya yang berupaya menterjemahkan tema BBB VI “Jana Kerthi Dharma Sadhu Nuraga” ke dalam sesolahan wayang kulit inovatif. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi kunci.

Sesolahan Wayang Kulit Cenk Blonk sesungguhnya dijadwalkan mulai pukul 20.00 Wita, namun baru bisa dimulai pada pukul 21.05 Wita karena lalulintas macet di Jalan Gatot Subroto, sehingga menghambat lancarnya pertunjukan itu. Penonton masih setia menunggu dari sore.

Setelah suara gamelan dimulai, lalu setelah epanggel (1 bagian) gamelan pelan, tembang pun mulai dilantunkan oleh para gerong (orang yang bertugas melantunkan tembang-tembang klasik). Berpadu dengan suara gamelan yang didominasi suara suling dan rebab.

Sesolahan Wayang Cenk Blonk berjudul Dharma Wangsa Wijaya meriahkan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI/Foto: ist.

Ketika Cempala, alat yang digunakan untuk memukul Gedogan (peti wayang kulit) dengan suara “tak.., tak.., tak..” Wayang Kayonanan pun ditarikan. Wayang itu berbentuk seperti gunung menari-nari sambil Jero Dalang membeberkan kisah yang akan disajikan melalui bahasa Kawi.

Melodi gamelan semakin halus, lalu dalam kelir sisi kanan muncul Tokoh Dharma Wangsa lalu disusul Kresna. Kedua tokoh ini ditarikan dengan manis. Dua punakawan Tualen dan Merdah yang muncul belakangan, menterjemahkan pembicaraa kedua raja itu ke dalam bahasa Bali lumrah.

Hal itu dilakukan dalang, agar isi dan pesan peertunjukan itu bisa dimengerti oleh para penonton. Tualen mengartikan kalimat Dharma Wangsa, sementara Merdah mengartikan Kresna. Mereka memaparkan keadaan perang Bharatayuddha di Kurukshetra yang telah banyak menelan korban.

Baca Juga:  "Krama Istri" Nyatwa di Gedung Ksirarnawa

Lalu, untuk perang besok atas nasehat Kresna, mempersiapkan Nakula sebagai senapati (panglima perang) menghadapi Salya yang telah ditetapkan Duryadana sebagai senapati di pihak Korawa. Dharma Wangsa kemudian membujuk Kresna agar pulang ke Dwarawati, kerajaannya.

Hal itu dilakukan, karena kegelisahannya yang tidak akan mampu mengalahkan Salya yang memiliki kesaktian. Dengan penganugrahan Dewa Ludra yang dimiliki Salya, maka diyakini Salya akan memporakporandakan pasukan Pandawa. Semua pandawa akan gugur.

Pembicaraan keduanya kemudian dihentikan, dengan adanya seseorang yang menuju ke arah tempat pembicaraan itu. Punakawan Tualen dan Merdah kemudian menyambutnya untuk memastikan siapa sesungguhnya yang datang itu, serta apa tujuannya.

Sesolahan Wayang Cenk Blonk berjudul Dharma Wangsa Wijaya meriahkan Bulan Bahasa Bali (BBB) VI/Foto: ist.

Dalam adegan itulah Jero Dalang memasukan adegan lucu. Malen dan Merdah megegonjakan yang diawali dari keakraban pertemanan bahkan persaudaraan Dharma Wangsa Kresna. Ia kemudian menyindir, bukan seperti persahabatan para pemimpin di jaman ini yang memiliki kepentingan pribadi.

Di singgung pula, ketika menjabat semua datang dan mengaku bersahabat, tetapi berbeda setelah jabatan itu hilang, semuanya akan menjauh. Tualen kemudian mengingatkan untuk mencari “kesugihan” (kekayaan) itu dengan cara yang halal agar menjadi langgeng.

Tualen juga mengingatkan orang hidup untuk meyasa kerti menjalani hidup dengan sepenuh hati. Maka itu, dalam menjalani hidup ini untuk belajar mati, agar selalu berbuat baik untuk diri-sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan. Maka ketika mati, nama baik itu akan selalu dikenang, sehingga menjadi hidup.

Tualen kemudian mengajak Merdah mendekati orang yang datang itu, ternyata Nakula. Ia lalu menghadap kakaknya Dharma Wangsa, dengan mengatakan bahwa dirinya sudah bertemu Paman Salya. Kisah pertemuannya secara sembunyi-sembunyi dengan Paman Salya dibebernya.

Pesan dari Salya itu, besok Pandawa akan menang dalam perang asalkan Dharma Wangsa yang menjadi senapati dengan membawa senjata Kalimasada. Dharma Wangsa menyambutnya. Cahaya kelur kemudian berubah, gamelan keras lalu dua kayonan memaparkan kisah berikutnya.

Dikisahkan di tempat Korawa, para raksasa bertugas menjaga tempat Salya agar keesokan harinya selamat dalam bertempur. Kemudian, punakawan Dekem dan Sangut keluar dan menari penuh riang. Delem menyanyik dengan naga besar dan keras.

Sangut melantunkan tembang berbahasa Indonesia tentang kisah reformasi yang kini mewarnai medos. Masih adanya kasus koeupsi, para elit suka bersandiwara, dan harga barang yang telah naik, Ketika ada penonton yang tertawa, Sangut merespon, sehingga pertunjukan menjadi komunikatif.

Baca Juga:  Remaja Bali “Debat Mabasa Bali” Duta Klungkung, Badung dan Buleleng Juara

Dikisahkan kemudian Diah Satyawati, isteri Salya itu menangis karena mendengar pembicaraan suaminya dengan ponakannya Nakula. Satyawati tak mau ditinggal Salya, sehingga berusaha agar suaminya batal bertempur di medan Kurukshetra. Salya kemudian menghibuir Satyawati agar tidak bersedih.

Dalam suasana sedih itu, Sangut kemudianmegegonjakan dengan Blong untuk menyegarkan suasana kembali. Mereka membicarakan kenapa orang-orang itu saling berperang. Disinggung pula perang Rusia dan Ukraine serta perang Israel dan Palestina.

Mereka kemudian menyimpulkan, bahwa manusia sebagai mahluk paling sempurna karena memiliki Tri Premana, yakni Bayu, Sabda dan Idep justru yang sering melanggar aturan. Mereka tidak bisa membawa Tri Premana dengan baik, sehingga perang terjadi, dan dunia kacau.

Gegonjakan tersebut juga dilakukan oleh Ceng dan Blong yang kelar di tengah-tengah sengitnya pertempuran antara Pandawa dan Korawa. Ceng mengatakan, Pandawa Sakti itu karena dekat dengan Dewa (Tuhan), sementara Korawa justru menjauhi Tuhan.

Belum selesai gegonjakannya itu, pertempuran terjadi dengan sengitnya. Salya kemudian berubah wujud menjadi Ludra Murti, raksasa yang memiliki kepala banyak. Lalu, Dharma Wangsa memanahnya dengan senjata Kalimasada.

Salya akhirnya wafat ditembus panah Dharma Wangsa. Sementara, Satyawati yang datang dengan menangis, lalu “mesatya” bunuh diri dihadapan Salya. Sangt yang ada dalam kejadian itu, kemudian ngaturang Pengaksama. Pertunjukan pun berakhir.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang memberikan kesempatan untuk tampil dalam acara Bulan Bahasa Bali VI tahun 2024 ini. Melalui pertunjukan Wayang Bali ini, kami berharap Bahasa, Aksara dan Sastra Bali tak punah di Bali,” ucap Jero Dalang Nardayana.

Bahasa, Aksara dan Sastra Bali itu merupakan identitas sebagai orang Bali. Maka, melalui pertunjukan wayang ini yang sebagian besar menggunakan bahasa Bali akan dapat menjadi pembelajaran bagi anak-anak muda agar bisa lebih memahami budaya warisan leluhurnya sendiri.

Karena sudah mengetahui tidak semua dari audien yang mengetahui bahasa Bali, maka dalam pertunjukan wayang ini disisipkan dengan bahasa Indonesia, dan terkadang bahasa Inggris sebagai bentuk sajian yang mengikuti perkembangan jaman.

Baca Juga:  Keren….! Menulis Aksara Bali di Facebook dan Instagram

“Hal ini betujuan untuk menciptakan pertunjukan yang lebih komunikatif. Setidaknya, dapat membimbing mereka untuk mengertri tentang bahasa itu sendiri. Kalau semua mamakai bahasa Bali, kami yakin tak semua penonton itu mengerti,” ujarnya serius.

Hal tersebut juga sebagai cara untuk memperkaya pertunjukan itu. Dengan demikian, masyarakat Bali akan lebih mencintai bahasanya sendiri. Tidak malu berbahasa Bali, karena itulah identitas, dan itulah ciri sebagai orang Bali.

Jana Kerthi itu kualitas SDM yang digambarkan pada tokoh Dhatma Wangsa. Kalau tidak memiliki SDM tinggi, Dharma Wangsa tidak akan mungkin mengalahkan Pemurtian Ludra. Kekuatan Salya akhirnya tak berdaya dihadapan senjata Kalimasada milik Dharma Wangsa.

“Dalam hidup ini, ada suka yakni kebahagiaan dan ada duka yaitu penderitaan. Hanya orang orang yang kuat, memiliki mental, pengetahuan, serta pribadi yang kuat yang akan bisa dan mampu lolos dari suka dan duka kehidupan ini,” jelas Nardayana.

Itu artinya, agar bisa melewati kehidupan ini harus terus mengisi diri dengan pengetahuan dan kepribadian. Karena hidup ini pasti berisi suka dan duka yang tak akan luput pula dengan rintangan dan hambatan. Semua itu, bagian dari pembelajaran agar lebih berkualitas.

“Dalam hal ini, bukan membicarakan tujuan, tetapi perjalanan proses ini yang dibicarakan. Kalau proses perjalanan itu sudah bagus, maka pasti hasilnmya akan lebih baik. Penting kita mencari tujuan itu, tetapi jangan memikirkan itu saja tanpa menikmati prosesnya,” ingat Jero Dalang.

“Kadang-kadang proses ini tidak dinikmati, maka gol kita tidak akan bisa didapat. Maka ada dua hal yang rugi. Pertama perjalanan tidak kita nikmati, kedua gol tidak kita dapati. Maka itu, nikmatilah perjalanan suka dan duka itu, agar gol bisa didapat,” ucapnya.

Kalau suka duka itu sudah dinikmati, maka keduanya akan didapati, proses dan gol. Proses itu yang lebih penting, karena melalui proses akan menuju tujuan itu. [B/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post