Nangluk Merana: Benteng Spiritual, Penanda Kecerdasan Budaya Masyarakat Pesisir Bali

 Nangluk Merana: Benteng Spiritual, Penanda Kecerdasan Budaya Masyarakat Pesisir Bali

Para narasumber Lebih Culture Talks 1, diskusi digagas Yayasan Puri Kauhan Ubud di Jero Jawi Lebih/Foto: ist

NANGLUK Merana bukan sekadar ritual tahunan, melainkan laku budaya yang menuntun tindakan nyata—tidak membuang sampah, tidak merusak laut, dan menjaga ekosistem—sebagai bentuk tanggung jawab spiritual manusia Bali terhadap alam semesta.

Itulah salah satu poin yang terungkap dalam Lebih Culture Talks 1, sebuah Dharma Tula yang membedah ritual Nangluk Merana di pesisir selatan Pulau Bali berlangsung di Jero Jawi Lebih, Gianyar Sabtu 20 Desember 2025.

Diskusi digagas Yayasan Puri Kauhan Ubud bekerja sama dengan Pemerintah Desa dan Adat Lebih yang menyikapi krisis ekologis dan tekanan perubahan social. Ritual Nangluk Merana dimaknai sebagai benteng spiritual sekaligus penanda kecerdasan budaya masyarakat pesisir Bali.

Hadir sejumlah tokoh lintas spiritual, adat, dan akademik, di antaranya Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari dari Griya Wanasari Sanur, Jro Bendesa Adat Lebih, serta akademisi Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Dr. Pande Wayan Renawati.

Baca Juga:  Dari Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy: Siswa dan Mahasiswa Bisa Belajar Pengetahuan dan Sastra dari Karya-karya Sastrawan Nyoman Tusthi Eddy

Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Gde Ari Dwipayana, menegaskan bahwa diskusi ini merupakan langkah awal membangun kesadaran kolektif untuk melihat Bali sebagai satu kesatuan ekosistem.

“Bali adalah Bali Dwipa. Ia tidak bisa dipotong-potong. Hulu, tengah, hingga pesisir dan laut adalah satu kesatuan. Menjaga gunung sama pentingnya dengan menjaga laut,” tegas Ari Dwipayana.

Menurutnya, masyarakat pesisir memiliki posisi strategis, bukan hanya secara geografis, tetapi juga spiritual dan budaya. Karena itu, pengelolaan pesisir harus memperhatikan aspek ritual, ekologis, budaya, dan ekonomi secara terintegrasi.

Dalam pemaparannya, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari menjelaskan bahwa konsep merana dalam tradisi Bali tidak semata dimaknai sebagai penyakit atau bencana fisik, tetapi sebagai tanda ketidakseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan kekuatan niskala.

Baca Juga:  “The Water Soul“ Air dalam Bahasa Tubuh Dekgeh Dance Art Community di FSBJ IV

“Nangluk Merana adalah upaya menyelaraskan kembali energi bhuta kala agar tidak menjadi sumber gangguan. Ritual ini mengajarkan bahwa alam bukan untuk ditaklukkan, tetapi disadari dan dihormati,” ungkapnya.

Ida Pedanda menekankan, upacara Bhuta Yadnya di pesisir merupakan bentuk komunikasi spiritual manusia dengan alam, khususnya laut, yang diyakini sebagai sumber amerta—kesucian dan kehidupan—namun juga bisa menjadi sumber merana jika dilanggar keharmonisannya.

Jro Bendesa Adat I Wayan Wisma Lebih memaparkan praktik Nangluk Merana yang secara turun-temurun dilaksanakan masyarakat Desa Adat Lebih, khususnya pada Tilem Kanem. Ritual ini dilakukan di titik-titik strategis pesisir sebagai bentuk penjagaan wilayah secara niskala.

“Pesisir adalah benteng pulau Bali. Karena itu, desa adat memiliki tanggung jawab menjaga kesucian dan keseimbangannya melalui ritual, awig-awig, dan keterlibatan krama,” ujar Jro Bendesa.

Baca Juga:  Kesenian Cak Hibur Wisatawan di DTW Tanah Lot, Pentas Setiap Hari

Jro Bendesa juga menegaskan, Nangluk Merana tidak bisa dilepaskan dari solidaritas sosial masyarakat adat, karena seluruh krama terlibat langsung dalam prosesi dan persiapannya.

Lalu, dari sisi akademik, Dr. Pande Wayan Renawati menggarisbawahi relevansi ritual Nangluk Merana dalam konteks kontemporer, khususnya krisis iklim dan degradasi ekologi pesisir.

“Ritual ini adalah pengetahuan ekologis lokal. Di dalamnya ada kesadaran siklus alam, etika lingkungan, dan kontrol diri manusia. Ini sangat relevan dengan persoalan abrasi, sampah laut, hingga perubahan mata pencaharian masyarakat pesisir,” jelasnya.

Pande Wayan Renawati menambahkan, pergeseran profesi nelayan dan petani menjadi tantangan tersendiri yang perlu direspons dengan menggali potensi ekonomi berbasis budaya pesisir, tanpa merusak ekosistem.

Baca Juga:  Ni Luh Wanda Putri Pradanti Bersama Krisno Mendongeng Kisah I Gusti Ketut Pudja Belajar Sejarah di Museum Soenda Ketjil Beleleng

Sementara itu Kepala desa lebih I Wayan Agus Muliana, mengucapkan terimakasih kepada Yayasan Puri Kauhan Ubud sudah memfasilitasi Focus Discussion Group (FGD) ini, sehingga bagi generasi muda mendapat pencerahan terkait makna dari karya nangluk merana.

“Harapannya ke depan kita selalu bisa menjaga tradisi yang diwariskan leluhur karena semua ada penuh makna dan harus bisa lebih baik ke depan,” ujar Agus Muliana.

Dari diskusi Lebih Culture Talks 1 itu menyimpulkan, tiga poin utama pemahaman masyarakat pesisir Bali: laut sebagai sumber amerta sekaligus merana; ritual Nangluk Merana sebagai penjaga siklus keharmonisan alam dari sasih kalima hingga sasih kesanga; serta pesisir sebagai pusat spiritual yang menjaga keseimbangan bhuana alit dan bhuana agung. [B/rls]

Related post