Tiga Sekaa Gong Duta Kabupaten Buleleng Sepakat Lestarikan Seni Khas
Wow….. jika tidak ada kebyarnya, itu bukan gong Buleleng. Byar kebyarbyar memang mewarnai penampilan ketiga sekaa gong dari Den Bukit ini pada Utsawa (Parade) Gong Kebyar dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44. Tiga sekaa gong dengan berbeda jenis dan umur itu tampil gemuruh di Panggung Ardha Candra Provinsi Bali, Minggu 26 Juni 2022. Wajar, karena tabuh-tabuh kekebyaran konon lahir kali pertama di Bali Utara, sehingga menjadi kebanggaan bagi seniman asal Buleleng dalam pergelaran kali ini.
Ketiga Duta Kabupaten Buleleng itu tampil dalam satu panggung. Gong Kebyar Dewasa yang diwakili Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya, Banjar Paketan, Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng menempati panggung di sebelah kanan pangung terbuka itu. Gong Kebyar Wanita, Sanggar Seni Wahana Santhi, Desa Umejero, Kecamatan Busungbiu tampil di tengah-tengah depan gapura megah dari panggung berarsitektur tradisional itu. Sementara, Gong Kebyar Anak-anak, Padepokan Seni Dwi Mekar, Kelurahan Banyuning, Kecamatan Buleleng menempati panggung di sebelah kiri panggung.
Gong Kebyar Anak-anak, Padepokan Seni Dwi Mekar menampilkan Tabuh Telu Lelambatan “Bulak Agung” yang memiliki dinamika, tempo, modulasi, ritme dan keharmonisan nada, menggambarkan betapa indah dan mempesonanya aliran mata air Bulakan tersebut. Selanjutnya menyajikan Tari Kekelik yang mengisahkan tentang seekor burung besar dengan sifat keangkara murkaan, sombong, merasa memiliki kekuatan yang besardengan selalu mengganggu kawanan burung sesapi yang kecil. Tari dan ringannya diciptakan Alm. I Nyoman Durpa pada tahun 1980an dan dipentaskan pada ajang PKB pada tahun 1980an.
Berikutnya menampilkan Tari Pudak Sinunggal hasil rekonstruksi tahun 2014 dengan seniman-seniman Bali Utara. Tari ini menggambarkan dan terinspirasi oleh bunga pudak yang tumbuh pada tumbuhan pandan. Bunga pudak ini hidup di dekat mata air (kolam) didekat Pura Bukit Sinunggal di Desa Tajun, Kabupaten Buleleng. Bunga yang harum, air yang sejuk dan burung yang mandi menginspirasi Bapa Sindu (Pencipta Tari) dan Bapa Putu Kuta (Pencipta Tabuh) yang membuat garapan ini pada awal abad ke-20.
Koordinator yang juga Ketua Padepokan Dwi Mekar, Gede Pande Satria Kusumayuda atau Jero Olit mengatakan, sebagai duta Kabupatyen Buleleng untuk Gong Kebyar anak-anak telah melakukan persiapan sudah enam bulan, termasu melakukan ujicoba bersama Sanggar Alit Sundari Gianyar yang sengaja diundang ke Buleleng. “Uji coba ini sebagai bukti keseriusan sekaa gong anak-anak tampil diajang PKB, walau mebarung bersama duta dari satu kabupaten,” ucapnya.
Pentas antara duta Kabupaten Buleleng ini sebagai ajang untuk memperlihatrakan ciri khas Buleleng. Ini murni untuk audien, walau esensi gong kebyar itu adalah mebarung, sehingga ketika ada mebarung antar kabupaten dan kota geliatnya pasti berbeda. Mebarung antar kabupaten kota memang itu sepiritnya/”Maka itu kami berharap dikembalikan esensi mebarung gong kebyar seperti awal. Mebarung seperti melawan saudara sendiri, agak spiritnya sedikit memudar namun semangat tetap tinggi,” ungkapnya.
Gong Kebyar Wanita, Sanggar Seni Wahana Santhi mengawali penampilannya dengan mempersembahkan Tabuh Kreasi Jagra Parwata. Salah satu musik monumental ini merupakan karya I Nyoman Windha yang diciptakan pada tahun 1991 untuk duta kabupaten Buleleng kala itu, yakni Desa Munduk. “Jagra Parwata” sebagai simbol abstrak yang mengharap tindakan konkret manusia untuk menjaga dengan penuh kesadaran kesucian Gunung, penyebab adanya sumber air, muara kehidupan.
Komposisi tabuh ini, sehingga terdengar sangat manis. Tekstur gineman, kebyar, gagenderan, bapang, dan beberapa bentuk tabuh berukuran metris lainnya tetap dipertahankan. Melodi pokok dan ornamentasi figuratif dikerjakan berbanding lurus yang secara perseptual adalah simbol dari aliran searah yang dinamis. Beberapa frase singkat dijumpai dalam tekstur yang berlainan, dikerjakan secara manipulatif, terkamuflase secara halus dalam aliran ritme simultan.
Sajiannya yang kedua, Tari Kebyar Buleleng Dauh Enjung, sebuah komposisi karya Ketut Merdana bersama I Nyoman Sukandia yang memang mempesona. Empat orang penari yang terbagi ke dalam dua segmen yang terintegrasi menjadikan karya ini menarik. Karya tari ini sempat direkonstruksi sejak September tahun 2019, namun sayang terhenti karena beberapa alasan. Komposisi ini diciptakan sekitar akhir tahun 1949-an dan pertama kali dibawakan oleh sekaa Gong Desa Umejero. Konten-konten komposisi dalam musik telah menyediakan ruang reinterpretasi bagi lahirnya komposisi gerak yang “menarikan” musik.
Setelah sekian dekade tidak pernah dibawakan dalam format pertunjukan, Kebyar Buleleng Dauh Enjung direkonstruksi oleh Sanggar Seni Suara Mustika, dengan mendatangkan informan (yang ketika penciptaan komposisi ini, merupakan seorang penabuh dan penari yang terlibat didalamnya).
“Rekonstruksi komposisi ini bukan sekadar perilaku “latah” yang dilakukan dengan motivasi “dalam rangka”, melainkan sebuah upaya penghormatan, pencarian serta pemaknaan terhadap spirit penciptaan yang dapat dijadikan tauladan terhadap
kehidupan berkesenian saat ini, baik di Bali maupun di Buleleng pada khususnya,” kata pembina tabuh I Ketut Pany Ryandhi.
Penampilan ketiga Tari Kreasi Duet Amed Semu menceritakan Dewi Sita dalam epos besar Ramayana adalah perlambang kesucian. Tari ini garapan baru untuk dipersembahkan dalam PKB 2022 kali ini. “Kami menilai garapan ini mengabstrasikan tema Danu Kerthi, maka semua itu menganalogikan Dewi Sita itu sebagai lambang kesucian. Maka kalau dikontek kaja kelod yang suci itu ada di hulu, maka danau itu kami lambangkan hulu dan Dewi Sita yang menempati posisi itu,” sebutnya.
Rahwana adalah sosok yang terpelajar, mempunyai penasehat kerajaan yang bijaksana, Maharaja yang dicintai rakyatnya, dan tentunya kesatria sejati. Dengan kesaktian, kedudukan dan anugrah yang dimilikinya, sesungguhnya tidaklah terlalu sulit untuk menjatuhkan Sita ke
dalam genggamannya.
Yang terjadi hari ini, kita terlanjur dihadiahi doktrin label raksasa untuk Rahwana, namun kenyataannya, manusia hari ini lebih Rahwana dari Rahwana. “Orang mengeyam pendidikan tinggi, memiliki kedudukan, kekuasaan berlebih dengan berbagai cara dan muslihat berupaya untuk memenuhi ambisi mereka dengan berlindung dibelakang kedok kesopanan kultural. Mereka mengeksploitasi alam, menebang pohon ditengah hutan lindung,” paparnya.
Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya, Banjar Paketan, Desa Adat Buleleng, Kecamatan Buleleng juga melakukan persiapan yang matang untuk penampilan di PKB ke-44 ini. Dalam persmbahannya menyajikan Tabuh Kreasi Pepanggulan merupakan tabuh baru yang diciptakan oleh Tegeh Kertiasa. Kekuatan tabuh itu begitu terasa, sehingga tampil mengagumkan. Berikutnya menyajikan Tari kebyar Legong asli Buleleng serta diakhiri dengan mempersembahkan Gegitan. “Walau pentas mebarung bukanj bersama duta kabupaten lain, kami tetap mempersiapkan materi dengan baik,” kata Kelian Sekaa Gong Eka Wakya , Made Astawa S.Pd.
Kalau pentas mebarung dengan duta kabupaten lain memang memiliki greget yang luar biasa. Namun, tampil dengan membawa nama Buleleng itu mesti mampu tampil penuh semangat. “Greget mesti tetap dipertahankan, karena tampil atas nama Buleleng. Maka itu, tampil semaksimal munghkin, mulai dari proses latihan, hinga pentas saat ini. Maka untuk itulah kami tampil semaksimal mungkin,” pungkasnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali