Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero “Nyungsung Bhatara Kesenin”

 Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero “Nyungsung Bhatara Kesenin”

Tari Widya Karana sajian gong legendaris Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero. /Foto: dok.balihbalihan

Ketika menyaksikan penampilan Utsawa (Parade) Gong Kebyar Legendaris di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) VLV, pikiran kita serasa diajak mundur ke tahun 70-an. Ketenaran sekaa gong masa lalu, disuguhkan kembali kepada generasi masa kini.

Sebut saja, Sekaa Gong “Semadhi Yasa” Banjar Dinas Abianjero, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem yang tampil di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provibsi Bali, Rabu 28 Juni 2023.

Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero berdiri pada tanggal 16 Agustus 1928. Nama sekaa gong itu, bukan sembarangan. Semadhi berasal kata dari Semedhi yaitu meditasi. Sementara Yasa berarti pageh atau kuat jadi.

Maka “Semadhi Yasa” melakukan meditasi oleh sekaa gong yang anggotanya selalu bermental kuat, pageh dan tersetruktur untuk mempertahankan seni budaya yang telah dimiliki. “Kali yang tampil ini merupakan generasi ke 7,” kata Kelian Komang Minggu yang didampingi pembina tabuh, I Ketut Darma.

Pada kesempatan itu, sekaa gong yang didukung kurang lebih 75 orang terdiri dari penari, penabuh, stage crew, dan official itu menampilkan Tabuh Pepanggulan “Sasaronan”. Tabuh ini cukup sederhana, sehingga tampak terbentuk suatu tabuh atau gending tanpa memakai struktur yang lengkap.

Tabuh ini diciptakan oleh Ida Wayan Ngurah (Alm), seorang komponis musik dan pemain gamelan Bali yang terkenal dari Geriya Jelantik, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem pada 1983. “Tabuh pat ini kembali dipentaskan sebagai persyaratan tampil dalam parade gong kebyar legendaris,” ucapnya.

Baca Juga:  Dari Lokakarya PKB XLV, “Gending Rare” akan Tetap Lestari

Disamping itu, gong legendaris harus menampilkan tabuh-tabuh yang ada ada di Karangasem atau diciptakan di wilayah sendiri. Kalau dari segi hukum tabuh “jajar pageh”, tabuh ini memang tidak lengkap, seperti tabuh-tabuh lainnya. Kalau dari segi sruktur, ada pengawit dan pengawak, tetapi tidak ada prinsip, namun langsung ke tabuh telu lalu bagian pekaab.

“Leluhur kami tidak berani menambah ataupun mengurangi gending. Untuk di PKB ini, ada sedikit penambahan pengawit, sehingga durasinya agak lama dan telihat bagus,” jelas Ketut Darma.

 Penyajian kedua, menampilkan Tari Candra Kanta. Ide dan konsep garapan tari ini berpola tari palegongan atau tari lepas, tetapi bukan murni tari palegongan. Tabuh ini digarap I Wayan Rindi (Alm) dari Banjar Lebah Kota Denpasar pada 1950. Tari dibawakan oleh penari wanita dengan berpasangan dua orang atau lebih.

Jumlahnya menyesuaikan keinginan, situasi dan stage, sehingga tarian ini disebut Tari Legong Kembar. “Tari ini menggambarkan para bidadari dengan kecantikan, keagungan, serta kemuliaanya bagaikan Permata yang berkilau seindah Rembulan penghias Surgawi yang disebut Candra Kanta,” imbuhnya.

Sekaa Gong “Semadhi Yasa” Abianjero Karangasem tampil di PKB XLV./Foro: dok.balihbalihan

Di Abian Jero dulu, Tari Candra Kanta merupakan tari kreasi, tetapi disebut juga legong. Tari ini tercipta, berawal dari para pelingsir di Abian Jero bertemu Bapak Rindi di Sanur. Pertemuan itu, kemudian menyepakati untuk membuat garapan tari baru.

“Saat itu, Sekaa Gong “Semadhi Yasa” memang satu satunya yang aktif di Karangasem. Lalu, akhirnya berkembang ke daerah-daerah lain di Karangasem. Maka, boleh dibilang Semadhi Yasa, gong paling tua di Kabupaten Karangasem,” ucapnya.

Baca Juga:  UDG XXXI Dibuka Wagub Cok Ace, Ajang Silaturahmi Melalui Lantunan Lagu dan Nyanyian

Penampilan selanjutnya menyajikan Tabuh Kreasi Kosalya Arini yang diciptakan di Abian Tiying, Bebandem oleh I Wayan Beratha. Tabuh ini merupakan sebuah konsep tabuh instrumental yang di garap pada tahun 1969, bersama Sekaa Gong Desa Abian Tiying, Kecamatan Bebandem Kabupaten Karangasem.

Tabuh Kreasi Kosalya Arini sebagai sebuah tanaman obat-obatan yang diexpresikan ke dalam musik gamelan gong kebyar, lalu dikemas menjadi sebuah Kreasi Kekebyaran.

Sajian terakhir Tari Widya Karana, sebuah garapan tari menjelang hari kesehatan. Tari ini menceritakan “Tradisi Mebat” kumpulan orang kerja dengan peralatan khas serta berbagai daging bahan lauk dan bahan bumbu ciri khas Karangasem dalam pembuatan lawar. Proses pembuatan ini disebut Mebat atau Ngelawar.

Pada saat itu, datang berbagai jenis lalat dan hinggap diadonan lawar yang sedang dibuatnya. Si Tukang Ebat ini mencicipinya, salah satu terjadi musibah sakit perut. Lalu, dicarikanlah obat atu pil menghilangkan sakit perut.

Tari ini digarap tahun 1979 bertepatan dengan Hari Kesehatan Se-Dunia, berlokasi di Balai Banjar Abianjero, dengan pendukung musik Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero. Tari ini dibawakan oleh penari wanita, sebanyak 6 orang bertugas sebagai lalt dan 2 orang berperan sebagai tukang mebat dengan tari bebancihan busana bebancihan.

Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero pada tahun 1960-an sudah biasa mengikuti parade atau festival mewakili Kabupaten Karangasem. Hal itu bisa dilakukan dari seleksi ditingkat kecamatan lalau mewakili Kabupaten Karangsem, lalu ke Denpasar.

Sebelum adanya Taman Budaya, Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero ini pernah mengikuti festival ke Singaraja 1967 pentas bersama sekaa gong di sana.

Keajegan seni budaya di Abian Jero diyakini tetap lestari. Sebab, sekaa gong dan warga Abian Jero “Nyungsung Bhatara Kesenin”. Setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Buda Keliwon Dungulan diharuskan mengadakan pementasa gong dan tari.

“Kami “nyungsung” pretima (benda sacral berwujud topeng menaru). Setiap enam bulan, kesenian tersebut harus disolahkan (pentaskan). Tampil di ajang PKB ini, juga merupakan kesempatan bagus untuk dapat menyalurkan bakat kami. Pentas ini akan membuka peluang untuk penggenerasian,” ujarnya.

Sekaa gong ini juga dapat memupuk rasa persaudaraan, karena sering bretemu dan bersosialisasi, baik pada saat latihan ataupun ngayah dan pentas. Tanpa adanya aci setiap enam bulan itu, sekaa dipercaya tidak akan kuat. Maka itu, aci itu wajib dilaksankan.

Pernah katanya, kesenian itu tidak ditampilkan pada saat Galungan. Akibatnya ada warga sakit dalam satu pekarangan, kemudian besoknya sakit di sebelahnya (grubuk). Setelah penunasan (mohon petunjuk orang spiritual, lalu muncul itu terjadi karena tak melakukan aci.

“Maka itu kami punya keyakinan kuat untuk mengajegan seni yang ada. Ini juga yang membuat sekaa gong ini tak pernah putus,” ujarnya. [B/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi seni budaya di Bali

Related post