‘Tribute to Cok Sawitri’ di Singaraja Literary Festival: Menumbuhkan Generasi Keberlanjutan dari Pemikiran-pemikiran Cok Sawitri

 ‘Tribute to Cok Sawitri’ di Singaraja Literary Festival: Menumbuhkan Generasi Keberlanjutan dari Pemikiran-pemikiran Cok Sawitri

Pementasan seni “Tribute to Cok Sawitri” di Singaraja Literary Festival 2024/Foto: amrita dharma

Ini pertunjukan seni modern, tetapi konsep dan beberapa unsur seni itu berpadu dan seirama dengan sistem pertunjukan kesenian tradisional tempo dulu. Tak ada naskah pasti, namun itu dibicarakan sebelum pentas. Masalah peran dan tugas yang dilakukan, masing-masing pemain membagi diri sesuai dengan kenangan dan pengalamannya.

Pementasan seni teater itu bertajuk “Tribute to Cok Sawitri” yang tampil pada acara Singaraja Literary Festival (SLF) bertempat di halaman Gedong Kirtya Buleleng, Sabtu 24 Agustus 2024. Pentas seni tak hanya menampilkan pertunjukan teater secara utuh, tetapi dipadu dengan diskusi panel yang membicarakan perjalanan penyair dan sastrawan Alm. Cok Sawitri, dari proses kreatif, keseharainnya hingga kenangan-kenangan sebelum kepulangannya ke alam nirwana.

Garapan seni ini menampilkan Ayu Laksmi, Tini Wahyuni, Ida Ayu Wayan Arya Satyani (Dayu Ani) serta dua penari yang juga artis film layar lebar, yaitu Gus Sena dan Thaly Kasih. Mesti tanpa latihan secara serius, masing-masing pemain mampu mengekpresikan tema yang SLF yakni “Dharma Pemaculan”. Hal itu, tentu tidak menjadi masalah, karena masing-masing pemain memiliki segudang pengalaman panggung.

Baca Juga:  Ida Nyoman Sugata Dalang dan Penulis Sastra dari Abang

Gus Sena dan Thaly Kasih menari lincah tanpa beban. Mereka menari terkadang matembang untuk menciptakan suasana menjadi lebih khusuk. Thaly yang memang penyanyi dan pemain teater sesuai lebih banyak menari sambil matembang. Jenis tembang bukan pupuh ataupun kidung, melainkan ‘sesanghyangan’ (nyanyian dalam tari sanghyang) yang mampu menciptakan suasana menjadi penuh makna.

Pementasan seni “Tribute to Cok Sawitri” di Singaraja Literary Festival 2024/Foto: amrita dharma

Kedua penari ini menari dengan perasaan senang, seperti dua sejoli yang bahagia. Terkadang bergerak bersama-sama, lalu menari secara bebas kemudian saling mengisi dengan pola lantai yang sangat rapi. Febi memainkan musik iringannya spontanitas, namun kreatif yang mampu mengidupkan setiap gerak dua panari itu. Lalu, diujung tembang itu, Thaly menari ke panggung lalu di respon Ayu Laksmi.

Ayu Laksmi yang memang seorang seoarang artis senior, kemudian melangkah menyanyikan lagu-lagu sambil memainkan penting (alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipetik mirip gitar). Lagu-lagu itu, yang dibawakan diangkat dari puisi-puisi Cok Sawitri, seperti ceclantungan dalam pertunjukan kesenian Arja.

Baca Juga:  Singaraja Literary Festival Ke-2 Angkat Tema ‘Darma Pemaculan’

Dayu Ani dengan gerak tari membuat konsep pertunjukan itu semakin indah. gerak tari yang terkadang diikuti dengan tembang-tembang lebih menghidupkan suasana pentas yang semakin khusuk. Meski memiliki banyak kenangan dengan Cok Sawitri, namun Dayu Ani tampaknya lebih banyak memberi kesempatan pada Thaly dan Gus Sena untuk lebih banyak menari, sehingga untuk garak tari didominasi oleh kedua penari muda ini.

Tini Wahyuni juga memainkan alat penting, namun petikannya seperti memainkan gending-gending gamelan angklung (gamelan tradisional) yang lumrah dipakai untuk mengiringi upacara ngaben. Dengan alat musik penting itu, Tini seakan berkomunikasi dengan Thaly yang meresponnya dengan gerak tari dan tembang.

Tini kemudian bercerita kisah tentang pertemanannya dengan Cok Sawitri. Termasuk penggalan-penggalan kalimat yang kemudian menjadi sebuah buku Jirah dan yang lainnya. Setelah itu, masing-masing pemain mengungkapkan kenanngannya bersama Cok Sawitri. Kisah-kisah itu membuat suasana malam semakin penting.

Baca Juga:  I Made Gde Puasa, Pernari Topeng Mendalang di India

Apalagi, pentas teater Tribute to Cok Sawitri itu kemudian memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyampaikan kenangannya dan pengalamannya bersama Cok Sawitri. Baik itu kenangangan yang menarik ataupun yang menyedihkan. Dayu Ani bahkan tak kuat menahan air mata saat berkisah.

Pementasan seni “Tribute to Cok Sawitri” di Singaraja Literary Festival 2024/Foto: amrita dharma

Penonton yang turut berbagai kenangan pada kesempatan itu. Berbagi kenangan itu diawali dari Sonia yang juga penggagas festival ini. Lalu, Sani pelukis, Redika pelukis dan pencinta sastra, Oka Rusmini panyair dan sastrawan dan Ayu Weda yang mencerikan pertemannya dengan Cok Sawatri yang begitu akrab.

“Konsep garapan ini adalah refleksi sebenarnya. Kami bertiga masing-masing mengenang dan memaknai kedekatan kami dengan Cok Sawitri. Termasuk, apa yang bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. Ini repleksi awal, yang masing-masing mempunyai kisah,” papar Dayu Ani usai pementasan.

Baca Juga:  Sekaa Gong Abdi Budaya Banjar Anyar, Legendaris Dari Tabanan Tampil di PKB XLIV

Kebetulan pula, Sonia memilih Jirah untuk pementasan Tribute to Cok Sawitri ini. Mulai dari Jirah itu, masing-masing pemain kemudian membawakan kenangannya bersama Cok Sawitri. “Pengalaman dari masing-masing pemain itu kemudian diramu ke dalam kisah Jirah karya Cok Sawitri. Ini sesungguhnya tentang generasi keberlanjutan tentang pemikiran-pemikiran Cok Sawitri supaya bertumbuh,” jelasnya.

Lalu, tentang elemen-elemen dari puisi dalam garapan ini diambil dari novelnya Cok Sawitri. Sebut saja, kalimat apa yang harus dihindarkan dari hidup itu. “Hal itu, salah satu kalimat yang menyentuh pertama kali saya untuk memandu hidup ini. Apa yang harus dilakukan, yakni harus dihadapi,” ungkapnya.

Pementasan seni “Tribute to Cok Sawitri” di Singaraja Literary Festival 2024/Foto: amrita dharma

Lalu, terkait dengan teks-teks yang ada dalam garapan itu, semuanya merupakan peninggalan Cok Sawitri saat menggarap sebuah karya bersama Bhumi Bajra. Sebut saja lagi “kija” yang ditembangkan Thaly. Itu sesungguhnya tentang hidup, akan dibawa kemana air itu mengalir. Termauk pula gending-gending sesanghyangan. “Itu semua jejak-jejak Cok Sawitri yang membekas di kami di Bhumi Bajra,” tegasnya.

Baca Juga:  Guru PAUD dan TK Mencari Pola Mendidik Karekter Anak dari Permainan Tradisional

Garapan ini bisa jadi sebuah gambaran perjalanan Cok Sawitri melalui karya-karya sastranya yang dipadu dengan gabungan kenangan special antara masing-masing pemain dengan Cok Sawitri. “Kenangan itulah dirangkai, sehingga menampilkan spirit Cok Sawitri yang sesungguhnya. Intinya adalah pengetahuannya, bukan personil lagi,” sebut Sayu Ani.

Malam itu, sahabat-sahabat alm. Cok Sawitri berkumpul untuk berbagi kenangan, membacakan karya-karya sastra, serta membahas pengaruh dan warisan Cok Sawitri terhadap kebudayaan Bali dan Indonesia secara keseluruhan. “Acara ini tidak hanya sekadar penghormatan, tetapi juga pemaknaan atas kekayaan budaya dan intelektual yang telah beliau wariskan,” kata Saras Dewi yang memandu pementasan yang dipadu dengan diskusi itu.

Diskusia ini mengangkat tema kebudayaan dan spiritualitas yang sering ditemukan dalam karya Cok Sawitri, “Tribute to Cok Sawitri” menjadi momen refleksi bagi teman-temannya semua untuk mengenang seorang seniman besar yang dedikasinya terhadap kesenian dan budaya Bali akan selalu dikenang. Termasuk, ide-ide buku warisan Cok Sawitri berpengaruh terhadap kebudayaan Bali dan Indonesia secara keseluruhan.

Baca Juga:  Dari Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy: Siswa dan Mahasiswa Bisa Belajar Pengetahuan dan Sastra dari Karya-karya Sastrawan Nyoman Tusthi Eddy

“Tribute to Cok Sawitri” adalah sebuah acara penghormatan untuk mengenang kontribusi besar dari seorang seniman, penulis, dan budayawan Bali, Cok Sawitri. “Acara ini dirancang untuk mengapresiasi perjalanan dan karya-karya Cok Sawitri yang telah memberikan dampak signifikan terhadap dunia sastra dan kebudayaan Bali,” tegas Saras Dewi. [B/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post