Desa Wisata Pinge Berbasis Tri Hita Karana. Cara Melestarikan Budaya, Seni dan Adat Pinge

 Desa Wisata Pinge Berbasis Tri Hita Karana. Cara Melestarikan Budaya, Seni dan Adat Pinge

Telajakan yang masih asri di Desa Wisata Pinge/Foto: doc.balihbalihan

Desa Wisata Pinge yang berlokasi di Desa Adat Pinge, Desa Tua, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali menawarkan berbagai aktivitas tradisional warga setempat. Desa Adat Pinge ditetapkan sebagai desa wisata pada tahun 2014 lalu. Seiring berjalannya waktu, masyarakat setempat terus berupaya melakukan langkah optimalisasi mencipkan desa wisata yang unggul.

Desa Wisata Pinge menawarkan budaya setempat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Seni tradisional bisa disaksikan dan dinikmati di desa ini. Bahkan hal itu dapat dilakoni oleh para pengunjung di desa dengan alam yang asri itu. Tinggal di desa ini, akan benar-benar merasakan suasana hidup di tempat alami, yang kini semakin jarang ditemukan.

Aktivitas, matekap (membajak sawah dengan sapi), majejahitan (membuat sarana upacara), ngulat klakat (merangkai daun kelapa menjadi benda), memetik bunga, menari Bali, ngukir, serta membuat masakan tradisional seperti sate lilit, kuah dan lawar. Semua itu, dilakukan dengan menggunkan alat-alat tradisional tempo dulu.

Jika minum, menggunakan sedotan organik yang terbuat dari sumi (batang padi). Selain kegiatan-kegiatan tradisional semacam itu, Desa Wisata Pinge juga telah dilengkapi semacam jalur trekking dengan panjang total 3000 hingga 4000 meter. Pada jalur yang mengelilingi tanah milik warga desa adat setempat.

Baca Juga:  Pasti Menarik Merayakan Paskah di Renaissance Bali Nusa Dua Resort

Jalur yang dilewati asrinya perkampungan penduduk, hutan bambu, persawahan, tanah tegalan, pura, perikanan, serta perkebunan dengan tanman berbagai jenis. Para tamu juga diperkenankan mengunjungi pura, dengan catatan menggunakan kain dan selendang serta tidak cuntaka dan menstruasi. Pura itu adalah Pura Puseh Bale Agung dan Pura Natar Jemeng.

Kedua pura ini berarsitektur Bali kuno. Khusus untuk Pura Natar Jemeng, merupakan sebuah tempat suci yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Sebab, di area pura tersebut, ditemukan banyak peninggalan kuno seperti lingga yoni, arca, dan lain sebagainya. Benda kuno itu, hingga saat ini terawat dengan baik oleh warga setempat.

Bendesa Adat Pinge, I Made Jadra Yasa mengatakan, ide dasar untuk membentuk desa wisata itu tidak murni untuk bisnis. Melainkan untuk melestarikan budaya adat yang ada di Desa Pinge. Salah satunya, budaya tata letak rumah yang menyesuaikan dengan aturan-aturan yang ada dalam pararem Desa Adat Pinge.

Sikut-sikut (pedoman) dalam konsep asta kosala kosali sebuah konsep rancang bangun arsitektur masyarakat Bali masih lestari. Letak pembangunan rumah, yakni antara bale daja (kamar), bale dangin (rumah suci), jineng, paon (dapur) yang memiliki aturan tertentu sebagai kelengkapan utama paling mendasar, semua itu masih dilakukan mayoritas warga desa.

Baca Juga:  Paling Berkesan ‘Evening Jazz Barbecue’ di Pier Eight Restaurant

Termasuk pula melestarikan aturan yang ada, konsep Tri Mandala yaitu pembagian tiga tempat yang selaras. Tiga tempat itu, yakni Utamaning Mandala adalah areal tempat suci, Madya Mandala merupakan pakubon tempat letak rumah, dan Nistaning Mandala itu adalah teba. Seluruh warga Desa Pinge masih bersemangat melestarikan semua aturan tersebut.

Warga yang sedang membuat ukiran menjadi atraksi di Desa Wisata Pinge/Foto: doc.balihbalihan

Hal itu yang menjadikan Desa Wisata Pinge memiliki keunggulan, dan lebih unik dari desa wisata yang lainnya. “Upaya untuk melestarikan semua itu melalui awig-awig yang harus dilaksanakan oleh semua warga desa,” kata Jero Bendesa Jadra Yasa.

Salah-satunya aturannya adalah tidak boleh ngewangun ngelintangin tempok penyengker (tidak boleh membangun lewat dari tembok rumah). Hal tersebut bertujuan agar keasrian wajah desa ini tidak terganggu utamanya telajakan. Warung, rumah motor tidak boleh menjorok ke jalan, telajakan rumah harus tetap difungsikan sebagai tempat yang memang fungsinya.

Wilayah Nistaning Mandala yaitu Teba, yang berada paling belakang. Teba tetapp difungsikan, sehingga kalau membangun di areal teba akan ada aturan yang diseseuaikan. “Meski diwacanakan sejak dulu, Pinge sebagai desa wisata yang masih bayi yang baru bisa megaang (merangkak). Ini masih proses menjadikan tempat wisata yang ideal,” papar Jero bendesa.

Baca Juga:  Pawai Budaya 'Samudra Cipta Peradaban' Sambut Delegasi World Water Forum di The Nusa Dua

Selain untuk melestarikan seni, budaya dan adat, jelas Jero Bendesa Jadra Yasa terbentuknya Desa Wisata Pinge juga sebagai media untuk menyaring pengaruh modern yang masuk. Bisa dibayangkan, jika tidak ada media untuk menyaring, maka budaya lokal dan kearipan lokal yang ada akan terkikis dan tergerus.

Karena itu, konsep hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus harmonis. Itu, karena mampu menjaga serta membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesakralan pura, menjaga situs, sehingga tidak ditinggalkan karena pengaruh jaman. Intinya, adanya desa wisata ini masyarakat tetap menjaga kesakralan pura, situs dan lainnya.

Sementara hubungan manusia dengan manusia (pawongan) juga terjalin dengan baik. Artinya, bagaimana cara mengkemas agar keharmonisan itu tetap lestari, seperti melaksanakan tradisi gotong royong. Baik dalam mewujudkan banten saat melaksanakan upacara di pura ataupun di rumah warga. Kegiatan bersama ini untuk merekatkan hubungan antar warga.

Sekaa kesenian yang ada, juga untuk merekatkan hubungan antara manusia dengan manusia. Kelompok seni terdiri dari orang-orang yang melakukan berbagai kegiatan seni. Dengan seringnya bertemu antara warga satu dengan lainnya, maka akan ada kesepahaman bersama untuk menjaga budaya adat leluhur agar tetap lestari. [B/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post