Sasolahan “Sewaka Kurma Raja” di Bulan Bahasa Bali VII Kisahkan ‘Watugunung Runtuh’

 Sasolahan “Sewaka Kurma Raja” di Bulan Bahasa Bali VII Kisahkan ‘Watugunung Runtuh’

Sanggar Seni Kokar Bali sajikan sasolahan Sewaka Kurma Raja/Foto: ist

Setelah Bulan Bahasa Bali (BBB) VI Tahun 2025 dibuka oleh Penjabat (Pj) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya pada, Saniscara Wage Dukut, Sabtu 1 Pebruari 2025 ditandai dengan menaruh globe diatas Bedawang Nala, dilanjutkan sesolahan fragmentari “Sewaka Kurma Raja”.

Fragmentari berdurasi sekitar 40 menit itu disajikan secara apik oleh Sanggar Seni Kokar Bali, SMK Negeri 3 Sukawati. Dalam setiap pembabakannya, selalu menarik, bahkan berhasil memikat penonton dengan bahasa serta adegan yang lucu.

Apalagi, garapan seni ini tidak murni menampilkan fragmentari, melainkan dipadu dengan seni teater, sehingga pementasan terasa beda. Sasolahan yang didukung sebanyak 35 penari, 30 penabuh dan 3 gerong serta menampilkan 2 dalang.

Satu dalang menceritakan garapan fragmentari itu sendiri, dan seorang dalang lagi tampil sebagai pemain teater yang bercerita tentang cerita yang disajikan dalam fragmentari itu. “Konsep garapan ini adalah cerita berbingkai,” kata penggarap tari Dewa Putu Selamet Raharja.

Baca Juga:  Anak-anak Setingkat SD Ikuti Lomba “Peparikan”. Lucu dan Sarat Pesan

Fragmentari ini mengangkat kisah yang dimulai dari Dewi Sintakasih dan Dewi Landep yang meminta kepada Watugunung untuk menikahi istri dewa Wisnu yang bernama Dewi Nawangratih.

Karena sayang, Watugunung mengutus Sang Warigadean untuk melamar Istri Dewa Wisnu. Mendengar hal itu Dewa Wisnu marah dan perang pun tak terelakan lagi, namun Watu Gunung sangat kuat dan sulit untuk dikalahkan.

Sanggar Seni Kokar Bali sajikan sasolahan Sewaka Kurma Raja/Foto: ist

Saat situasi krisis datanglah Begawan Wrespati dan mengutus Bagawan Lumanglang datang ke bumi menjadi Laba-laba untuk mengintai kelemahan dari Watugunung. Setelah di ketahui, Batara Wisnu menjelma menjadi Kurma Raja memerangi Watugunung.

Watugunung akhirnya dapat dikalahkan dan jasadnya jatuh ke Bumi, maka disebut dengan Watugunung Runtuh. Kisah Watugunung berperang dengan Dewa Wisnu kerap diangkat di atas panggung dalam bentuk seni pertunjukan. Tetapi, merode pemanggungan kali ini beda.

Baca Juga:  Sekaa Gong Legend Kesuma Tirta dan Komunitas Seni Sundaram, Pemanasan di Acara HUT Kabupaten Gianyar

Dalam penyajiannya tak murni berbentuk fragmentary, namun dipadukan dengan seni teater, pementasan yang terbebas dari unsur seni. Ini bukan tempelan, tetapi diramu dan diolah kembali menjadi sajian seni yang lebih menarik, namun masih kental dengan seni tradisi.

Garapan itu diawali dengan penampilan anak-anak dengan seorang lelingsir (kakek) di suatu tempat. Lelingsir itu mengajak cucu-cucunya mesanti (matembang), tetapi saat menuju suatu tempat, banyak anak-anak yang megamel dengan tidak pada tempatnya.

Artinya, mereka seakan tak memiliki etika. Ada yang memainkan gamelan sambil berdiri, membelakangi gamelan bahkan melangkahi gamelan. Hal ini tentu pendidikan yang tidak baik, sehingga lelingsir itu memberikan bimbingan, sehingga tak diikuti oleh genersai selanjutya.

Diantara anak-anak muda itu, ada pula yang memanfaatkan kesempatan itu untuk berpacaran, sehingga lelingsir memberikan wejangan dengan memerikan “satwa” (cerita) tentang Watugunung yang menikahi ibu kandungnya.

Baca Juga:  Sendratari ‘Homa Yadnya’, Garapan Sanggar Seni Kokar Bali Tutup PKB XLVI

Para dewa di sorga tidak menjadi tenang karena di Bumi ada manusia yang menikahi ibunya sendiri dan para dewa mengutuk Watugunung ketika suatu saat nanti mendekam di kawah Cambra Goh Muka. Lelingsir bersama cucu-cucunya itu asyik bercerita.

Sanggar Seni Kokar Bali sajikan sasolahan Sewaka Kurma Raja/Foto: ist

Pada adegan berikutnya, mengisahkanverita dari lelingsir itu dimulai. Di daerah Himalaya, bumi yang subur, rakyatnya makmur itu berkat dipimpim oleh seorang raja bernama Watugunung. Raja bersama permaisurinya, yaitu Dewi Sinta Kasih untuk mencari (pepetan).

Di situ diketahui oleh Dewi Sinta Kasih bahwa Watu Gunung adalah anaknya sendiri. Sudah jelas-jelas ini adalah hubungan yang terlarang. Dewi Sintakasih kemudian meminta Watugunung menikahi istri Dewa Wisnu.

Watugunung lalu mengutus Sang Waregadean untuk membawa surat lamaran ke Wisnu loka. Disini, kembali masuk kedalam adegan teater. Lelingsir berperan sebagai Sang Waregadean. Tokoh ini sangat lucu, dengan suara terbata-bata serta dengan busana yang beda.

Baca Juga:  Proses Produksi Film “Nyi Rimbit” Ada Banyak Cerita Mistis di Lokasi Syuting

Lelingsir itu memggunakan bahasa yang lumrah dalam mengegonjakan, dan berhasil membuat penonon tertawa. Ketika sampai di Swarga loka, penari Widiadara dan Widiadari serta Dewa Wisnu yang tadinya menari, tiba-tiba terdiam seakan ditotok nadinya.

Sementara Sang Waregadean yang diperankan lelingsir itu yang menari dengan leluasa. Ia menaruh surat yang diberikan oleh Watugunung di tangan Dewa Wisnu. Mulanya ia berpikir, apakah surat itu dibaca, dan apakah nantinya marah. Sang Waregadean itu tak ambil pusing.

Sang Waregadean kemudian meninggalkan panggung, Widiadara dan Widiadari kembali menari gembira. Namun, Dewa Wisnu merasa kaget ditangannya ada surat, lalu dibacanya. Wisnu kemudian sangat marah dan merobek surat yang dibawa oleh Waregadean itu.

Dewa Wisnu menyuruh Waregadean untuk pulang ke Bumi dan mengatakan kepada Watugunung untuk berperang melawan Dewa Wisnu. Perang pun tak terelakan lagi antara Watugunung dan Dewa Wisnu, namun Watugunung Sangat Sakti tidak bisa dikalahkan.

Baca Juga:  "Usadha" Bermanfaat Bagi Kehidupan Sehari-hari

Dewa Wisnu sangat sedih dan menangis tidak bisa mengalahkan Watugunung, dalam situasi yang kritis itu datanglah Begawan Wrespati dan mengutus Bagawan Lumanglang turun ke Bumi untuk mengintai kelemahan Watugunung

Dalem adegan ini, kebali Lelingsir itu mendapat tugas, yaitu memerankan Bagawan Lumanglang untuk mengintai kelemahan Watu Gunung. Sebelum berangkat, lelingsir itu dirias, seperti kuwa-kuwa (laba-laba) oleh para cucunya.

Lelingsir itu juga diajari cara berjalan, sehingga mirip dengan kuwa-kuwa. Lelingsir itu kemudian berpamitan pada cucu-cucunya untuki mengintai Watugunung dengan masuk ke areal kerajaan.

Sanggar Seni Kokar Bali sajikan sasolahan Sewaka Kurma Raja/Foto: ist

Saat Watugunung bercengkrama dengan istrinya tentang kenapa sulit untuk dikalahkan oleh Dewa Wisnu, Watugunung menyampaikan rahasia atau kelemahannya kalau berhadapan dengan kurma (kuwa-kuwa) berkuku tajam.

Baca Juga:  I Wayan Seregeg dan I Wayan Mudita Adnyana Menerima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama

Hal itu didengar oleh Begawan Lumanglang yang sedang menjadi laba-laba lalu segera disampaikan kepada Dewa Wisnu. Mendengar hal itu Dewa Wisnu menjelma menjadi Kurma Raja dan mampu mengalahkan Watu Gunung.

Jasad Watu Gunung jatuh ke Bumi disebut Watu Gunung Runtuh. Kemudian lelingsir bersama cucu-cucunya kemudian melanjutkan mesanti, mengupas isi lontar itu hingga tuntas. Semua cucu-cucunya menyambut gembira. Adegan menampilkan berbagai sarana persembahan.

Lelinbgsir yang ngewacen lontar, sementara salah satu cucunya sebagai pengartos, yang menerangkan isi dari kakawin itu. Disebutkan gunung runtuh (jatuh) sebagai ciri bumi yang tidak seimbang, sehingga sering ada kejadian.

Lelingsir itu menjelaskan makna dari Wuku Watugung, hingga Saraswati dan Pagerwesi yang semuanya saling terkait, dan ti terkait dengan Watugung. Kisah ini mengandung makna yang sangat dalam menjadi sesuluh hidup.

Baca Juga:  Wariga Relevan Sepanjang Zaman, Melakukan Kegiatan Tak Tepat Waktunya Menjadi Santapan Bhatara Kala

Menyimak sesolahan itu, pada awal dan akhir itu merupakan garapan teater, sementara di tengah-tengahnya itu kisah dari fragmentari itu. Para undangan yang hadir menyimak dan menikmati hiburan seni yang sarat makna itu.

“Diawal diberikan cerita dari panitia untuk sebuah garapan frahmentari, namun atas berbagai pertimbangan tim, maka mengembangkan dengan seni teater, sehingga terwujud seperti teater tari,” jelas Dewa Putu Selamet Raharja.

Guru seni tari SMKN 3 Sukawati itu mengatakan, penggarapan ini bisa dibilang singkat, sebab banyak kesibukan siswa dan guru dalam mengurus pembelajaran di sekolah. “Namun, kami tetap bersemangbat untuk menyukseskan Bylan Bahasa Bali ini, sehingga rasa bersyukur garapan seni ini bisa terwujud,” pungkasnya. [B/darma]

Related post